Ilustrasi (ANTARA FOTO/Pradita Utama)
Ilustrasi (ANTARA FOTO/Pradita Utama)

Utang Indonesia Ibarat Memiliki Sebuah Rumah

Desi Angriani • 18 April 2018 11:22
Jakarta: Utang. Sepertinya kata itu menjadi momok di masyarakat apalagi ketika dikaitkan dengan utang yang dilakukan pemerintah. Bahkan, kata itu kian menggelisahkan saat digunakan untuk menyudutkan kinerja Pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, terutama saat memanasnya suhu politik Tanah Air sekarang ini jelang Pilkada Serentak dan Pilpres di 2019
 
Persoalan melakukan utang dan tidak oleh pemerintah tidak ditampik menuai pro dan kontra di masyarakat. Sebagian masyarakat mempertanyakan mengapa pemerintah harus berutang sedangkan utang tersebut hanya memberikan beban terhadap negara. Sebagian lainnya menilai upaya utang diperlukan guna mengakselerasi pembangunan infrastruktur di Indonesia.
 
Perlu diketahui, negara maju di dunia memiliki utang yang bahkan nominalnya lebih fantastis terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dibandingkan dengan negara-negara berkembang. Mengutip data Bank Dunia, Amerika Serikat (AS) mencetak rekor utang tertinggi melampaui PDB atau mencapai USD19,947 miliar per Januari 2018.

Baca: 2023, Pegadaian Targetkan Porsi Gadai dan Nongadai Seimbang
 
Peringkat utang berikutnya disusul Jepang dan Tiongkok yang masing-masing mencapai USD11,813 miliar dan USD4,976 miliar. Meski lebih rendah dari AS, jumlah utang kedua negara dengan ekonomi terkuat di Asia ini masih dua kali lipat dibandingkan PDB-nya.
 
Utang Indonesia Ibarat Memiliki Sebuah Rumah
 
Sementara utang Indonesia berdasarkan data Kementerian Keuangan per Maret 2018 mencapai Rp4.136,39 triliun atau di level 29,78 persen dari PDB. Jika dihitung sejak era Orde Baru hingga sekarang, utang Indonesia secara nominal bertambah tapi secara rasio terus menciut alias semakin mengecil.
 
Baca: 2018, IMF Pertahankan Perkiraan Pertumbuhan Ekonomi Global 3,9%
 
Saat Soeharto menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia, utang pemerintah tercatat Rp551,4 triliun dengan rasio 57,7 persen dari PDB. Sedangkan era Presiden Joko Widodo, utang pemerintah mencapai Rp4.136,39 triliun dengan rasio 29,78 persen.
 
Utang Pemerintah Ibarat Memiliki Sebuah Rumah
 
Kepala Kajian Makro LPEM Universitas Indonesia Febrio Kacaribu mengibaratkan utang pemerintah layaknya pasangan baru yang ingin memiliki sebuah rumah. Rumah pribadi tentu menjadi kebutuhan primer dan memberikan kenyamanan bagi keluarga tersebut.
 

 
Salah satu cara termudah, keluarga muda akan membeli rumah dengan meminjam uang dari bank lalu menggunakan fasilitas KPR. Mereka akan mulai menyicil setiap bulannya dengan pendapatan yang diproyeksi terus meningkat. Jika tidak mau berutang, keluarga ini bisa menabung membeli rumah secara tunai.
 
Utang Indonesia Ibarat Memiliki Sebuah Rumah
 
Sumber: Kementerian Keuangan
 
Namun menabung membutuhkan jangka waktu yang jauh lebih lama dibandingkan dengan melakukan pinjaman ke bank. Hal ini juga diperburuk oleh fakta bahwa harga rumah akan terus naik setiap tahunnya termasuk diiringi dengan perubahan inflasi. Tentu utang menjadi alternatif yang tepat dalam mempercepat akumulasi aset berupa rumah tersebut.
 
Begitu pula dengan Indonesia, layaknya pasangan baru yang membutuhkan infrastruktur berupa jalan, pelabuhan, bandara, bendungan, dan pembangkit listrik. Hal itu untuk menopang perekonomian nasional dan meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
 
Baca: Harga Minyak Dunia Menanjak Dipicu Kekhawatiran Pasokan
 
Membangun infrastruktur tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit. Pemerintah tak dapat mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semata. Sebab itu, pemerintah perlu berutang atau melakukan pinjaman agar pembangunan infrastruktur dapat dilakukan lebih cepat.
 
"Satu lagi indikator taraf hidup dari suatu negara yang sering digunakan adalah ketersediaan infrastruktur yang sepadan dengan pertumbuhan ekonominya. Dan Indonesia masih di bawah rata-rata," tutur Febrio, saat dihubungi Medcom.id, di Jakarta, Selasa, 17 April 2018.
 
Utang Indonesia Ibarat Memiliki Sebuah Rumah
Sumber: Kementerian Keuangan
 
Menurut Febrio utang menjadi sangat efesien selama digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang produktif serta memiliki multiplier efek bagi masyarakat dan perekonomian nasional. Nantinya utang akan sangat membantu menaikkan PDB per kapita Indonesia.
 
Meski demikian, pemerintah tetap perlu memperhatikan rambu-rambu pengelolaan utang negara. Rasio utang terhadap PDB harus berada di bawah 60 persen, seperti yang disyaratkan oleh Undang-Undang (UU). Di samping itu, defisit APBN harus dijaga di bawah tiga persen setiap tahun sesuai dengan UU yang berlaku.
 

 
"Pemerintah harus memastikan bahwa utang tersebut digunakan untuk membiayai proyek-proyek yang produktif dan memiliki multiplier efek yang besar bagi PDB," imbuhnya.
 
Menghitung Cicilan Utang
 
Mengenai utang luar negeri yang terus bertambah, Kementerian Keuangan (Kemenkeu) hakul yakin Indonesia bisa melunasinya. Syarat pertama dengan membuat APBN surplus. Misalnya dengan utang sekitar Rp4.000 triliun dan surplus APBN sebesar Rp450 triliun, pemerintah membutuhkan waktu sembilan tahun untuk melunasi utang tersebut.
 
Baca: Rupiah Diprediksi Kembali Terhambat untuk Menguat
 
Semakin besar surplus semakin pendek pula jangka waktu cicilan utang. Sederhananya, bila memiliki penghasilan Rp40 juta per bulan maka cukup membayar cicilan utang Rp6 juta per bulan. Angka itu tentu saja jauh lebih kecil dari pendapatan.
 
Direktur Strategi dan Portfolio Pembiayaan Kemenkeu Scheneider menjamin utang luar negeri Indonesia masih dalam kondisi aman. Masyarakat diminta untuk tidak perlu khawatir karena pemerintah telah mengelola utang dengan baik.
 
Utang Indonesia Ibarat Memiliki Sebuah Rumah
 
Bunga utang Indonesia secara rata-rata turun signifikan dalam tiga tahun terakhir. Tercatat imbal hasil dari SUN 10 tahun pada 2014 berada di atas delapan persen dan sekarang hanya sekitar 6,4 persen. "Jadi jangan terlalu dikhawatirkan. Harus kelola utang, pastinya utang ini aman," tegas Scheneider, beberapa waktu lalu.
 
Adapun berdasarkan dokumen APBN per Maret 2018, utang pemerintah masih didominasi penerbitan SBN yang mencapai Rp3.257,26 triliun atau 80,73 persen dari total utang pemerintah. Penerbitan SBN itu mayoritas dalam denominasi rupiah atau sekitar Rp2.359,47 triliun dan dalam denominasi valas sebesar 18,11 persen atau sebesar Rp897,78 triliun.
 
Baca: Emas Dunia Melemah Tipis Akibat USD Melonjak
 
Sementara pinjaman luar negeri pemerintah tercatat sebesar Rp777,54 triliun atau dengan porsi 19,27 persen. Utang yang dalam bentuk pinjaman ini terbagi dari pinjaman luar negeri dan pinjaman dalam negeri. Untuk pinjaman luar negeri tercatat sebesar 19,13 persen atau Rp771,6 triliun yang terdiri dari pinjaman bilateral sebesar 8,21 persen atau Rp331,24 triliun.
 
Selanjutnya, pinjaman multilateral 9,82 persen atau Rp396,02 triliun, pinjaman komersial 1,07 persen atau Rp43,32 triliun, dan pinjaman suppliers 0,03 persen atau Rp1,17 triliun. Sedangkan untuk pinjaman dalam negeri sebesar 0,14 persen atau sebesar Rp5,78 triliun.
 
 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ABD)


TERKAIT

BERITA LAINNYA

social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan