“Kita tidak dalam kondisi krisis. Kita dalam kondisi malah fundamental ekonomi kita membaik tapi ekonomi dunia terus buruk dan memberikan tekanan kepada kita, apalagi ditambah dengan sentimen,” ujar Agus di Jakarta, Kamis (27/8/2015).
Perlu disadari, ia menjelaskan, saat ini Indonesia tengah menghadapi tantangan global yang begitu besar. Tantangan itu semakin berat ketika ada sentimen bahwa Amerika Serikat akan menaikkan suku bunga dan Tiongkok mendevaluasi yuan.
“Kami sebagai Bank Indonesia sampai menyampaikan itu artinya memang undervalued. Jadi eksportir harusnya terpanggil untuk lepas dolar. Memang ada capital outflow tapi kurs lebih lemah dari nilai fundamental,” imbuh Agus.
Diketahui, pada 1998 external debt/GDP adalah 126,69 persen, sedangkan pada kuartal I-2015 sebesar 33,48 persen. Sedangkan kenaikan kurs terjadi dalam waktu yang sangat singkat di tahun 98, sampai 600 persen dari Rp2.000 menjadi Rp16.000 per dolar AS.
Untuk perbankan, rasio kredit bermasalah (nonperforming loan/NPL) saat ini sebesar 2,5 persen. Sedangkan di tahun 1998, sebesar 50 persen dari total kredit yang statusnya macet.
Agus menjelaskan, pada semester I, perekomian nasional disadari memang berjalan pelan karena pemerintahan yang baru belum bisa mencairkan anggaran seperti diharapkan. Terkait dengan nilai tukar rupiah, BI akan senantiasa meresponnya dengan kebijakan yang prudent dan konsisten untuk menjaga kondisi nilai tukar rupiah. Supaya tidak terjadi inflasi sampai larut.
“Dan inflasi kita juga sangat baik dan pasti berjalan ke arah yang baik, kita juga respon dengan kebijakan makro prudensial untuk bisa membuat ekonomi memperoleh pembiayaan yang baik,” kata Agus.
BI juga akan memberkan insentif kepada bank-bank yang memberikan pembiayaan kepada UMKM. Selain itu, mereka akan terus mendorong supaya dunia usaha melakukan prinsip kehati-hatian sebagaimana yang diatur oleh Bank Indonesia dengan melakukan minimum hedging dan minimum pengelolaan likuiditas.
“Kita juga ingin penggunaan transaksi rupiah dalam negeri bisa diimplementasikan, dan terutama kita melakukan koordinasi dengan pemerintah,”.
Agus yakin, permasalahan yang dialami Indonesia merupakan tantangan kepada kondisi global. Meskipun di dalam negeri juga ada tantangan, pemerintah sudah konsisten merespon supaya kinerja di 2015-2016 dapat membaik.
Sebelumnya, sepanjang tahun 2014, rupiah terdepresiasi 1,8 persen. Jika dibandngkan dengan negara lain, Indonesia dalam kondisi yang lebih baik. Seperti pada Brasil yang terdepresiasi 12,5 persen, Turki sebesar 8 persen, Malaysia sebesar 6 persen, Afrika Selatan sebesar 10 persen dan Korea Selatan sebesar 4,1 persen.
Di 2015 dari 1 Januari sampai sekarang, rupiah kembali terdepresiasi mencapai 12 persen. Jika dibandingkan dengan beberapa negara, Indonesia mengalami penguatan. Seperti halnya pada Malaysia yang terdepresiasi 17 persen, Turki sebesar 25 persen, Brasil sebesar 31 persen, negara-negara eropa dan Selandia Baru.
“Jadi kondisi kita memang ada pelemahan, tapi kalau kita dibandingkan dengan negara ini, kita menguat. Saya ingin menyampaikan bahwa kondisi nilai tukar kita memang ada tekanan, namun secara umum ekonomi kita masih dalam keadaan baik,” kata Agus.
Masuk kategori waspada

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro meminta masyarakat mewaspadai gejolak yang bisa ditimbulkan dari pelemahan nilai tukar rupiah yang telah menembus level Rp14.000 per dolar AS. Meski, kondisi ini tidak akan menyebabkan krisis moneter seperti di tahun 1998.
“Saya katakan, kita tidak dalam kondisi normal, tapi juga tidak dalam kondisi krisis. Jadi, kata waspada di sini adalah kata yang tepat. Selalu alert melihat apa yang terjadi dan berusaha untuk menangkal yang bisa mengganggu ekonomi kita lebih berat,” ujar Bambang di Jakarta, Kamis (27/8/2015).
Harus disadari, kondisi ekonomi Indonesia saat ini sangatlah rentan. Namun, Menkeu optimistis pasti ada jalan keluar dari semua permasalahan yang pelik ini. Bambang menilai, masalah krisis bukanlah isu yang main-main dan dianggap seolah-olah menarik. Padahal, jika Indonesia terkena krisis lagi seperti tahun 98, situasinya akan sangat berbahaya.
Saat ini tantangan perekonomian Indonesia terhadap global sudah jauh berbeda. Pada tahun 98, krisis global terjadi dalam durasi yang sangat panjang, antara satu krisis dengan krisis berikutnya memakan waktu puluhan tahun. Tetapi setelah 98, terutama setelah krisis global 2008, dapat dikatakan periodenya terjadi dalam hitungan bulan.
Setelah itu, muncul lah krisis Eropa yang disebabkan banyaknya negara-negara di Benua Biru mengalami kebocoran APBN. Imbasnya, beberapa negara di Eropa itu tidak bisa bertahan, seperti Yunani, Spanyol, Portugal, Italia dan Irlandia. Akhirnya, negara tersebut mencoba memulihkan diri. Beberapa bisa memulihkan diri dalam waktu yang lama, karena ada bantuan Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF).
Menurut Bambang, saat ini ekonomi di dunia mengalami pola baru. Perekonomian digenjot di luar kewajaran atau tidak mengikuti pola normal.
“Ekonomi yang dalam kondisi yang jalan biasa kemudian dipaksa berjalan cepat, dengan besar, dengan stimulasi moneter. Tentunya kalau perekonomian itu disuntik, pasti ada dampak positif, pasti itu sifatnya jangka pendek, dan satu lagi sifatnya gampang naik juga gampang turun. Nah, ini yang kemudian berimbas ke ekonomi Indonesia,” kata Bambang.
Diketahui, pelambatan ekonomi global sudan terjadi sejak tahun 2012. Bahkan, pelambatan kala itu lebih besar dibandingkan saat ini. Jadi saat ini yang musti dilakukan, kata Bambang, Indonesia seharusnya tidak lagi menggantungkan ekonomi kita pada komoditas.
“Saya pastikan tren ke depan akan sulit, tergantung kembali kepada komoditas. Lihat saja harga minyak, harga minyak yang dulu saya kira sangat rendah, harga rendah itu 50 USD per barel itu adalah sementara, ternyata dibuat lebih lama lagi pelemahan harganya. Bahkan sekarang cenderung lebih lemah dibandingkan sebelumnya. Tentunya kalau sudah begini, harga minyak rendah, maka harga-harga lain juga ikut sulit untuk ikut ikutan naik,” kata Bambang.
Kemungkinan, nantinya Amerika akan melakukan pengetatan kebijakan moneter setelah perekonomiannya membaik. Hal ini wajar apabila perbaikan ekonomi Amerika berjalan tidak stabil, karena dipengaruhi kondisi negara lainnya.
Dolar yang dulu disebar ke seluruh dunia, kemudian akan ditarik lagi ke Amerika. Tentunya, jumlah penyerapan dolar yang paling besar berasal dari emerging market. Pada tahun 2011, yang paling banyak mendapatkan pompaan dolar berasal dari emerging market seperti Indonesia, Tiongkok, Turki dan Brasil.
“Dan hari ini juga sudah bisa dibandingkan, kalau tahun 2011-2012 emerging market adalah darlingnya ekonomi dunia, dianggap sebagai global economic growth, saat ini menjadi seolah-olah sesuatu yang harus dihindari. Dihindari dalam artian resiko, resiko dollarnya yang sudah masuk ke emerging market harus dtarik keluar. Ini terlihat dari tekanan capital outflow yang kita alami sekarang,” kata Bambang.
Ditambah lagi, saat ini juga terjadi devaluasi yuan yang menyebabkan komplikasi perekonomian nasional. Selain itu, ketidakastian global juga menjadi ancaman bagi semua negara di dunia, termasuk Indonesia. Artinya, semua negara juga harus antisipatif dan responsif terhadap ketidakpastian tersebut.
Bambang menyayangkan, dengan adanya devaluasi yuan, banyak analis yang seolah-olah paham mengenai kondisi Indonesia. Padahal, yang mereka lihat hanyalah data makro tanpa mengacu data mikro. Para analis tersebut menggeneralisir kondisi yang dihadapi China dan Malaysia untuk merepresentasikannya dengan kondisi tanah air.
“Hal hal inilah yang harus kita tantang, karena itu ketika ada analis yang bicara negatif mengenai Indonesia, ya kami sebagai pemerintah harus bertindak. Karena bagaimanapun, itu adalah seuatu yang tidak etis juga karena menjadikan negara ini sebagai komoditas,” sebut Bambang.
Bambang menegaskan, saat ini pemerintah, Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan tetap berusaha menjaga ekonomi nasional stabil. Bambang juga kembali menekankan bahwa kondisi di tahun 2015 ini sangat berbeda jauh dengan yang di tahun 98.
“Pada tahun 98, kita terlalu terbuai dengan pertumbuhan yang tinggi pada waktu itu. Dan agak melupakan sisi stabilitas dan kemudian kolaps begitu saja karena tidak ada pertanahannya. Sekarang kita sangat menjaga stabilitas ekonomi,”.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News