Dari tahun ke tahun, persoalan penerimaan pajak memang menjadi persoalan utamanya ketika Darmin Nasution sudah tidak lagi menjabat sebagai Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak. Tidak ditampik, sejak itu penerimaan pajak tidak selalu mencapai target. Dampaknya, pemerintah tidak maksimal menjalankan sejumlah langkah guna memacu perekonomian.
DJP Kemenkeu mencatat total penerimaan pajak yang belum difinalisasi sampai dengan 28 Februari 2017 mencapai sebesar Rp134,6 triliun. Adapun capaian penerimaan tersebut tumbuh 8,15 persen dibandingkan dengan periode yang sama di tahun lalu yang tercatat sebesar Rp124,4 triliun.
Sedangkan penerimaan pajak sekarang ini baru mencapai 10,29 persen dari target setoran pajak sesuai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2017 yang mencapai Rp1.307,3 triliun. Untuk total penerimaan non-PPh migas sampai 28 Februari 2017 mencapai Rp126,8 triliun atau tumbuh 5,85 persen secara tahunan dibandingkan dengan Rp119,8 triliun di tahun lalu.
Baca: Hingga Februari, Penerimaan Pajak Capai Rp134,6 Triliun
Penerimaan PPh migas hingga 28 Februari 2017 mencapai sebesar Rp7,8 triliun dan PPh non-migas mencapai sebesar Rp71,8 triliun. Sementara untuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mencapai Rp53,8 triliun atau tumbuh 6,94 persen dibandingkan dengan periode yang sama di 2016 yang sebesar Rp50,2 triliun.
Sebelumnya, salah satu puncak dari 'panasnya' persoalan di internal pajak adalah ketika Sigit Priadi Pramudito mundur dari jabatannya sebagai Dirjen Pajak karena merasa tak sanggup mencapai target setoran pajak sebesar Rp1.294,25 triliun di APBN-P 2015. Pengunduran diri itu terjadi pada 1 Desember 2015.
Baca: KPP Pratama Jepara Menargetkan Perolehan Pajak Rp753 Miliar
Meski mundur selayaknya 'ksatria', namun pengunduran diri tersebut menjadi tanda tanya besar mengenai target yang dipatok pemerintah apakah terlalu besar atau memang ada persoalan baik di internal DJP Kemenkeu maupun di tingkat kesadaran masyarakat dalam membayar pajak. Apalagi, kondisi ini diperparah dengan munculnya kasus suap oleh oknum pegawai DJP.
Sederet persoalan ini tentu memberikan efek sangat negatif bagi citra DJP Kemenkeu di mata masyarakat. Bahkan, kasus suap tersebut menyeret sejumlah orang besar dan mau tidak mau meruntuhkan kredibilitas DJP Kemenkeu sebagai salah satu lembaga yang diamanahkan untuk mengumpulkan penerimaan pajak dan nantinya disetorkan ke APBN.
Baca: Ruang Penurunan Tarif PPh Terbuka Lebar
Berdasarkan penjelasan UU No 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) maka sistem perpajakan Indonesia sejak 1984 menganut self assessment system atau sistem swadiri, karena wajib pajak diberi kepercayaan menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak terutangnya.
Artinya, pemerintah tugasnya hanya melakukan pembinaan, pelayanan, dan pengawasan. Jadi benar salahnya penghitungan kewajiban pajak pertama-tama merupakan tanggung jawab masyarakat dan bukan kantor pajak.
.jpg)
Seorang petugas menjelaskan cara membuat pelaporan SPT Tahunan PPh Pajak Orang Pribadi dengan sistem online (ANTARA FOTO/Jessica Helena Wuysang)
Pajak adalah kontibusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapatkan imbalan langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Memaksa? Ya, ternyata kalau kewajiban pajak tidak dilaksanakan dengan baik maka seseorang bisa dipaksa untuk membayar termasuk ditagih paksa melalui sita dan lelang harta. Tentu kondisi itu sejalan dengan ketentuan yang berlaku.
Baca: Indonesia Dinilai tak Perlu Turunkan Tarif Pajak
Sedangkan siapa itu wajib pajak. Ternyata wajib pajak meliputi orang pribadi atau badan yang mempunyai hak dan kewajiban sesuai undang-undang karena telah memenuhi syarat subyektif (dilahirkan, bertempat tinggal, berkedudukan di Indonesia) dan syarat objektif (mempunyai penghasilan di atas PTKP atau Rp4,5 juta per bulan).
Undang-undang yang sama menyatakan bahwa setiap wajib pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan (SPT) dengan benar (dalam perhitungan dan penerapan aturan), lengkap (memuat semua unsur yang diwajibkan), dan jelas (melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak).
SPT adalah sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak, penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak, harta, dan kewajiban.
Sesuai dengan perundang-undangan maka DJP Kemenkeu terus melakukan inovasi dan perbaikan. Salah satu puncaknya adalah ketika Menteri Keuangan memutuskan untuk memulai program amnesti pajak. Tidak dipungkiri pada awal pembahasan terjadi perdebatan sengit lantaran program tersebut seperti memberikan 'keberpihakan' kepada para pengemplang pajak.
.jpg)
Sejumlah orang berbincang di dekat tulisan Amnesti Pajak (ANTARA FOTO/Widodo S Jusuf)
Singkat cerita, pemerintah akhirnya menerapkan program tersebut dan sepertinya menjadi awal untuk mencapai gerbang reformasi pajak. Pasalanya, secara tidak terduga banyak dari wajib pajak yang mengikuti atau menjadi peserta dari amnesti pajak, baik wajib pajak perorangan, wajib pajak badan, hingga para pengusaha besar.
Baca: Mengenal Tiga Skema Pertukaran Informasi Perpajakan Dunia
Sederet nama pengusaha besar seperti Murdaya Widyawimarta Poo, Sofjan Wanandi, James Riady, Garibaldi Thohir, Erick Thohir, dan Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto, juga sudah mengikuti program yang nantinya dana tersebut akan dialokasikan untuk mengakselerasi perekonomian Indonesia termasuk menjadi awal reformasi pajak di Tanah Air.
Berdasarkan statistik amnesti pajak pada Jumat 17 Maret 2017 hingga pukul 14.40 WIB, deklarasi harta yang masuk mencapai Rp4.526 triliun. Deklarasi ini bertambah Rp230 triliun dibandingkan dengan akhir periode II yang sebesar Rp4.296 triliun. Sementara uang tebusan capai Rp107 triliun atau hanya bertambah Rp4 triliun dari akhir periode II yakni Rp103 triliun.
Terlepas dari itu semua, salah satu hal unik yang perlu diperhatikan dalam penerapan program amnesti pajak adalah DJP Kemenkeu begitu gencar melalukan sosialisasi. Kondisi ini tentu sangat positif terhadap tingkat pengetahuan masyarakat akan pajak, terutama meningkatkan kesadaran mengenai pentingnya pajak untuk perekonomian Indonesia.
Sejak dimulai di 2015, pemerintah melakukan sejumlah sosialisasi secara masif dan preventif di seluruh wilayah di Indonesia tanpa terkecuali. Pada periode pertama dan kedua, pelaksanaan program amnesti pajak diterima baik oleh para wajib pajak. Bahkan, Presiden Jokowi ikut memantau pelaksanaanya.
Baca: Indonesia Takkan Bisa Bertukar Informasi Pajak di AEoI
Hingga 20 Maret 2017 dana tebusan berdasarkan realisasi SSP yang diterima (SPAN) dalam program amnesti pajak mencapai Rp116 triliun. Komposisi Uang Tebusan Berdasarkan SPH mencapai Rp106 triliun dengan kontribusi OP Non UMKM sebanyak Rp86,7 triliun dan sisannya diikuti dengan Badan UMKM, Badan non UMKM, OP UMKM.
Bukan tidak mungkin, program amnesti pajak bisa menjadi gerbang reformasi pajak di Tanah Air. Tentu DJP Kemenkeu memiliki strategi lain selain program amnesti pajak guna membenahi sistem pajak dan nantinya bisa berkontribusi lebih maksimal terhadap 'bahan bakar' perekonomian Indonesia, yang tentunya sejalan dengan reformasi pajak.
Pengamat Perpajakan Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Darussalam menilai, rumus keberhasilan reformasi pajak adalah melalui penyederhanaan atau simplifikasi peraturan perpajakan. "Tidak ada reformasi pajak yang memberikan kepastian hukum tanpa simplifikasi peraturan perpajakan," tegasnya.
Menurut Darussalam, penyederhanaan atau simplifikasi peraturan perpajakan tersebut bisa dilakukan dengan mengurangi biaya administrasi pemungutan pajak bagi otoritas pajak dan mengurangi biaya kepatuhan wajib pajak. "Sehingga arah perpajakan 2017 adalah bagaimana meletakkan kerangka dasar reformasi perpajakan," kata dia.
Baca: Wajar Pemerintah Meminta Pajak Lebih dari Freeport
Tidak ditampik, pemerintah telah lebih aktif terkait menjalankan reformasi pajak. Terkait hal ini, pemerintah telah masuk lebih dalam untuk 'masuk' ke gerbang reformasi pajak. Hal itu ternyata tidak hanya isapan jempol semata lantaran pemerintah sudah merealisasikan sejumlah langkah.
Langkah itu seperti pemerintah membentuk tim reformasi perpajakan dan tim penguatan reformasi kepabeanan dan cukai agar institusi pajak serta bea dan cukai dapat lebih efektif dalam mengawal penerimaan negara dan mampu melayani dengan tingkat integritas yang tinggi.
Pembentukan tim reformasi perpajakan ini ditegaskan melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 885/KMK.03/2016. Sedangkan tim reformasi penguatan reformasi kepabeanan dan cukai melalui Keputusan Menteri Keuangan Nomor 909/KMK.04/2016.
Dalam sebuah kesempatan, saat membuka Kick Off Tim Reformasi Pajak di Kemenkeu, Menkeu Sri Mulyani menyebut Tim Reformasi Pajak bertujuan untuk menyiapkan seluruh elemen terkait rencana pembentukan Badan Penerimaan Pajak. Apalagi, dalam RUU KUP hanya ada satu pasal yang menyebut pembentukan lembaga.
Baca: Industri Pengolahan Penyumbang Pajak Terbesar
"Jadi apakah bentuknya akan seperti apa, ini yang masuk di dalam scope tim reformasi ini, yaitu struktur kelembagaan organisasi yang fit dengan SDM-nya, yang fit dengan kompleksitas tugas yang kita lakukan, yang fit dengan scope seluruh pekerjaan Indonesia dari Sabang sampai Merauke," kata Ani, biasa ia disapa.
Selain itu, langkah lainnya adalah DJP Kemenkeu kini bisa mengakses data nasabah wajib pajak yang tengah dilakukan bukti permulaan, pemeriksaan, penyidikan, penagihan dengan lebih mudah dan lebih cepat melalui sistem online yang bernama aplikasi usulan buka rekening bank (Akasia).
Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan, selama ini untuk mengakses data nasabah secara manual membutuhkan waktu 239 hari. Dengan adanya Akasia, nantinya Kantor Wilayah (Kanwil) dan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang meminta data nasabah bisa menggunakan aplikasi tersebut.
"Dulu pembukaan rekening butuh enam bulan. Sekarang seminggu sudah bisa buka. Dulu mekanismenya harus izin, tapi sekarang pakai aplikasi sehingga lebih cepat," kata Ken.
Baca: Ditjen Pajak Perkenalkan Kartu Indonesia 1 Pekan Depan
Sementara itu, sebagai mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kemenkeu, Darmin Nasution yang sekarang ini menjabat sebagai Menko Perekonomian mengungkapkan bahwa ada tiga hal penting yang harus dipenuhi dalam melaksanakan reformasi perpajakan terutama dari sisi optimalisasi pajak.
.jpg)
Menko Perekonomian Darmin Nasution (Foto: MTVN/Suci Sedya Utami)
Pertama, terciptanya kepercayaan antara pimpinan pajak dengan pegawai pajak. Artinya visi dan misi antara pimpinan dan pegawainya harus berada di level yang sama dan jangan berjalan masing-masing. Kedua, terbangunnya sistem Informasi Teknologi (IT) yang mumpuni yang tentunya akan meminimalisir praktik korupsi.
Ketiga, terciptanya kepercayaan antara wajib pajak dengan aparat pajak. Dewasa ini, kepercayaan masyarakat sebagai wajib pajak pada aparat maupun institusi pajak sedang diuji setelah insiden Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK terhadap pegawai pajak terkait dugaan kasus suap dan praktik korupsi.
Baca: Ditjen Pajak dan Otoritas Pajak Jepang Tingkatkan Kerja Sama
"Reformasi perpajakan akan berhasil kalau mampu membangun kepercayaan terhadap pimpinan pajak, kepercayaan antara wajib pajak dan aparat pajak, serta IT yang baik," kata Darmin.
Di perpajakan, lanjut Darmin, yang paling sulit dipantau adalah terkait aspek pemeriksaan. Petugas pemeriksaan bisa melakukan tawar menawar bersama wajib pajak tanpa diketahui. Tentu hal semacam ini perlu ditekan sedemikian rupa agar memaksimalkan penerimaan perpajakan.
Maka dari itu, masih kata Darmin, perlu dibangun sisitem IT yang baik. Dengan adanya perbaikan IT, nantinya segala macam objek pajak yang sedang diperiksa bisa langsung masuk di sistem tersebut. Misalnya perusahaan A dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sekian diperiksa tanggal sekian sudah terekam di sistem.
Baca: Ditjen Pajak Bisa Blokir Rekening WP 'Nakal'
Lebih jauh, Darmin mengatakan, sebenarnya perbaikan sistem IT sudah mulai dikerjakan pada saat dirinya menjabat sebagai pimpinan pajak. Namun pada saat itu, lelangnya gagal dan tak diteruskan ketika dirinya sudah tidak lagi menjabat sebagai orang nomor satu di Ditjen Pajak Kemenkeu.
"Intinya, pemeriksa itu jangan sampai bisa bolak-balik ke wajib pajak. Kalau itu di-lock sistemnya dia enggak bisa," ujar dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News