Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar melaporkan kasus dugaan SMS palsu, yang membuatnya terjerat kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. (ANTARA/Reno Esnir).
Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar melaporkan kasus dugaan SMS palsu, yang membuatnya terjerat kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. (ANTARA/Reno Esnir).

Memahami Kriminalisasi

Medcom Files antasari azhar
Sobih AW Adnan • 20 Februari 2017 14:40
medcom.id, Jakarta: Ialah Antasari Azhar, nama ke sekian dari jajaran ‘orang besar’ yang pernah akrab dengan istilah kriminalisasi. Kala menjabat sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) RI pada 2009, ia merasa diseret paksa menjadi tersangka pembunuhan Direktur PT Rajawali Putra Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen yang tewas ditembus timah panas.
 
Penyebutan kriminalisasi mirip ungkapan penolakan dari terduga pelaku tindak pidana. Ciri lainnya, istilah ini biasa digunakan untuk menandai sebuah pengungkapan kasus ‘baru’ yang menjerat seseorang yang tengah menjadi sorotan.
 
Kriminalisasi pun, lantas makin masyhur dengan makna jebakan dan rekayasa.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Selain Antasari, penggunaan istilah kriminalisasi juga pernah mengiringi beberapa rekannya yang lain. Pada 2015, Abraham Samad, Bambang Widjojanto, serta Novel Baswedan disangka kasus berbeda ketika lembaga antirasuah itu bersitegang dengan Kepolisian RI (Polri). Abraham disangka dua kasus sekaligus, yakni pemalsuan dokumen dan penyalahgunaan wewenang sebagai Ketua KPK. Begitu juga Bambang, saat menjabat Wakil Ketua KPK tiba-tiba diketok sebagai tersangka dalam kasus kesaksian palsu di bawah sumpah pengadilan. Sementara sang penyidik KPK, Novel Baswedan diseret dalam kasus penganiayaan yang menyanderanya sejak 2012.
 
Sebutan kriminalisasi muncul lantaran pengungkapan kasus-kasus itu ada hanya beberapa saat setelah KPK menetapkan calon Kapolri tunggal, Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi. Bahkan, KPK menyebut nama mantan ajudan Presiden Megawati Soekarnoputri itu sudah masuk daftar merah sejak menjabat Kepala Biro Pembinaan Karier Deputi Sumber Daya Manusia Polri periode 2003-2006.
 
Di luar lembaga anti-korupsi, istilah kriminalisasi juga marak diadopsi. Belakangan hari, kriminalisasi menyeruak seiring ditetapkannya Rizieq Shihab atas berbagai laporan kasus yang menderanya.
Bagi pengikutnya, penetapan Rizieq sebagai tersangka penistaan simbol negara adalah upaya kriminalisasi lantaran pentolan Front Pembela Islam (FPI) itu kerap melancarkan kritik terhadap Pemerintahan Presiden Joko Widodo.
 
Seiring penetapan Rizieq sebagai tersangka pada pengujung Januari 2017, simpatisan FPI pun meramaikan isu kriminalisasi dengan tanda pagar #UmatIslamSiaga1 di dunia maya.
 
Sebutan kriminalisasi terus dipakai. Istilah itu lazim muncul menyertai pentersangkaan para pesohor, termasuk saat pengungkapan kasus dugaan korupsi yang mendera mantan Menteri BUMN, Dahlan Iskan, hingga operasi tangkap tangan (OTT) dugaan suap hakim Mahkamah Konstitusi (MK), Patrialis Akbar.
 
Neologisme
 
Siapa sangka, istilah yang banyak disebut-sebut itu ternyata memiliki makna berbeda dalam dunia hukum pidana. Bukan untuk sebutan kasus hasil rekayasa, kriminalisasi sebenarnya digunakan untuk penamaan sistem legal pemerintah dalam menerbitkan sebuah peraturan.
 
Kriminolog Universitas Indonesia (UI), Adrianus Eliasta Meliala mengatakan dalam penggunaan istilah kriminalisasi telah terjadi pergeseran makna. Awalnya, kriminalisasi dipahami sebagai sistem legal yang ditempuh pemerintah untuk menjadikan sebuah perbuatan bebas menjadi tindak terlarang dalam peraturan pidana.
 
“Contohnya, tindak terorisme. Sebelum 2002, tindakan teror tidak menjadi urusan pidana. Lalu itu dicover di dalamnya,” kata Adrianus kepada medcom.id, Kamis (16/2/2017).
 
Meski begitu, Adrianus menjelaskan bahwa dalam melakukan kriminalisasi, pemerintah mesti melewati seabrek syarat yang ketat. Penerbitan legislasi khusus dan Undang-undang (UU) baru termasuk ketentuan yang haram diabaikan.
 
“Bukan hanya bergeser, istilah kriminalisasi bahkan menghadirkan makna baru. Neologisme itu mungkin muncul dari pengalaman penguasa masa lalu yang diduga sering memanfaatkan putusan tindak kriminal untuk menyingkirkan orang-orang yang dianggap berseberangan,” ujar Adrianus.
 
Neologisme dalam sebuah istilah bukan barang baru dalam kehidupan masyarakat. “Begitu juga kriminalisasi yang digunakan masyarakat untuk menyebut setiap orang yang mendapat panggilan kepolisian dan diperkarakan menuju tersangka,” kata dia.
 
Soal Neologisme ini, penjelasan Adrianus serupa dengan pemaparan Thierry de Montbrial Yves saat ia berpidato dalam perayaan ulang tahun ke-50 Komisi Nasional Prancis. Naskah yang termaktub dalam Birth A Civilization (1999) karya Brunsvick dan Andre Danzin menyebut neologisme alias perubahan linguistik sangat dekat dengan persoalan kultural.
 
“Kita sudah terbiasa dengan bahasa simbol yang kekayaannya justru terletak pada ketidakjelasan,” ucap Thierry dalam buku tersebut.
 
Pembenaran
 
Profesor Satjipto Rahardjo dalam Sisi-sisi lain dari Hukum di Indonesia (2003) juga menjelaskan bahwa kriminalisasi sebenarnya adalah lambang dalam penegakan hukum secara yuridis konvensional, artinya ia bekerja menurut prosedur yang sudah ditetapkan oleh hukum.
 
“Mengambil contoh dalam bidang hukum pidana, pola yuridis dilambangkan dengan kriminalisasi, sedangkan pola sosiologis dilambangkan dengan kerja sama,” tulis dia.
 
Kriminalisasi memiliki kelemahan. Pola hukum ini harus menunggu sampai peristiawanya terjadi. Sedangkan pada pola kerja sama, negara berusaha agar peristiwa yang tidak dikehendaki hukum jangan sampai muncul.
 
“Kriminalisasi tidak banyak dipakai di Indonesia,” kata Adrianus, membenarkan keterangan Sartjipto.
 
Jika masyarakat mengalihkan makna kriminalisasi sebagai rekayasa kasus, Adrianus terang tidak sepakat. Menurut dia, rekayasa itu sangat tidak diperbolehkan dalam tata aturan hukum di Indonesia.
 
“Lagi pula, rekayasa itu tidak mudah. Butuh penyesuaian bukti, saksi, ahli, juga petunjuk secara bersamaan. Maka, kalau tidak bersalah, tidak usah takut,” ujar dia.
 
Pengamat kepolisian, Bambang Widodo Umar mengatakan pergeseran makna kriminalisasi oleh masyarakat mungkin juga merujuk pada beberapa kasus salah tangkap.
 
“Istilah itu juga bisa dikatakan sebagai kritik atas lemahnya penegak hukum dalam menentukan sebuah tindakan sebagai pidana, tapi unsur-unsurnya kurang,” kata Bambang kepada medcom.id, Rabu (15/2/2017).
 
Kontrol hukum harus diperbaiki. Hal itu, kata Bambang, terutama dalam proses penyelidikan dan penyidikan. “Termasuk kontrol dari publik harus dilembagakan. Diberi landasan UU agar masyarakat mendapat ruang untuk memberikan suara dan memahami istilah-istilah hukum dengan lebih baik,” kata dia.
 
Sementara itu, Ketua Presidium Indonesia Police Watch, Neta S. Pane menyayangkan jika istilah kriminalisasi pada akhirnya digunakan oknum sebagai sebuah pembenaran.
 
“Ketika bukti dan alat hukum lainnya sudah begitu kuat, istilah kriminalisasi lazim dimunculkan seseorang sebagai bentuk penolakan dan penggiringan opini serta dukungan publik,” kata Neta kepada medcom.id, Kamis (16/2/2017).
 
Pergeseran makna kriminalisasi harus menjadi permenungan dua pihak, baik bagi masyarakat awam maupun penegak hukum. Bahayanya, jika dibiarkan orang-orang akan bingung saat istilah itu ditemukan dalam prinsip hukum legal.
 
“Kemudian, kriminalisasi sama-sama dijadikan pembenaran,” kata dia.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan