Fan Inggris tak bisa terima tersingkir di babak 16 besar. Apalagi kesebelasan yang mengalahkannya, adalah Islandia- tim yang dianggap ‘tak punya’ nama, meski mereka datang ke Prancis dengan bekal menyingkirkan Belanda di kualifikasi.
Kebanyakan orang Inggris menilai bahwa Islandia adalah timnas gurem. Inggris tak pantas kalah darinya. Mantan pelatih Spurs Harry Redknapp sampai menyebut kekalahan dari Islandia adalah tragedi terbesar dalam sejarah olahraga Inggris.
Yang menggelikan, di lini masa, beredar kolase foto supermarket bernama Iceland dan foto Joe Hart dengan teks “Iceland suppose to be cheap, but Joe Hart save nothing.” Meme itu pun viral, begitu pun gurauan tentang toko Iceland itu sendiri.
Mayoritas rakyat Inggris, selalu merasa tim mereka hebat. Sehingga kekalahan, tidak pernah bisa begitu saja diterima. Entah bagaimana pastinya sikap superior itu terus terpelihara. Mungkin karena Inggris merasa sebagai negeri asal sepakbola, dan pernah juara di Piala Dunia 1966. Seterusnya, bayang-bayang kejayaan dan romantisme itu selalu tumbuh di setiap generasi bangsa Inggris hingga saat ini.
Kekecewaan selalu datang dari harapan yang berlebihan. Inggris berulang kali menggantungkan ekspektasi tinggi di setiap turnamen. Padahal, kenyataannya, sejak 1966, The Three Lions belum sekalipun lagi menyentuh final, baik di Piala Eropa maupun Piala Dunia.
Inggris pernah menjadi tim yang tersingkir dari turnamen hanya karena relatif tidak beruntung. Seperti saat Piala Dunia 1986 karena gol ‘tangan tuhan’ Maradona, dan semifinal Piala Dunia 1990 dan Euro 1996 versus Jerman setelah adu penalti.
Selebihnya, Inggris hanya mentok di fase perempat final. Fase yang kurang istimewa, karena hanya satu tahap lebih tinggi dari babak penyisihan grup. Di fase ini tidak jarang tim-tim bereputasi menengah maupun semenjana pun bisa lolos.
Pada Euro 2016, Inggris kembali harus angkat koper sebelum turnamen rampung. Tim Tiga Singa untuk kesekian kali harus menerima kenyataan bahwa mereka bukan siapa-siapa. Inggris hanya tim nasional yang besar dalam imajinasi bukan di dunia nyata.
Siapapun boleh tidak sependapat dengan kesimpulan tadi dengan menyodorkan data-data atau dukungan subjektif. Apalagi bila merujuk Inggris sebagai kekuatan besar karena memiliki sejarah dan kultur sepakbola yang kental.
Argentina saja mengenal sepakbola karena imigran-imigran Inggris yang datang ke Buenos Aires pada pertengahan abad 19. Lebih kebelakang sepakbola kontemporer dunia bermula dari Tanah Britania.
Sekarang pun, pada praktiknya, Inggris seperti 'tanah suci' sepakbola. Berbagai pemujaan dunia tentang sepakbola berkiblat di sana karena liganya yang gemerlap, tempat para bintang dari segala penjuru dunia bermain.
Tetapi Euro 2016 kembali menjadi reality check. Inggris selalu tersingkir jauh sebelum puncak turnamen. Tetapi fakta-fakta itu lagi-lagi tetap begitu sulit diterima. Para mantan pemain seniornya pun tak kalah pedas mengomentari kekalahan Inggris dari Islandia.

(Foto: AFP)
“ Ini kekalahan terburuk sepanjang sejarah. Inggris kalah dari negara yang gunung berapinya lebih banyak dari jumlah pemain sepakbola profesionalnya,” kata Gary Lineker, mantan pemain timnas Inggris era 80-an. Ilusi sebagai negara yang lebih hebat dari negara lain bisa saja muncul dari alam bawah sadar bangsa Inggris.
Eks bek Inggris, Rio Ferdinand sempat memberi sinyal kepada fan yang begitu antusias menjelang tiga bulan sebelum Euro 2016 bergulir. Ferdinand tidak silau dengan prestasi Wayne Rooney dkk yang melaju tanpa terkalahkan dan selalu menang di 10 laga yang dijalani pada babak kualifikasi. Ia ragu Inggris akan berjaya. Alasannya sederhana, bila masuk Euro 2016, Inggris harus menghadapi Prancis, Jerman, Spanyol dan tim besar lain. "Dan saya tidak melihat Inggris memiliki kemampuan melakukannya," kata Ferdinand ketika itu.
Tetapi harapan tinggi tak terbendung. Antusiasme tetap menyala. Sebenarnya wajar saja fan membela timnas terlepas dari apakah punya potensi juara atau tidak, seperti fan Islandia, Swiss, Turki dan negara non unggulan lain yang datang ke Prancis. Toh Yunani pada 2004 pernah membuktikan; tidak ada yang mustahil. Namun, keyakinan Inggris punya latar belakang yang berbeda. Mereka datang selalu dengan kepercayaan diri membumbung.
Mungkin karena sejarah monarki Inggris, yang dianggap paling termasyhur di seluruh dunia, mungkin karena sindrom sistem waktu Greenwich Mean Time, sehingga secara sadar maupun tidak sadar bangsa Inggris mempercayai bahwa waktu di Inggris adalah yang waktu paling tepat di dunia sehingga semua kebudayaan dan nilai Britania seolah-olah juga layak menjadi panutan di manapun bagian dunia. Sindrom 'England superiority complex' semakin lestari ketika liga Inggris menjadi liga yang paling populer di dunia.
Rasa memiliki Inggris terhadap sepakbola memang teramat besar. Orang Inggris percaya rumahnya sepakbola adalah Inggris. Keyakinan itu begitu tercermin dalam penggalan-penggalan lirik lagu The Three Lions (Football’s Coming Home) yang dibuat untuk The Three Lions menjelang Piala Dunia 1998 di Prancis:
We still believe, we still believe
We still believe, we still believe
It's coming home, it's coming home
It's coming, football's coming home
It's coming home, it's coming home
It's coming, football's coming home……
No more years of hurt
No more need for dreaming
Talk about football coming home
and then one night in Rome
We were strong,we had grown
And now I see us ready for war…….
We can dance Nobby's dance
We could dance it in France!
It's coming home, it's coming home, it's coming- football's coming home
Sayang di Euro 2016, harapan dalam lirik lagu Football’s Coming Home urung terwujud. Pasukan Roy Hodgson tidak bisa berdansa di Prancis, seperti lirik lagu itu. Inggris lagi-lagi tak bisa menunjukkan kekuatannya. Inggris masih perlu bermimpi sambil menanggung rindu akan trofi. Sampai kapan?

Fan Inggris yang kecewa setelah timnya dibekuk Islandia.(Foto:AFP)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(FIT)