Undang-Undang nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan telah diketok sejak November 2012. Aturan turunan berupa Peraturan Pemerintah nomor 17 tahun 2015 tentang Ketahanan Pangan dan Gizi serta Peraturan Presiden nomor 71 tahun 2015 tentang Penetapan dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting telah dikeluarkan.
Dengan aturan ini sebenarnya pemerintah dapat meregulasi harga dan penyerapan barang kebutuhan pokok, terutama pangan. Dalam Perpres 71/2015 telah diatur 11 jenis Barang Kebutuhan Pokok dan tujuh jenis Barang Penting. Pada PP 17/2015 diatur juga tentang pangan pokok dan pangan pokok tertentu.
Dengan perangkat aturan ini, mestinya pemerintah dapat campur tangan apabila ada masalah dalam ketersediaan dan harga pangan. Sehingga akhinya mengganggu stabilitas ekonomi, menimbulkan gejolak sosial di masyarakat. Terlepas dengan keberadaan aturan yang ada, tetap saja harga pangan melonjak ketika mendekati bulan Ramadhan atau waktu-waktu tertentu. Kadang kelangkaan juga tidak dapat terhindarkan. Namun, benarkah kurangnya kuatnya pondasi regulasi pangan menjadi penghambat terbentuknya ketahanan pangan?
Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, Gardjita Budi, menepis anggapan tersebut.
“Sebenarnya sih aturan bukannya permasalahan, tapi apa aturan itu harus mengikuti permasalahan yang ada. Jadi yang dulunya relevan, kita perlu review lagi. Ke depannya kita perlu juga kaji ulang untuk kebutuhannya,” ujar Gardjita kepada medcom.id di Jakarta, Selasa (5/4/2016).
Memang, beberapa aturan perlu disesuaikan dengan kondisi riil lapangan. Namun, teknis pelaksanaan aturan untuk pangan sendiri seyogyanya dimodifikasi untuk mengakomodir permasalahan seputar pangan yang sangat dinamis dan fleksibel.
Gardjita memberi contoh untuk soal penyediaan stok pangan serta pengadaan bibit. Secara aturan teknis, Kementerian Pertanian (Kementan) tidak mungkin menggelontorkan dana untuk menggenjot produksi karena benturan sistematika tender dan segala macam tetek bengek teknis pencairan anggaran. Padahal untuk pangan, kata Gardjita, tidak bisa tunggu menunggu.
“Kebutuhan pengadaan bibit sekarang tidak perlu menunggu sampai bulan ke berapa dan tunggu tender. Karena untuk tanam itu kan tidak bisa menunggu. Duitnya ada, barangnya ada, tapi tidak bisa digunakan,” tegas dia.
Permasalahan ini kemudian “diakali” dengan kebijakan yang lebih lentur pada penggunaan anggaran untuk produksi pada 2015. Alhasil produksi pangan, terutama pangan pokok, dapat didorong. Namun persoalan sandungan bernama aturan tidak hanya di sisi produksi. Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) yang mengurusi stok pangan pemerintah juga tersandung persoalan regulasi.
Selama ini Bulog terpaku oleh aturan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) dan standar pembelian. Inpres Nomor 5 Tahun 2015 yang menjadi patokan Bulog dalam membeli gabah petani menyetel harga gabah sebesar 3.700. Ketika gabah itu di atas HPP, Bulog tak bisa beli karena mereka dibayang-bayangi tuduhan mark-up pembelian gabah. Itu terang menjadi persoalan.
Spesifikasi gabah yang dapat dibeli pun menjadi persoalan tersendiri. Ketika musim hujan produksi melimpah dan harga gabah turun di bawah HPP. Tapi Bulog juga sempat tidak berani beli gabah produksi petani karena kadar air tinggi dan di atas angka yang telah ditetapkan.
“Akhirnya, ada kesepakatan itu harga GKP itu tidak harus dibeli dengan kadar air 17-20 persen. Jadi Kemtan saat ini memang membantu Bulog, supaya produksinya petani yang diurus Kemtan bisa diserap oleh Bulog,” ungkap Gardjita.
Meningkatkan produksi dan stok jadi persoalan penting
Usaha Kementerian Pertanian dan Badan Urusan Logistik untuk menciptakan ketahanan pangan memang tak bisa dipungkiri keberadaannya. Walau demikian mimpi sektor pangan nan mandiri masih jauh dari harapan.
Dalam menjaga kedaulatan pangan pokok, pemerintah masih belum mampu bekerja secara maksimal. Keterbatasan sumber daya dan anggaran ditambah kompleksnya persoalan pangan Indonesia membuat pemerintah harus menentukan prioritas.
Gardjita menyebut saat ini ada 3 bahan pokok yang menjadi perhatian utama pemerintah. Padi, jagung dan kedelai. Produksi dan pengawasan ketiga komoditas pangan pokok ini mendapat perhatian yang sangat serius. “Itu yang sekarang kita genjot produksinya,” ujar Gardjita.
Produksi ketiga komoditas tersebut akhirnya meningkat tajam pada tahun 2015 walau pada tahun 2013-2014 tidak tumbuh dengan angka memuaskan. Padi sebagai contoh, mampu meningkat lebih tinggi dari angka ramalan. Saat ini jumlah sementara sudah sampai 75,4 juta ton gabah kering giling (GKG). Atau meningkat hingga 6 persen dibanding 2014. Begitu juga jagung dan kedelai walaupun tidak terlalu tajam meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Gardjita pun mengklaim beras Indonesia secara perhitungan sudah mencukupi kebutuhan nasional. Walaupun ada impor terjadi beberapa bulan lalu, hal ini hanya untuk menjamin stok nasional terjaga. Namun untuk jagung dan kedelai masih belum bisa mencukupi kebutuhan nasional. Jagung masih aman dari sisi kebutuhan domestik, namun Indonesia masih perlu memikirkan kebutuhan ekspor. Sedangkan produksi kedelai masih devisit dibanding kebutuhan nasional.
“Ketiganya itu selama satu tahun ada bulan-bulan surplus dan ada bulan-bulan defisit. Karena ada musim tanam. Itu perbandingannya antara delapan berbanding empat bulan. Sekarang itu kuncinya, bagaimana mendistribusikan yang surplus ke bulan-bulan defisit,” kata Gradjita.
Dibutuhkan stok pangan untuk menjamin akses masyarakat ke komoditas pangan pokok di saat-saat sedang defisit produksi. Kemampuan pemerintah menjamin stok pangan, terutama beras, sering dipertanyaan saat-saat sulit. Namun Gardjita menyebut ada sedikit kesalahpahaman umum terkait persoalan stok.
“Orang sering salah kaprah. Bilang stok pangan beras Indonesia kecil, cuma 1,4 juta ton. Ya itu memang benar. Tapi hanya yang di Bulog. Bulog sendiri kan cuma main skitar 7-8 persen dari kebutuhan. Stok yang terbesar itu kan adanya di masyarakat,” kata dia.
Hingga dua tahun yang lalu sempat muncul kebingungan terkait masalah stok ini. Tidak adanya angka untuk mengukur stok yang ada di masyarakat membuat harga tidak stabil karena ada spekulan yang bermain. Saat ini Kementan sudah memiliki angka proksi dan stok di masyarakat cukup besar. “Di mana saja stok itu? Ada di petani sendiri, ada di penggilingan, ada di pedagang, ada yang di rumah tangga. Ini stok ketahanan pangan yang sesungguhnya. Kalau di Bulog hanya satu 1,4 juta. Kecil,” tegasnya.
Pemerintah memang dinilai perlu meningkatkan stok pangan yang dikuasainya langsung. Secara ideal angka penguasaan stok pangan, terutama beras sebagai makanan pokok, ada di angka 17-20 persen. Dua kali lipat dari stok yang dikuasai oleh pemerintah saat ini.
Penguasaan stok ini terkait dengan penjagaan hasil produksi dan stabilisasi harga. Bila tidak dikuasai dan direkam dengan pasti, komoditas pangan akan menjadi bulan-bulanan perdagangan yang tidak pasti dan menyebabkan harga melonjak tajam.
Tergantung dengan impor?
Anggapan Indonesia masih tergantung dengan impor pangan untuk memenuhi kebutuhan domestiknya tidak dapat dibantah. Pada tahun 2015 saja, Indonesia masih mengimpor beras sebanyak 861 ribu ton beras dari Vietnam, Thailand, Pakistan, India, Myanmar, dan beberapa negara lainnya. Impor tersebut bernilai US$ 351,602 juta. Sementara itu, Jagung dan kedelai masih banyak bergantung ke Impor. Indonesia masih mengimpor jagung sebanyak 3,26 juta ton dengan nilai US$ 696,65 juta dan kedelai sebanyak 2,25 juta ton
senilai US$ 1,03 miliar.
Tak ayal kemampuan Indonesia untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri dipertanyakan. Walau demikian pemerintah terus berusaha menciptakan kemandirian pangan, bahkan kedaulatan pangan. Impor pun telah dibatasi sedemikian rupa. “Bukan berarti impor itu harus anti, tapi bagaimana sebaiknya memproduksi kebutuhan dari dalam negeri sendiri,” kata Gardjita.
Walau demikian, perlu diingat masalah pangan ini sangat kompleks. Pangan berbeda dengan komoditas lain yang tidak bisa dipendam dengan jumlah banyak dan waktu lama.
Untuk itu kebijakan fokus untuk memprcepat dan meningkatkan produktivitas domestik serta kebijakan impor pangan pokok harus direkayasa sedemikan rupa agar harga stabil. “Walau saat ini produksinya mencukupi, tapi komoditas itu sangat sensitif,” pungkas dia.
Kalau stok yang ada kurang dibandingkan konsumsi dan kebutuhan produksi domestik, harga melonjak dan bisa membuat rakyat teriak. Namun bila stok melimpah, harga dapat anjlok dan menyebabkan petani merugi. Selain meningkatkan produksi, pengaturan impor dan ekspor juga jadi pertimbangan.
Pengawasan juga harus dilakukan dengan ketat karena pangan sangat berpotensial besar menjadi ajang permainan pedagang nakal. Bukan tidak mungkin muncul kartel-kartel di sektor pangan yang tidak mungkin dihilangkan dari elemen kehidupan.
Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sempat mengungkap kartel garam. Bahkan saat ini setidaknya KPPU tengah mengungkap dugaan kartel di sekurang-kurangnya 10 komoditas pangan.
Ketua KPPU Syarkawi Rauf menyebut ada persoalan besar di seputar stok pangan Indonesia. “Ketidakjelasan jumlah stok menjadi persoalan. Akhirnya ada yang mendorong-dorong impor dan membuat petani kita dirugikan,” ujar Syarkawi kepada medcom.id, Minggu (10/4/2016).
Nilai bisnis yang menggiurkan membuat banyak pedagang besar yang akhirnya bermain di ekspor impor. Legal maupun tidak. Gardjita mengungkap, stok beras nasional yang sempat kecolongan oleh oknum pedagang nakal. Saat harga beras nasional sedang menurun karena panen, harga beras di negara lain tengah meningkat. Penyelundupan pun terjadi.
Permasalahan seputar ekspor impor beras ini ternyata diakui Syarkawi hingga membuat pedagang melakukan permainan di pasar lokal. “Dugaan kita ini, ada yang menahan-nahan pasokan beras dan membuat harga tinggi. Sehingga ini memerlukan intervensi pemerintah. Salah satunya dengan impor,” ungkap dia.
Bahkan kelompok tak bertanggung jawab ini membuat kelangkaan stok terjadi di beberapa pasar utama. Tahun lalu misalnya, kata Syarkawi, stok beras medium di pasar Cipinang Jakarta menghilang. Hal ini sangat aneh karena stok beras medium di Karawang, Bekasi, justru tidak ada masalah.
Dugaan permainan kartel dan kelompok-kelompok pencari untung besar ini memaksa pemerintah bekerja keras. Namun pemerintah hanya bisa berharap di tengah usaha kerasnya karena pangan sudah terlalu dilepas ke pasar. Peran negara tidak lagi sebesar saat Orde Baru yang dipimpin oleh presiden Soeharto.
Saat ini pemerintah sendiri tengah mencari cara agar ketahanan pangan dapat tercapai. BKP tengah menjalankan beberapa proyek percobaan seperti Toko Tani Indonesia untuk memangkas rantai distribusi. Upaya untuk mendorong masyarakat untuk beralih ke pangan lokal nonberas juga terus digencarkan.
Kementerian teknis juga tengah melakukan beragam upaya untuk meningkatkan produksi pangan dalam negeri. Beberapa diantara mekanisasi dan pengembangan teknologu pangan. Kementerian Pertanian dengan peningkatan kualitas benih dan irigasi, Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan penangkapan ikan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan perkebunannya, serta kementerian teknis dan kementerian terkait lainnya.
“Ketahanan pangan ini tidak hanya soal Kementerian Pertanian. Ini jadi pekerjaan bersama,” tegas Gardjita.
Salah satu yang tengah dilakukan beberapa lembaga adalah mendorong pengutan fungsi Bulog. Dengan penguatan fungsi Bulog lewat fungsi operator penjaga stok pangan nasional yang independen dapat mempercepat ketahanan pangan nasional.
“Saat ini Bulog serba sulit. Mereka tidak se fleksibel dulu dalam mencapai kedaulatan pangan. Pertama mereka terikat aturan, kedua mereka tidak seperti duluyang langsung bertangghawab ke Presiden,” ucap tim Staff Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan Khudori.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News