medcom.id, Jakarta: Fluktuasi harga beras yang terjadi dari bulan Agustus 2014 sampai Maret 2015 sempat meresahkan masyarakat. Meskipun pada bulan April, harga beras sempat mengalami penurunan karena stok yang bertambah setelah panen raya. Namun, prediksi kenaikan harga beras kembali menjadi momok menjelang Ramadan yang berlangsung di bulan Juni 2015. Apalagi di beberapa daerah kenaikan harga beras sudah terjadi kembali.
Aneh memang, jika terjadi kenaikan harga beras setelah panen raya berlangsung. Fluktuasi harga ini menyasar pada harga-harga bahan pangan, khususnya beras. Padahal, selama panen raya dan sesudahnya, tidak ada gangguan musiman yang dapat menurunkan stok beras di pasaran. Ditambah lagi, dari sisi permintaan beras pada bulan Mei yang tidak mengalami kenaikan.
“Dari sisi kenaikan harga ini tidak ada trigger-nya, tidak ada faktor pendorongnya, tetapi terjadi peningkatan harga. Ini menunjukkan ada perilaku-perilaku dalam mekanisme persaingan ini yang tidak sehat,” ujar peneliti Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Enny Srihartati kepada medcom.id.
Menurut Enny, tak terbendungnya lonjakan harga beras ini disebabkan kelambanan kinerja Tim Pemantau Inflasi Daerah (TPID). Selain itu, adanya persoalan-persoalan klasik di komoditas pangan yang tidak pernah terselesaikan. Seperti halnya, harga beras nasional yang selalu naik meski di pasar global harga beras justru sedang mengalami penurunan.
Melihat fenomena ini, timbul kecurigaan bahwa ada pihak tertentu yang mempermainkan harga komoditas ini di pasar nasional. Saking punya pengaruh di jalur perniagaan beras, pihak ini disebut-sebut sebagai mafia beras.
Sepertinya para mafia beras memang sengaja membuat tren harga beras nasional naik agar pemerintah melakukan stabilisasi dengan membuka keran impor. Atau bisa jadi, para mafia beras ini juga mencari keuntungan dengan melakukan penimbunan beras, kemudian menunggu momentum kenaikan harga pasar.
Jika menilik data produksi beras nasional lima tahun terakhir, pemerintah surplus beras antara 4-10 juta ton tiap tahunnya. Ini mengindikasikan bahwa kebutuhan beras nasional sudah tercukupi oleh produksi beras nasional.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2010, produksi beras mencapai 37.222.861 Ton. Sedangkan total kebutuhan beras sebesar 33.005.968 Ton. Artinya, ada sisa 4.116.893 Ton surlus dari produksi beras nasional.
Begitu juga pada tahun-tahun berikutnya. Seperti pada tahun 2011 pemerintah surplus 3.914.286 ton, 2012 surplus 5.096.458 ton, 2013 surplus 7.107.145 ton dan sampai mencapai 10.033.158 ton di tahun 2014.
Namun, dari tahun 2010 sampai 2014, pemerintah masih saja impor beras. Padahal kebutuhan pasokan beras dapat dikatakan surplus besar. Sebut saja, pada tahun 2010, pemerintah impor beras sebesar 687.582 ton. Sedangkan jumlah itu naik drastis pada tahun 2011 yang mencapai 2.744.002 ton. Data ini menunjukkan bahwa dikala pemerintah surplus beras hingga 10 juta ton, ternyata keran impor masih dibuka.
Ditambah lagi, harga beras yang selalu bergejolak kemudian memunculkan keraguan terhadap data surplus beras pemerintah. Pertimbangan impor beras antara lain upaya stabilisasi kelangkaan komoditas di dalam negeri. Nah, yang menjadi pertanyaan adalah, ke manakah surplus beras yang selalu tercatat selama kurun tahun-tahun itu?
