Sesuai dengan undang-undang (UU) 19 Tahun 1997 tentang penagihan pajak dengan surat paksa, kewenangan penagihan aktif meliputi penyitaan dan pelelangan harta penanggung pajak, pencegahan penanggung pajak, dan penyanderaan (gijzeling), termasuk menyita harta WP ataupun memblokir rekening nasabah di bank.
"Prosedur sesuai dengan UU 19 tahun 1997. Jadi sudah lama kasus memblokir rekening. Bukan hanya baru ini yang sedang viral di media. Biasanya rekening yang diblokir karena sudah ga ada komunikasi. Ini bukan barang baru. Jadi kita menjalankan sudah sesuai aturan dalam UU," ungkap Direktur Pelayanan Penyuluhan dan Humas Ditjen Pajak Hestu Yoga Saksama kepada Metrotvnews.com, Kamis 23 Maret 2017.
baca : Tebusan Terbesar di Februari Tax Amnesty Capai Rp250 Miliar
Aturan memblokir rekening, bilang Hestu Yoga, tidak pandang bulu, bisa saja terjadi ke perorangan, perusahaan BUMN, maupun swasta. Dia menuturkan, pada 2002 sudah terjadi pemblokiran rekening terhadap salah satu perusahaan penerbangan dari BUMN.
"Rekening BUMN di 2002, ada perusahaan BUMN pesawatnya di sita, di depan bandara taronya. Peraturan UU 19 Tahun 1997, itu makanya ke perusahaan BUMN dan swasta. Sama semuanya, keadilannya harus jalan," tutur Hestu Yoga.
Proses pemblokiran rekening, sambung Hestu Yoga, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang memberikan perintah kepada perbankan agar memblokir rekening nasabah yang bermasalah, tanpa harus mengetahui nomor rekening.
"KPP minta blokir rekening, blokir tidak menggunakan nomor rekening, hanya identitas, seperti nama dan NPWP. Pihak perbankan pasti mengizinkan, itu diizinkan karena ada undang-undang. Itu berdasarkan undang-undang, karena bermasalah ga mau bayar. Itu yang ditindak," pungkas Hestu Yoga.
Sepanjang 2016, Ditjen Pajak sudah melakukan 59 kali gijzeling. Di tahun yang sama, jumlah sengketa pajak yang ditangani Ditjen Pajak mencapai 12.852 kasus. Dari jumlah itu, yang dimenangkan Ditjen Pajak dan dikabulkan semuanya sebanyak 5.367 kasus.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News