TAK TERASA, usia Asosiasi Sepak Bola Indonesia kita tercinta, PSSI sudah menginjak 86 tahun. Usia yang uzur untuk ukuran manusia.
PSSI didirikan oleh seorang insinyur sipil bernama Soeratin Sosrosoegondo pada 19 April 1930 dengan nama Persatoean Sepak Raga Seloeroeh Indonesia. Tujuan utama pria lulusan Harvard ini membentuk PSSI adalah untuk mempersatukan seluruh putra-putra bangsa dan menumbuhkan semangat nasionalisme, karena saat itu Indonesia masih dijajah Belanda.
Kini, Indonesia telah merdeka. Seharusnya, putra-putra bangsa bisa leluasa untuk membuat PSSI berjaya. Tapi faktanya berbeda. Putra-putra bangsa yang dipercaya menggerakkan roda organisasi justru sibuk dengan kepentingannya masing-masing, sehingga membuat Timnas Indonesia kian tidak berdaya.
Kisruh di tubuh PSSI mulai terjadi dalam hampir satu dekade terakhir atau pada 2007. Saat itu, Nurdin Halid secara kontroversial tetap dipercaya memimpin PSSI, meski dia harus mendekam di balik jeruji karena kasus korupsi.
Manipulasi yang dilakukan Nurdin beserta kroninya di PSSI akhirnya terbongkar. Mereka ketahuan mengakali statuta FIFA yang berbunyi "harus tidak pernah terlibat dalam kasus kriminal" menjadi "tidak sedang terlibat dalam kasus kriminal".
Pergolakan pun terjadi. Nurdin dituntut mundur. Puncaknya, mereka yang tidak puas dengan kinerja PSSI membuat kompetisi sendiri yang diberi nama Liga Primer Indonesia. Singkat cerita, Indonesia kemudian punya dua liga.
Sejak saat itulah PSSI resmi terpecah belah. Lengsernya Nurdin Halid dan ditunjuknya Djohar Arifin Husin melalui Kongres Luar Biasa di Solo pada 2011 tidak mampu menyatukan kembali PSSI.
Justru, di sinilah awal dari babak baru kisruh sepak bola nasional. Diawali dengan munculnya dualisme kompetisi akibat ketidakpuasan klub-klub Liga Super Indonesia (ISL) terhadap penambahan peserta liga musim 2011-12, pihak yang berseberangan akhirnya membentuk organisasi tandingan yang diberi nama KPSI dengan ketuanya Toni Aprilani dan La Nyalla Mattalitti sebagai wakilnya.
KPSI yang mengklaim mendapat dukungan penuh dari anggota PSSI lantas melayangkan mosi tidak percaya kepada PSSI pimpinan Djohar. Mereka kemudian menggelar Kongres Luar Biasa di Ancol, Maret 2012 dan mengangkat La Nyalla sebagai ketua umum yang baru. Dengan adanya PSSI tandingan ini, Indonesia resmi punya dua induk organinasi, dua liga, bahkan ada dua timnas Indonesia.
FIFA sebagai induk organisasi pun sudah beberapa kali melontarkan ancaman bakal menjatuhkan sanksi. Hingga akhirnya, Menpora Roy Suryo yang ditunjuk menggantikan Andi Mallarrangeng yang tersandung karus korupsi Hambalang, berhasil menyatukan kedua kubu yang berseberangan.
Roy berhasil membujuk Djohar dan La Nyalla untuk menggelar Kongres bersama pada 17 Maret 2013. Dalam kongres tersebut, dualisme akhirnya terselesaikan dengan dihapuskan KPSI dan ditunjuknya La Nyalla sebagai wakil ketua umum PSSI. Indonesia pun terbebas dari sanksi.
Sampai di sini, apakah masalah PSSI sudah selesai? Ternyata tidak. Masalah baru muncul pada tahun 2015 saat PSSI bersiap menggelar kompetisi musim 2015--2016.
PSSI tidak mendapat restu dari Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI) untuk menggulirkan kompetisi lantaran ada beberapa klub yang dinyatakan tidak memenuhi syarat. Dalam hal ini, Arema Cronus dan Persebaya Surabaya dinyatakan tidak lolos karena masalah legalitas. BOPI yang didukung pemerintah dalam hal ini Kemenpora menerapkan aturan ketat dengan tujuan tidak ada lagi kasus penunggakan gaji pemain dan lain sebagainya.
PSSI pun melawan dan mengadukan masalah ini ke FIFA. Mereka beralasan BOPI dan pemerintah sengaja mempersulit. FIFA pun menerima surat PSSI dan mengingatkan Pemerintah dalam hal ini BOPI dan Kemenpora untuk tidak melakukan intervensi kepada PSSI.
Singkat cerita, Kemenpora dan BOPI tetap pada pendiriannya hingga akhirnya Menpora dalam suratnya tertanggal 17 April 2015, mengeluarkan surat pembekuan PSSI yang saat itu tengah bersiap menggelar KLB. Surat pembekuan tersebut dibacakan keesokan harinya atau tepat di saat pelaksanaan KLB PSSI di Surabaya.
Dengan keluarnya surat pembekuan tersebut, semua putusan yang dihasilkan pada KLB itu pun menjadi tidak sah. Termasuk diangkatnya La Nyalla sebagai ketua umum PSSI yang baru. Pemerintah juga melarang semua kegiatan sepak bola yang diprakarsai PSSI. Walhasil, kompetisi pun tidak berjalan.
PSSI kemudian mengadukan pembekuan ini ke FIFA, dan akhirnya FIFA menjatuhkan sanksi kepada Indonesia pada 30 Mei 2015. Setelah itu, kompetisi Indonesia seakan mati suri. Hanya ada kompetisi-kompetisi jangka pendek untuk mengisi kekosongan.
Hingga kini, di hari ulang tahun yang ke-86 PSSI, nasib sepak bola Indonesia masih belum jelas. Indonesia dalam hal ini pemerintah dan PSSI masih memiliki waktu sekira satu bulan untuk menyelesaikan permasalahan ini sebelum FIFA kembali menggelar kongres di Meksiko pada 12-13 Mei mendatang.
Jika sampai saat itu masalah ini belum juga terselesaikan, maka, FIFA akan menaikkan level skors dari exco ke kongres. Jika sudah demikian, maka, Indonesia harus menunggu hingga kongres berikutnya di Kuala Lumpur pada 11 Mei 2017 untuk bisa terlepas dari sanksi.
Publik pencinta sepak bola tentunya berharap kedua kubu yang tengah bersitegang ini bisa duduk bersama mencari solusi terbaik untuk sepak bola Indonesia. Apakah itu dengan pemerintah mencabut SK pembekuan, atau justru PSSI yang mengikuti kemauan pemerintah untuk menggelar Kongres Luar Biasa demi menentukan pengurus baru, termasuk mengganti ketua umum PSSI, La Nyalla Mattalitti yang saat ini tengah ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan korupsi dana hibah Kadin Jatim.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
(ACF)