Direktur Eksekutif Indef, Enny Sri Hartati. (foto: MI/Atet Dwi Pramadia)
Direktur Eksekutif Indef, Enny Sri Hartati. (foto: MI/Atet Dwi Pramadia)

Rezim Devisa Bebas dan Kesulitan Stabilkan Rupiah

Medcom Files telusur rupiah
Hardiat Dani Satria • 29 Agustus 2015 09:20
medcom.id, Jakarta: Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, menyatakan kondisi rupiah akan sulit menuju kestabilan. Terlebih dalam jangka waktu yang singkat ini.
 
“Intinya agak sulit dalam jangka pendek. Karena faktor positifnya tidak terlalu signifikan, artinya kalaupun misanya ada upaya Bank Indonesia melakukan operasi pasar sekalipun itu kan tidak akan signifikan,” ujar Enny kepada medcom.id.
 
Enny menyebutkan, tekanan pelemahan rupiah berasal dari faktor internal dan eksternal. Faktor internal berasal dari kondisi perekonomian dalam negeri, sedangkan eksternalnya antara lain dolar Amerika Serikat yang menguat dan devaluasi yuan oleh Tiongkok.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Saat ini, yang bisa dilakukan pemerintah seharusnya meyakinkan para pelaku usaha, sehingga mereka tidak melakukan spekulasi. Namun, kondisi ini terasa sulit karena secara bisnis pelaku usaha akan mengambil keuntungan. “Jadi justru itu yang menjadi persoalan, karena memang yang dilakukan harus hati-hati betul, karena pasar ini kan sangat liar sehingga karena ada sisi invisible hand yang tidak mudah siapa yang mengendalikan, bagaimana arahnya begitu. Sehingga apa yang dilakukan oleh pemerintah yang sifatnya menimbuilkan risiko, ini memang harus hati-hati,” kata Enny.
 
Enny menjelaskan, perlu dibedakan mengenai definisi dari penguatan rupiah atau kestabilan rupiah. Jika penguatan yang dimaksud itu membuat rupiah dari Rp14.000 menjadi turun di bawahnya sedikit, adalah sesuatu yang memungkinkan. Akan tetapi jika yang dimaksud adalah mengembalikan rupiah ke kisaran Rp11.500, tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat.
 
“Tapi kalau rupiah di bawah Rp14 ribu itu masih memungkinkan. Dengan catatan bahwa pemerintah bisa menenangkan pasar, artinya menenangkan ini bukan pasar masyarakat ya, maksudnya menenagkan itu kan maksudnya menenagkan pelaku pasar yang besar-besar,”.
 
Saat ini, kondisi aliran modal asing yang masuk ke dalam negeri masih tinggi. Aliran hot money inilah yang biasa disebut sebagai penyebab tidak stabilnya nilai rupiah. Namun, selama rezim devisa bebas masih berlaku di Indonesia, alirah uang panas tersebut tetap akan berjalan.
 
Rezim Devisa Bebas dan Kesulitan Stabilkan Rupiah
 
Menurut Enny, selama Indonesia menganut rezim devisa bebas, maka akan sulit mengendalikan hot money. Satu-satunya cara adalah dengan melakukan pelarangan, seperti di Malaysia yang sistem investasi asingnya dikendalikan pemerintah. Akan tetapi, jika dikendalikan oleh pemerintah, maka devisa negara juga harus besar. Berdasarkan data BI, cadangan devisa Indonesia sampai dengan Agustus 2015 berada di posisi USD107 miliar.
 
“Ya kalau cadangan devisa kita hanya seratus berapa, dan beban bunga cicilan utangnya begitu besar, ya dimakan pasar,” kata Enny.
 
Maka dari itu Indonesia seharusnya memiliki strategi di tengah gejolak pelemahan ekonomi global ini. Sebab, disadari saat ini negara-negara ekonomi besar seperti Tiongkok tengah melancarkan currency war dengan mendevaluasi mata uangnya. Antara Amerika dan China tengah beradu strategi guna melindungi kepentingan domestiknya.
 
Menurut Enny, Tiongkok akan mencari akal bagaimana pabriknya tetap berproduksi dan produknya tetap laku di pasar global supaya tidak terus mnegalami perlambatan ekonomi. Maka dari itu, Tiongkok meningkatkan daya saing produk-produknya di luar negeri dengan cara mendevaluasi mata uang.
 
"Itu kan stretegi untuk perlindungan kepentingan masing-masing. Nah sekarang yang kita tanya, Indonesia strateginya apa dalam menghadapi strategi yang dilakukan oleh China, strategi yang dilakukan oleh Amerika?,” kata Enny.
 
Sebagai dampak dari currency war tersebut, Indonesia bakal terancam neraca perdagangannya. Dalam hal hubungan dagang antara Indonesia dengan China, negeri tirai bambu tersebut akan mengalami keuntungan berlipat. Sebab mereka dapat membuat lebih murah harga komoditas ekspornya ke tanah air.
 
“Kita mengekspor komoditas yang oleh China diolah menjadi produk, produk itu yang kita impor. Jadi kita itu rugi dua kali. China untung, karena harga komoditasnya turun, ditambah lagi kebijakan devaluasi mata uang. Itu kan akan membuat barang-barang China menjadi murah,” kata Enny.
 
Kebijakan rezim devisa bebas perlu direvisi
 
Rezim Devisa Bebas dan Kesulitan Stabilkan Rupiah

 
Pengamat ekonomi, Kusfiardi, menilai kebijakan rezim devisa bebas sebagai salah satu pangkal permasalahan gejolak nilai tukar rupiah saat ini. Maka dari itu, kebijakan yang membebaskan hot money keluar masuk negara, perlu direvisi.
 
“Kebijakan yang harus direvisi itu, pertama soal kebijakan rezim devisa bebas. Kedua, kebijakan Minerba. Ketiga, mengenai kebijakan ekspor bahan mentah. Dan keempat, bagaimana negara bisa langsung intervensi melalui penyertaan modal negara untuk memberikan nilai tambah kepada hasil sumber daya alam Indonesia,” ujar Kusfiardi kepada medcom.id.
 
Karena selama ini Indonesia menganut rezim devisa bebas, maka orang-orang dengan mudahnya membawa masuk dan keluar uang dari Indonesia, kapanpun, dimanapun serta dalam jumlah berapapun. Hal inilah yang dinilai sebagai biang keguncangan dalam perekonomian nasional.
 
“Uang itu kan lebih banyak masuk ke bisnis portofolio ketimbang sektor riil. Alhasil, seperti yang saya sektor riil kita enggak tumbuh tapi sektor keuangnnya mendominasi. Akhirnya sekror riil harus menanggung gejolak yang terjadi di sektor keuangan ini. Efeknya sangat memberatkan secara keseluruhan perekonomian nasional,” imbuh Kusfiardi.
 
Kusfiardi menjelaskan, dengan direvisinya kebijakan rezim devisa bebas, otomatis akan mengoreksi praktik lalu lintas devisa Indonesia selama ini. Dengan demikian, laju hot money yang terlalu liar dapat tertahan.
 
“Pemerintah tidak boleh membiarkan uang keluar masuk Indonesia. Dan memastikan uang yang keluar masuk Indonesia itu ditransmisikan ke sektor riil kita. Supaya tidak bisa digunakan sebagai alat spekulasi oleh para pemilik modalnya,” kata dia.
 
Kusfiardi yakin, jika beberapa kebijakan yang disebutkannya direvisi, maka bukan tidak mungkin rupiah dapat mengalami penguatan. Dalam jangka menengah, Indonesia pun bisa memperbaiki performa nilai tukar mata uang rupiah terhadap mata uang utama dunia.
 
Saat ini beberapa negara di Eropa tetap mempertahankan suku bunganya tetap rendah. Hal ini disebabkan karena negara-negara maju tersebut enggan membiarkan hot money masuk ke negara mereka. Maka dari itu, mereka memberlakukan kebijakan suku bunga rendah.
 
“Dengan suku bunga rendah itu kan menjadi tidak menarik bagi pemilik hot money itu untuk menaruh uangnya di negara itu. Nah akibatnya, yang menanggung adalah negara-negara emerging yang seperti Asia Tenggara, termasuk Indonesia, karena suku bunganya tinggi, rezim devisa bebas, dan nilai tukarnya pun gampang diutak-atik,” ujar kusfiardi.
 
Sedangkan alasan mengapa Indonesia tetap menerapkan suku bunga yang tinggi, lanjut Kusfiardi, karena pemerintah tidak mau uang lari dari Indonesia. Namun kenyatannya, justru kondisi ini menunjukkan bahwa pemerintahan lebih berpihak kepada kepentingan asing.
 
“Dengan cara memberikan keuntungan kepada asing dengan memberlakukan suku bunga tinggi. Sehingga mereka yang membeli surat-surat berharga, baik itu surat hutang, baik itu sertifikat Bank Indonesia, dan surat berharga lain yang dikeluarkan pemerintah dan bank sentral itu akan menikmati keuntungan dengan bunga yang tinggi itu. Sementara rakyat terus dipaksa untuk mengencangkan ikat pinggang, subsidi dicabut, kemudian pajak dinaikkan, nah ini saya kira situasinya,” papar Kusfiardi.
 
Ditambah lagi, saat ini tengah terjadi currency war yang dilakukan oleh pemain besar perekonomian dunia. Sedangkan Indonesia, saat ini tidak memiliki strategi apa-apa untuk menghadapi situasi tersebut. Menurut Kusfiardi, Indonesia tidak memiliki orientasi dalam kebijakan perekonomiannya.
 
“Tindakan pemerintah Tiongkok mendevaluasi nilai yuan, dia kan punya bempernya berupa industri mereka yang kuat. Ekspor mereka juga kuat. Jadi mereka sangat confident dan bisa memetik manfaat. Kalau nilai tukarnya lebih murah dibanding mata uang utama dunia, maka itu akan memicu atau mendorong kenaikan ekspor. Nah, itu dinikmati oleh Tiongkok per hari ini dengan mendevaluasi nilai Yuan,” kata Kusfiardi.
 
Rezim Devisa Bebas dan Kesulitan Stabilkan Rupiah
 
Dampak adanya currency war ini terhadap Indonesia antara lain adalah melorotnya nilai tukar rupiah dan tergangunya kegiatan sektor riil. Selan itu, efek selanjutnya pastinya kan merugikan buruh dan terganggunya impor bahan baku oleh beberapa industri.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan