Ilustrasi. FOTO: Medcom.id
Ilustrasi. FOTO: Medcom.id

Opsi Pembiayaan Kesehatan Berkelanjutan

Angga Bratadharma • 15 September 2020 15:22

Dalam hal ini, hal yang perlu ditekankan adalah peningkatan peran pemerintah daerah terutama dalam pembiayaan kesehatan. Pemerintah daerah harus memenuhi target minimal 10 persen anggaran kesehatan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
 
Selain itu, diperlukan usaha untuk mendukung Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dengan mengedepankan pelayanan promotif dan preventif. Upaya Kesehatan Perorangan (UKP) untuk layanan kuratif masyarakat miskin dimaksimalkan melalui PBI daerah. Pemerintah daerah juga perlu menunjang infrastruktur serta sarana dan prasarana fasilitas kesehatan di daerah.
 
Untuk meningkatkan ruang pendanaan JKN, opsi lain yang dapat digali adalah perluasan ruang fiskal dengan mempertimbangkan urutan prioritas. Kriteria yang harus dipertimbangkan adalah kemudahan implementasi kebijakan serta dampak sosial, politik, dan ekonomi yang optimal.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Pemerintah juga perlu untuk meningkatkan kontribusi sektor swasta, dalam hal ini asuransi komersial dalam layanan JKN. Untuk mencapainya, dibutuhkan perbaikan mekanisme koordinasi  penyelenggara yang menyeimbangkan konsep indemnity dalam program asuransi komersial dan managed care dalam JKN.
 
Selain fokus pendanaan dan kolaborasi dengan sektor swasta, peningkatan efisiensi dari sisi pelayanan juga perlu dilakukan untuk memastikan pembiayaan JKN yang berkelanjutan. Peningkatan efisiensi dapat diterapkan dengan pengendalian mutu kendala biaya melalui monitoring anti-fraud, dan penerapan Health Technology Assessment (HTA).
 
Rekomendasi kedua, prioritas pencegahan penyakit dan penggunaan prinsip farmako-ekonomik dalam manajemen penyakit katastropik/kronis. Penyakit katastropik/kronis adalah kelompok  penyakit yang pengobatannya membutuhkan biaya tinggi dan waktu yang lama, serta memiliki komplikasi yang mengancam jiwa dengan tingkat kesembuhan kecil.  
 
Pada 2018, penyakit katastropik menghabiskan sekitar 22 persen dari total klaim BPJS Kesehatan, termasuk di antaranya penyakit jantung, gagal ginjal kronis, dan kanker. Untuk mengurangi  beban pembiayaan penyakit katastropik/kronis, diperlukan usaha prioritas aspek promosi kesehatan dan pencegahan penyakit.
 
Sedangkan dalam perawatan pasien, penerapan prinsip farmako ekonomik untuk manajemen penyakit katastropik/kronis perlu dilakukan. Prinsip yang digunakan farmako ekonomik yakni mengutamakan penggunaan obat yang aman, efektif, dan terjangkau, serta memperhatikan prinsip keadilan.
 
Prinsip farmako ekonomik didasarkan pada perhitungan yang teliti atas manfaat dan biaya penggunaan suatu obat berdasarkan laporan hasil uji klinik yang baik. Dengan prinsip tersebut, pemangku kebijakan memiliki alternatif obat-obat baru yang secara ilmiah menunjukkan penurunan biaya layanan kesehatan bagi penyakit katastropik/kronis secara keseluruhan.
 
"Termasuk penurunan komponen biaya layanan lainnya yaitu biaya rumah sakit, biaya tindakan medis, dan biaya tenaga kesehatan," tulis SMERU.
 
Pelayanan Kesehatan Meningkat
 
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan ketika jumlah orang yang membutuhkan pelayanan kesehatan terus meningkat, sistem pelayanan kesehatan menunjukkan keterbatasannya, baik dari sisi infrastruktur, teknologi, maupun SDM.
 
Untuk merespons kondisi itu, imbuh Anies, teknologi terbaru dan peningkatan kapasitas SDM terbaik menjadi keniscayaan agar terwujud sistem kesehatan yang berkelanjutan dalam jangka panjang. Hal ini juga penting guna terwujudnya masyarakat yang sehat.
 
Dipaksa oleh pandemi, masih kata Anies, tren layanan kesehatan mulai bergeser dan beralih dari volume based service atau fee based service (pelayanan berbasis kapasitas atau pembiayaan) menjadi value based care (pelayanan berbasis nilai). Salah satu bentuknya ialah berkembangnya layanan telemedicine.
 
"Pergeseran ini harus juga diantisipasi oleh rumah sakit baru karena kita menyadari bahwa masyarakat sekarang mempunyai ekspektasi tinggi seperti saya sebut tadi. Mereka akan menuntut pengalaman pelayanan kesehatan yang berbeda, bukan sekadar soal biaya, bukan sekadar soal alat, tapi soal pengalaman," tuturnya.
 
Merujuk pada surat edaran dari Menteri Kesehatan, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan juga memberikan layanan telemedicine yang disinergikan dengan fitur konsultasi daring di aplikasi Mobile JKN.
 
Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Asih Eka Putri mengatakan pembiayaan BPJS Kesehatan untuk Rawat Inap Tingkat Lanjut (RITL) masih menghabiskan biaya tertinggi. RITL hingga Juni 2020 bahkan telah menghabiskan dana Rp29,3 triliun atau lebih banyak jika dibandingkan dengan di 2014 yang cuma Rp25,2 triliun.
 
Sayangnya, imbuh Asih, selama ini jumlah anggaran yang dibelanjakan lebih banyak daripada pendapatan, serta tren utilisasi mengalami kenaikan hingga menghasilkan defisit. "Misalnya, hemodialisis (cuci darah) kok bisa 56 kali dalam satu tahun? Apa dasarnya?" pungkasnya.
 
(ABD)
Read All



LEAVE A COMMENT
LOADING

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif