\ Negeri Polemik

Negeri Polemik

Bola kisruh pssi
Suryopratomo • 29 Mei 2015 16:14
Negeri PolemikTugas pemerintah adalah memimpin bangsanya untuk menyelesaikan masalah. Pemerintah bukan hadir untuk menjadi sumber masalah, tetapi mencari solusi terbaik dari masalah yang harus dihadapi.
 
Oleh karena itulah pemerintah disebut eksekutif. Mereka harus melakukan eksekusi untuk mengambil keputusan, bukan hanya sekadar memperdebatkan tanpa keputusan.
 
Persoalan kita hadapi justru di era reformasi. Pemerintah lupa akan tugasnya untuk menyelesaikan masalah. Sikap get things done tidak ditunjukkan oleh pemerintahan reformasi.
  Tidak keliru jika ada yang mengatakan demokrasi yang kita jalani baru pada tahapan demokrasi omong-omong atau talking democracy. Belum sampai kepada tahapan demokrasi yang bekerja atau working democracy.
 
Itu bisa kita lihat dalam penyelesaian persoalan sepak bola sekarang ini. Wakil Presiden hari Senin mengundang Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi, Ketua Komite Olimpiade Indonesia Rita Subowo, mantan Ketua Umum PSSI Agum Gumelar, dan Wakil Ketua Umum PSSI Kongres Surabaya Hinca Panjaitan untuk membahas konflik antara Kemenpora dan PSSI. Masalah jangka pendek yang harus dipecahkan adalah bagaimana menghindarkan Indonesia dari sanksi FIFA.
 
Kita tahu bahwa FIFA sudah mengingatkan Indonesia bahwa urusan sepak bola bukan urusan negara. Ketika negara terlibat terlalu jauh dalam teknis pembinaan sepak bola, maka FIFA akan menghukum negara yang terlibat terlalu jauh itu dari semua kegiatan sepak bola internasional.
 
Yunani
 
Sikap FIFA itu bukan hanya berlaku bagi Indonesia. Semua anggota FIFA dihadapkan kepada perlakuan yang sama. Yang juga terancam dari sanksi FIFA karena keterlibatan negara adalah Yunani.
 
Pemerintah Yunani merasa memiliki tanggung jawab untuk membenahi sepak bola di negerinya. Persoalan yang dirasakan mengganggu adalah pengaturan skor pertandingan dan bentrokan fisik antarpendukung klub.
 
Parlemen Yunani berupaya membuat Undang-Undang berkaitan dengan dua hal itu. FIFA menilai bahwa langkah itu sebagai keterlibatan terlalu jauh negara dalam urusan sepak bola.
 
Para politisi Yunani pun marah dengan sikap FIFA. Mereka menganggap ini masalah kedaulatan Yunani. Namun FIFA berpandangan bahwa mereka adalah Federasi Asosiasi Sepak Bola Internasional. Kalau negara mau ikut membenahi sepak bola di negaranya, maka ada cara yang bisa dilakukan tanpa harus terlibat terlalu jauh.
 
Pemerintah Yunani akhirnya berkonsultasi dengan FIFA bagaimana mereka bisa membenahi sepak bola di negaranya. FIFA lalu memberikan saran yang sesuai dengan statuta FIFA.
 
Ketika Pemerintah Yunani mengikuti arahan FIFA, maka ancaman hukuman pun dicabut. Tanggal 22 Mei lalu Yunani resmi bebas dari ancaman sanksi FIFA.
 
Jalan JK
 
Jalan seperti itulah yang juga ditempuh Wapres Jusuf Kalla. Bagaimana pertama-tama menyelamatkan Indonesia dari ancaman sanksi FIFA. Apalagi tenggat waktunya sudah sangat dekat yaitu 29 Mei.
 
Sebagai Wapres, Jusuf Kalla tidak serta merta bertindak otoriter. Ia meminta masukan dari empat tamu yang diundang ke kantornya.
 
Bahkan terakhir Wapres meminta Menpora menyampaikan opsi pemecahan masalah. Tiga opsi diberikan Menpora yaitu tetap membekukan PSSI dengan ancaman terkena sanksi FIFA, kedua mencabut sanksi pembekuan PSSI, dan ketiga, merevisi keputusan Menpora dan menempatkan Tim Transisi yang sudah dibentuk Kemenpora sebagai pengawas PSSI.
 
Dari ketiga opsi itu, Wapres berpandangan opsi ketiga yang terbaik. Menpora merevisi keputusannya untuk tidak membekukan PSSI. Dengan itu maka PSSI bisa menjalankan tugasnya termasuk menggulirkan kembali kompetisi. Agar pengelolaan sepak bola lebih baik, maka Tim Transisi yang dipimpin Bibit Samad Rianto bertugas sebagai supervisi pengurus PSSI.
 
Pilihan Terbaik
 
Langkah yang ditempuh Wapres Jusuf Kalla merupakan pilihan terbaik untuk menyelamatkan sepak bola Indonesia. Walaupun tidak ideal karena harus menganulir keputusan menterinya, tetapi itu adalah pilihan terbaik yang ada.
 
Jusuf Kalla menjalankan apa yang dalam politik selalu dikatakan bahwa pilihan pemimpin itu bukan antara baik dan buruk, tetapi antara yang buruk dan kurang buruk.
 
Masalah yang dihadapi Indonesia sekarang ini dalam posisi itu. Apalagi setelah Tim Transisi bentukan Menpora ditolak untuk diterima FIFA. Ketua KOI pun gagal untuk meluluhkan Presiden FIFA Joseph Blatter untuk membukakan pintu bagi Tim Transisi.
 
Namun wisdom itu tampaknya tidak dimiliki Menpora. Merasa tidak puas dengan pertemuan dengan Wapres, ia kemudian menolak ikut jumpa pers. Imam Nahrawi memilih menghadap Presiden Joko Widodo.
 
Ibarat anak yang ditegur Ibu, ia kemudian mengadu ke Bapak. Seharusnya Bapak mengikuti langkah Ibu, karena mereka nakhoda rumah tangga. Persoalan terjadi ketika sang Bapak berbeda pandangan dengan Ibu.
 
Inilah yang kemudian dimanfaatkan Menpora. Ia bukan mengambil langkah menyelesaikan masalah pembinaan sepak bola, tetapi justru memperlebar permasalahan. Pernyataan yang dikeluarkan seakan mengadu domba Presiden dan Wakil Presiden.
 
Di sinilah kita melihat ketidakdewasaan pejabat negara sekarang ini. Mereka seperti tidak memahami aturan ketatanegaraan. Bahwa para menteri mempunyai pimpinan yang namanya Presiden dan Wakil Presiden. Keduanya mempunyai kewenangan untuk memberi arahan kepada para menteri. Ketika arahan diberikan, maka bukan lagi posisinya untuk memperdebatkan, tetapi bagaimana melaksanakannya sebaik mungkin.
 
Apalagi dalam kasus ini, Wapres sudah mengundang Menpora untuk rapat bersama pihak-pihak lain. Semua sudah diberi kesempatan menyampaikan pandangannya. Termasuk Menpora sudah didengar sikapnya.
 
Ketika rapat sudah memutuskan sebuah sikap, maka semua yang terlibat harus menerimanya. Tidak bisa kita menerima di depan, tetapi di belakang menolak. Kalau memang tidak sepakat dengan keputusan yang diambil, sikap penolakan harus disampaikan di dalam rapat.
 
Fatsoen politik terhadap pejabat negara yang tidak setuju dengan sikap pimpinannya adalah mengundurkan diri. Bukan justru membawa persoalan menjadi kasak-kusuk dan membangun intrik.
 
Kita perlu memperbaiki sikap dan perilaku dalam berdemokrasi. Sebab demokrasi bukan asal berbeda dan boleh bersikap semaunya. Demokrasi ada aturannya dan tujuannya adalah membuat keadaan menjadi lebih baik.
 
Termasuk dalam urusan pembinaan sepak bola kita. Tujuannya bukan siapa yang berkuasa, tetapi bagaimana membuat prestasi sepak bola kita menjadi lebih baik. Untuk itu tidak ada jalan lain kecuali ada kebersamaan antara Kemenpora, KONI, dan PSSI untuk menata sepak bola ini menjadi lebih baik.
 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


(RIZ)
LEAVE A COMMENT
LOADING
social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif