medcom.id, Jakarta: Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia menjadi pasar potensial untuk produk-produk berbasis syariah. Setidaknya, ada tiga sektor industri yang bisa dikembangkan di Indonesia untuk mendapat manfaat di pasar itu: makanan halal, industri syariah, dan busana muslim.
Apalagi, karena Indonesia bukan negara Islam, maka mayoritas masyarakatnya menganut Islam moderat, yang masih menjunjung tinggi demokrasi dalam kehidupan sosialnya.
Tapi, lebih dari itu, pertumbuhan kelas menengah di Indonesia harus dilihat sebagai faktor yang makin dapat memperbesar peluang dan potensi pasar produk serta jasa berbasis syariah itu.
Data menunjukkan bahwa saat ini, ada sekitar 74 juta masyarakat yang belanjanya USD200 per bulan. Kemudian ada lebih dari 20 juta yang belanjanya lebih dari itu, dan mereka disebut konsumen kelas menengah.
Industri makanan halal merupakan salah satu potensi yang bisa dikembangkan. Pemerintah pernah menawarkan berbagai produk makanan halal asli Indonesia untuk diekspor ke Republik Tartastan, di mana 51 persen masyarakat di negara federasi Rusia itu beragama Islam.
Potensi ekspor produk-produk halal Indonesia untuk dipasarkan di negara-negara pecahan Rusia sangat besar, tidak hanya di Tartastan. Ada sekitar 20 juta umat muslim di kawasan itu.
Pemerintah mengklaim bahwa selain telah memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan syariah Islam, makanan halal produk Indonesia dijamin higienis dan sehat. Hampir sebagian besar produk makanan Indonesia dalam kemasan baik dan itu sudah berlabel halal.
Perdagangan Indonesia dengan Federasi Rusia nilainya telah mencapai US$3,37 miliar pada 2012. Angka tersebut meningkat dua kali lipat dari 2008 sebesar US$1,64 miliar.
Geliat tren bisnis produk halal di Indonesia
Berdasarkan data dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM), jumlah produk yang beredar di masyarakat sebanyak 194.776. Namun, hanya setengahnya yang telah memiliki sertifikat halal dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam masa berlaku tahun 2013 – 2015. Jumlah produk bersertifikat halal tersebut ada sebanyak 98.543 atau memiliki prosentase sebesar 50,6 persen.
Indonesia merupakan salah satu negara dengan pemeluk agama Islam terbesar di dunia. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pada 2010 total penduduk Indonesia mencapai 238 juta jiwa dengan jumlah penganut agama Islam mencapai 87 persen atau sekitar 207 juta jiwa.
Maka dari itu, terlihat aneh apabila melihat mayoritas jumlah penduduknya yang muslim dengan kondisi sertifikasi produk halalnya yang masih kurang di masyarakat. Apabila dibandingkan dengan negara-negara lain yang mayoritas penduduknya beragama Islam, Indonesia masih kalah dalam upaya mengencarkan bisnis produk halal.
Data dari State of The Global Islamic Economy 2014-2015 menyebutkan indikator tren bisnis halal terlihat pada lima bidang industri terus menunjukkan kemajuan. Antara lain jasa keuangan Islami (Islamic finance), makanan halal, busana muslim, media dan rekreasi halal, serta farmasi dan kosmetika halal.
Namun, Indonesia menempati urutan kesepuluh dari negara-negara pelaksana ekonomi Islam itu. Kesepuluh besar negara tersebut adalah Malaysia, Uni Emirat Arab, Bahrain, Oman, Arab Saudi, Qatar, Kuwait, Yordania, Pakistan dan Indonesia.
Kondisi ini menandakan bahwa Industri halal di Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan beberapa negara tetangga, bahkan dengan negara-negara non muslim. Padahal potensinya begitu besar.
Peringkat tertinggi untuk negara produsen makanan halal dikuasai oleh Malaysia, Brasil, Uni Emirat Arab dan Amerika Serikat.
Adapun untuk negara produsen sektor fashion muslim terbanyak diraih oleh Uni Emirat Arab, Tiongkok dan Italia.
Begitu pula untuk karegori negara dengan penerapan sektor keuangan syariah, didominasi oleh Malaysia, Bahrain dan Uni Emirat Arab. Sedangkan untuk pasar media dan rekreasi halal didominasi oleh Singapura, Uni Emirat Arab dan Inggris.
Tak hanya itu, negara teratas pemain halal travel adalah Malaysia, Uni Emirat Arab dan Singapura. Terakhir, negara pemain besar dalam sektor kosmetik dan farmasi adalah Malaysia, Mesir dan Singapura.
Tren global
Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Obat obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI) Lukmanul Hakim, menyatakan bahwa seharusnya Indonesia dapat melihat peluang pasar bagi industri untuk memproduksi produk-produk yang terjamin halal.
Apalagi, meningkatnya kepedulian konsumen dan produsen terhadap produk halal terbukti dengan naiknya omzet perusahaan setelah mendapatkan sertifikat halal. Selain itu, jumlah produk dan perusahaan bersertifikat halal juga terus meningkat di Indonesia.
LPPOM MUI mengungkakan bahwa produk bersertifikat halal tahun 2012 sebanyak 19.830 produk. Kondisi ini meningkat hampir dua kali lipat menjadi 34.634 produk di tahun 2013. Kemudian naik lagi menjadi 40.631 produk di tahun 2014. Hingga Mei 2015, total produk bersertifikat halal di pusat dan daerah mencapai 171.907 produk.
Selain itu, sepanjang kurun waktu tahun 2012-2014, jumlah perusahaan bersertifikat halal juga mengalami peningkatan. Ada 626 perusahaan bersertifikat halal di tahun 2012. Kondsi ini naik menjadi 913 perusahaan di tahun 2013 dan 961 perusahaan di tahun 2014.
“Produk yang masih minim disertifikasi halal adalah produk farmasi (obat-obatan) dan untuk produk kosmetika sudah mulai meningkat. Sedangkan produk pangan (Makanan dan Minuman) adalah produk yang paling besar disertifikasi halal,” ujar Lukmanul kepada medcom.id.
Ketua Komite Syariah World Halal Food Council (WHFC), Asrorun Ni’am Sholeh menjelaskan, saat ini kesadaran memenuhi hak atas pangan halal oleh produsen terus meningkat secara global. Di negara-negara yang mayoritas beragama non-muslim pun sudah banyak yang menerapkan prinsip halal bagi prouk-produknya.
"Pangan halal adalah kebutuhan setiap muslim," kata Asrorun kepada medcom.id.
Ia menjelaskan, banyak ayat alquran maupun hadis yang menegaskan keharusan konsumsi halal. Perintah itu bersifat umum. Karenanya, berlaku di mana saja muslim berada. Perkembangan teknologi pangan menyebabkan kompleksitas pengetahuan tentang halalnya produk pangan. Arus pergerakan orang antar daerah, bahkan antar negara, memerlukan kehati-hatian dalam memilih makanan. Situasi demikian menyebabkan makin banyak “syubhat” (ketidakjelasan status halal).
Kesadaran memenuhi hak atas pangan halal oleh produsen terus meningkat secara global. Di negeri yang tidak akrab dengan term halal pun, pangan halal kini tidak lagi barang langka. Banyak maskapai kelas dunia menyediakan menu halal. Dikenal dengan sebutan Moslem Meal (MoML).
“Saya mendapati layanan itu dalam sejumlah maskapai, mulai Japan Airlines, American Airlines, Singapore Airlines, Qantas, Chatay Pacific (Hong Kong), Saudia, Emirates, Qatar Airways, sampai Malaysia Airlines. Dalam penerbangan domestik India dan China pun, tersedia menu halal,” kata Asrorun.
Mengonsumsi produk halal, ia melanjutkan, adalah hak dasar setiap muslim. Ada dimensi kesehatan dan ekonomi di dalamnya. Sebagai negara berpenduduk mayoritas muslim, tanpa diminta, seharusnya negara hadir melindungi hak dasar warganya. Hal ini dilakukan supaya pengusaha sadar akan tanggung jawabnya dalam melindungi konsumen.
Selain itu, pembuat regulasi juga harus memberi penjaminan produk halal. Maka dari itu, Undang-Undang Jaminan Produk Halal (UU JPH) Nomor 33 Tahun 2014 adalah bagian dari pemenuhan hak dasar tersebut, di tengah realitas dunia yang sudah melihat halal sebagai trend global. Mengingat tahun 2018 adalah berakhirnya masa penyesuaian terhadap UU JPH, maka pelaku usaha wajib melakukan sertifikasi halal terhadap produknya sebelum dipasarkan.
“Sementara di negeri kita, meski sudah diundangkan, masih saja muncul upaya pemandulan UU untuk tidak segera direalisasikan. Bangsa besar adalah bangsa yang bisa menangkap peluang dan tanda zaman serta berpikir jauh ke depan,” imbuh Asrorun.
Asrorun menilai, halal tidak sekedar kebutuhan umat Islam. Melainkan sudah menjadi trend global, yang bersifat universal.
“Singapura bahkan sudah mendeklarasikan diri sebagai hub internasional untuk halal, hanya dengan modal menjadi tetangga Indonesia. Akankah kita selalu menjadi bangsa tertinggal. Saatnya kita semua sadar,” tukas Asrorun.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News