Anggota Komisi IV DPR Firman Soebagyo menyatakan bahwa data-data yang dipublikasikan oleh BPS atau Kementerian Pertanian terkait sektor pangan masih sumir dan banyak yang perlu dipertanyakan. Ia sendiri tidak meyakini data BPS dan Kementan mengenai surplus beras, sebab realitas di lapangan sungguh berbeda.
Jadi, Firman menilai baik BPS maupun Kementan tidak memiliki data yang valid mengenai produksi beras nasional dan kebutuhan beras di dalam negeri.
Menurut Firman, fenomena mafia beras memang ada dan bukan sekadar isu hisapan jempol belaka. Ia mengaku pernah melakukan penelusuran saat melakukan kunjungan ke daerah di saat reses DPR dan menemukan sejumlah perusahaan swasta yang bergerak di sektor beras dan pangan membeli beras dari petani dengan harga yang lebih tinggi dari ketentuan Inpres harga pembelian pemerintah (HPP). Otomatis, petani akan lebih memilih menjual berasnya ke perusahaan swasta itu daripada ke Perum Bulog.
Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik atau disingkat Perum Bulog adalah sebuah lembaga pangan milik pemerintah di Indonesia yang mengurusi tata niaga beras.
Anggota DPR dari Fraksi Golkar itu menemukan adanya indikasi mafia beras dalam praktik-praktik perdagangan di sejumlah daerah seperti Sidoharjo, Sragen dan Ngawi. Ia mencermati perusahaan-perusahaan swasta itu langsung memborong hasil panen beras supaya petani tidak menjualnya ke Bulog. Setelah membeli dari petani dengan harga yang lebih tinggi dari Inpres, perusahaan swasta itu dapat dikatakan telah menguasai stok beras di daerah tersebut.
“Sekarang ini swasta masih boleh melakukan penimbunan. Karena pemerintah tidak akan impor, maka perusahaan nasional melakukan aksi borong, ditimbun. Kemudian ketika nanti posisi menjelang Ramadan kebutuhan meningkat, (timbunan) ini tidak mereka keluarkan. Otomatis akan ada isu kelangkaan, maka dari itu terjadi kenaikan harga, dan di situ mereka (mafia beras) dapat keuntungan,” kata Firman kepada medcom.id di Kantornya.
Hal inilah yang membuat kemampuan Bulog menyerap beras dari petani begitu rendah dan tidak sesuai dengan harapan. Ditambah lagi, sepak terjang mafia beras tidak hanya berada di tataran pasar daerah. Menurut peneliti Center of Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Khadaffi, para mafia beras juga mampu mengintervensi kebijakan. Pangusaha yang diduga mafia beras diduga memiliki hubungan dengan orang di pemerintahan yang berwewenang membuat aturan Inpres HPP.
“Mafia itu bisa tetap ada karena ada kerjasama dengan orang dalam pemerintahan, jadi sudah tahu itu harga pasar sangat sedikit sekali selisihnya dengan Inpres, mereka main di Inpres supaya kelihatannya harganya murah,” kata Uchok kepada medcom.id.
Menurut Uchok, Bulog juga sudah sudah di-setting supaya membeli beras dari petani dengan harga yang murah. Para mafia beras ini diduga telah mengintervensi Inpres ini supaya HPP tetap rendah. Apabila HPP rendah, maka kecil kemungkinan petani menjual berasnya ke Bulog. Maka dari itu, petani akan cenderung menjual beras ke pengusaha yang menawarkan harga yang lebih tinggi dari HPP. Alhasil, ini membuat daya serap Bulog tidak pernah sesuai sasaran.
“Mafia itu bagian dari pasar yang bekerjasama dengan pihak pemerintahan,” imbuh Uchok.
Setelah para pengusaha yang sekaligus menjadi mafia itu menguasai stok-stok kebutuhan beras, maka mereka akan dengan leluasa dapat mengendalikan harga ketika terjadi kelangkaan. Efek selanjutnya, harga beras akan semakin tinggi di masyarakat, dan akhirnya membuat gerbang impor beras dibuka oleh pemerintah. Pada tataran ini yang akan bercokol adalah para mafia beras impor.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman menyatakan bahwa kinerja Bulog perlu ditingkatkan. Sebab, Bulog nampaknya mandul dalam fungsinya mengendalikan ketersediaan pasokan beras di masyarakat.
“Bulog itu harus selalu ada di tengah masyarakat, itu kuncinya. Saat ini Bulog sudah ada kemajuan, dan harus ditekankan lagi supaya Bulog bisa membeli beras langsung dari petani,” kata Amran saat dihubungi medcom.id.
Terkait masalah fluktuasi harga beras di masyarakat, Amran enggan menanggapinya. Hal ini dikarenakan, masalah harga merupakan kewenangan dari Kementerian perdagangan. Sedangkan yang Kementan fokuskan hanya pada aspek produksi hasil-hasil pertanian untuk mencapai swasembada.
Sebab, menurut Amran, jika semua hasil pertanian pangan mengalami swasembada, setidaknya fenomena-fenomena kelangkaan, fluktuasi harga dan permainan mafia juga dapat diminimalisir.
Kewenangan Bulog dalam upaya melaksanakan tugas-tugasnya menstabilkan harga beras memang menuai hambatan. Menurut Pengamat Pertanian Khudori, saat ini ada sembilan kementerian dan lembaga yang membawahi Bulog. Sehingga, dalam melaksanakan fungsinya tersebut, Bulog harus mendapatkan izin dari instansi yang menaunginya.
“Bulog itu saat ini beda dengan dulu. Bulog itu sekarang seperti pasukan tempur tapi tidak diberi aminisi yang lengkap. Kalau zaman orde baru, instrumen yang diberikan oleh negara kepada Bulog itu lengkap, ada lima komoditas yang dia kelola dan itu full monopoli,” kata Khudori kepada medcom.id.
Menurut Khudori, saat ini begitu banyak kritik dilontarkan kepada Bulog perihal kegagalan dalam menjalankan fungsi utamanya. Seperti halnya, kelemahan Bulog melakukan stabilisasi serta mengeleminasi mafia beras. Namun, perlu disadari bahwa sejak Bulog menjadi Perum pada tahun 2003, ada beberapa keterbatasan wewenang yang dimilikinya. Saat ini, Bulog berjalan sesuai dengan UU BUMN, yang kinerjanya didasarkan atas dasar profit.
“Kalau direksi tidak bisa menghasilkan keuntungan berarti itu tidak bagus kan. Selain itu, dia harus melakukan tugas sosial dan public service,” imbuh Khudori.
Ditambah lagi, Bulog juga diberi tanggungjawab untuk melakukan pembelian beras atau gabah dari petani dan melaksanakan tugas sosial. Seluruh tugas Bulog yang timpang tindih itu tentu menghambat kinerja Bulog dalam upaya menstabilkan harga.
Di ambang tugas-tugas ini, Bulog berpotensi untuk merugi. Khudori mencontohkan, tidak mudah bagi Bulog dalam menyerap beras dari petani. Hal ini dikarenakan adanya Inpres yang sudah mengatur HPP padi dari petani. Namun kenyatannya di pasar, harga padi dari petani jauh lebih tinggi dari HPP.
“Jadi ini yang membuat Bulog akhirnya berpikir untung rugi. Kalau Bulog membeli sesuai harga pasar atau di atas HPP ini, untung rugi dia harus menanggung. Kalau dia harus membeli seharga itu, enggak akan dapat beras,” ujar Khudori.
Konsekuensi apabila penyerapan beras oleh Bulog rendah, maka harga beras akan mudah sekali dimainkan oleh mafia. Kedua, kalau membeli sesuai dengan harga di pasar, Bulog akan rugi dan harus bertanggung jawab.
“Itulah yang antara lain yang membuat Bulog tidak all out melakukan tugasnya ini,” tukas Khudori.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News