Sejumlah Haul Truck dioperasikan di area tambang terbuka PT Freeport Indonesia di Timika, Papua. (foto: Antara/Muhammad Adimaja)
Sejumlah Haul Truck dioperasikan di area tambang terbuka PT Freeport Indonesia di Timika, Papua. (foto: Antara/Muhammad Adimaja)

Kisah Penguasaan Gunung Tembaga

Medcom Files telusur freeport
Surya Perkasa • 04 Januari 2016 19:47
medcom.id, Jakarta: Kejayaan Freeport-McMoran Inc sebagai salah satu produsen terbesar komoditas emas dan tembaga di dunia tidak bisa dilepaskan dari peran kegiatan usahanya di Indonesia. Sejarah mencatat bahwa perusahaan ini selamat dari kebangkrutan setelah berhasil membuka tambang di Papua, Indonesia, melalui entitas anak perusahaannya yaitu PT Freeport Indonesia.
 
Sebuah artikel yang ditulis oleh Lisa Pease dimuat dalam majalah Probe pada akhir tahun 1996 mengungkapkan bahwa kiprah Freeport di Indonesia telah dimulai sejak era pemerintahan Orde Lama yang dipimpin oleh Presiden Pertama RI, Soekarno.
 
Dalam artikel itu, Pease menerangkan bahwa Freeport Sulphur, demikian nama perusahaan itu awalnya, hampir bangkrut ketika terjadi pergantian kekuasaan di Kuba tahun pada tahun 1959. Kala itu, setelah berhasil menggulingkan rezim diktator Batista di Kuba, Fidel Castro mengambil langkah untuk menasionalisasi seluruh perusahaan asing di negara itu. Ini membuat Freeport kehilangan investasi dan sumber daya utamannya. Freeport Sulphur gagal mengembangkan investasinya dalam memproduksi nikel dari penambangan di Kuba.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Freeport Sulphur terpaksa memetakan potensi lain. Apalagi perusahaan lokal Moa Bay Mining Company di Kuba yang didanai Freeport Sulphur ternyata tak berpotensi bagus. Presiden Direktur Freeport Sulphur Charles Wight kelabakan mencari lahan berikutnya. Tekanan bertambah karena parlemen AS menuding Freeport Sulphur melakukan penimbunan untuk menaikkan harga sumber daya yang dijual ke pemerintah dari pabrik di Kuba. Departemen Kehakiman AS pun diperintahkan menyelidiki permasalahan ini. Ditengah situasi yang penuh ketidakpastian, pada Agustus 1959, Wight bersama Forbes Wilson yang merupakan ahli pertambangan Freeport saat itu melakukan pertemuan dengan Direktur pelaksana East Borneo Company, Jan van Gruisen. East Borneo Company adalah perusahaan Belanda yang ada di Indonesia.
 
Dalam pertemuan itu Gruisen bercerita jika dirinya menemukan sebuah laporan penelitian atas Gunung Ersberg (Gunung Tembaga) di Irian Barat yang ditulis Jean Jacques Dozy di tahun 1936. Laporan itu sebenarnya sudah dianggap tidak berguna dan tersimpan selama bertahun-tahun begitu saja di perpustakaan Belanda selama Perang Dunia ke-II.
 
Namun, Van Gruisen tertarik dengan laporan penelitian yang sudah berdebu itu dan kemudian membacanya.
 
Dengan berapi-api, Van Gruisen bercerita kepada pemimpin Freeport Sulphur itu jika selain memaparkan tentang keindahan alamnya, Jean Jaques Dozy juga menulis tentang kekayaan alamnya yang begitu melimpah.
 
Tidak seperti wilayah lainnya diseluruh dunia, maka kandungan biji tembaga yang ada disekujur tubuh Gunung Ersberg itu terhampar di atas permukaan tanah, jadi tidak tersembunyi di dalam tanah.
 
Mendengar hal itu, Wilson sangat antusias dan segera melakukan perjalanan ke Irian Barat untuk mengecek kebenaran cerita itu. Di dalam benaknya, jika kisah laporan ini benar, maka perusahaannya akan bisa bangkit kembali dan selamat dari kebangkrutan yang sudah di depan mata.
 
Selama beberapa bulan, Forbes Wilson melakukan survey dengan seksama atas Gunung Ersberg dan juga wilayah sekitarnya. Penelitiannya ini kelak ditulisnya dalam sebuah buku berjudul The Conquest of Cooper Mountain.
 
Wilson menyebut gunung tersebut sebagai harta karun terbesar, yang untuk memperolehnya tidak perlu menyelam lagi karena semua harta karun itu telah terhampar di permukaan tanah. Hal lain yang membuat Wilson kegirangan adalah selain dipenuhi bijih tembaga, gunung tersebut ternyata juga dipenuhi bijih emas dan perak.
 
Sebagai seorang pakar pertambangan, Wilson memperkirakan jika Freeport akan untung besar, hanya dalam waktu tiga tahun pasti sudah kembali modal. Wilson pun bergerak dengan cepat, ia mengirim laporan kepada pimpinan Freeport di New York sekaligus meminta izin dan uang untuk melakukan upaya eksplorasi bersama dengan East Borneo Company.
 
Kontrak kerja sama antara Freeport Sulphur dengan East Borneo Company untuk mengeksplorasi gunung tersebut ditandatangani pada 1 Februari 1960.
 
Namun lagi-lagi Freeport Sulphur mengalami kenyataan yang hampir sama dengan yang pernah dialaminya di Kuba. Perubahan eskalasi politik atas tanah Irian Barat tengah mengancam.
 
Hubungan Indonesia dan Belanda telah memanas dan Soekarno malah mulai menerjunkan pasukannya di Irian Barat. Freeport berniat meminta bantuan kepada Presiden AS John Fitzgerald Kennedy (JFK) agar mendinginkan Irian Barat. Namun ironisnya, JFK malah sepertinya mendukung Soekarno.
 
Kennedy mengancam Belanda, akan menghentikan bantuan Marshall Plan jika ngotot mempertahankan Irian Barat. Belanda yang saat itu memerlukan bantuan dana segar untuk membangun kembali negerinya dari puing-puing kehancuran akibat Perang Dunia II, terpaksa mengalah dan mundur dari Irian Barat.
 
Dampak dari sikap Belanda untuk mundur dari Irian Barat menyebabkan perjanjian kerjasama dengan East Borneo Company mentah kembali. Freeport sudah memiliki hubungan positif dengan Belanda, yang telah resmi misi eksplorasi awal di sana. Selama periode negosiasi, Freeport mendekati PBB, tetapi PBB mengatakan Freeport harus mendiskusikan rencana mereka dengan pejabat Indonesia. Ketika Freeport pergi ke Kedutaan Indonesia di Washington, mereka tidak mendapat tanggapan.
 
Kennedy ingin meningkatkan paket bantuan untuk Indonesia, menawarkan USD11 juta. Selain itu, ia merencanakan sebuah kunjungan pribadi ada pada tahun 1964 awal. Sementara Kennedy mencoba untuk mendukung Soekarno, kekuatan lain ada yang melawan usaha mereka. Perbedaan pendapat publik di Senat bergolak apakah terus membantu Indonesia sementara Partai Komunis Indonesia tetap kuat. Kennedy bertahan. Dia menyetujui paket bantuan khusus itu pada 19 November 1963. Tiga hari kemudian, segalanya berubah total. Presiden Kennedy tewas ditembak pada 22 November 1963.
 
Soekarno kehilangan sekutu terbaiknya di Barat. Ia amat terguncang oleh berita kematian Kennedy. Dengan kematian Kennedy, paket bantuan khusus itu juga batal diberikan. Presiden Johnson yang menggantikan Kennedy mengambil sikap yang bertolak belakang dengan pendahulunya. Johnson malah mengurangi bantuan ekonomi kepada Indonesia.
 
Setelah kematian Kennedy, Soekarno menjadi tumbuh semakin agresif terhadap Barat. Soekarno bergerak mendekat ke Tiongkok dan Uni Soviet yang diketahui merupakan negara-negara Blok Timur. Soekarno pun gencar merevisi kontrak pengelolaan minyak dan tambang-tambang asing di Indonesia. Minimal sebanyak 60 persen dari keuntungan perusahaan minyak asing harus menjadi jatah rakyat Indonesia.
 
Menurut Sejarawan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Asvi Marwan Adam, pernah ada seorang pengusaha dari AS menemui Soekarno. Pengusaha itu menyodorkan proposal berinvestasi di Papua, namum Soekarno menolaknya secara halus. "Soekarno merasa saat itu bangsa Indonesia belum siap untuk tawaran untuk kerja sama investasi asing itu di Papua. Soekarno benar-benar ingin sumber daya alam Indonesia dikelola oleh anak bangsa sendiri," ujar Asvi kepada medcom.id.
 
Soekarno berencana modal asing baru masuk Indonesia 20 tahun lagi, setelah putra-putri Indonesia siap mengelola. Dia tidak mau perusahaan luar negeri masuk, sedangkan orang Indonesia masih memiliki pengetahuan nol tentang alam mereka sendiri. Oleh karenanya sebagai persiapan, Soekarno mengirim banyak mahasiswa belajar ke negara-negara lain.
 
Namun, perubahan politik tahun 1965 menjadi sebuah peristiwa yang menjadi titik awal lahirnya “Indonesia Baru”, ditandai dengan munculnya Orde Baru yang karakternya berbeda dengan pemerintahan Orde Lama. Jika Soekarno terkesan begitu tertutup terhadap pengusaha asing, Soeharto sebagai pemimpin Orde Baru justru sebaliknya. Orde Baru menentang nasionalisasi perusahaan asing.
 
Asvi mengungkapkan bahwa sebuah arsip di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta mengungkapkan pada 15 Desember 1965 sebuah tim dipimpin oleh Chaerul Saleh di Istana Cipanas sedang membahas nasionalisasi perusahaan asing di Indonesia. Soeharto yang pro-pemodal asing, datang ke sana menumpang helikopter. Dia menyatakan kepada peserta rapat, bahwa dia dan Angkatan Darat tidak setuju rencana nasionalisasi perusahaan asing itu.
 
“Soeharto sangat berani saat itu, Bung Karno juga tidak pernah memerintahkan seperti itu,” kata Asvi.
 
Penanaman modal asing dibuka selebar-lebarnya pada masa Orde Baru. Undang-Undang Nomor 1 Tahun tentang Penanaman Modal Asing (PMA) disahkan oleh pemerintahan Orde Baru pada tahun 1967. Freeport merupakan perusahaan asing pertama yang kontraknya ditandatangani Presiden Soeharto.
 
Pada pada tanggal 7 April 1967, perjanjian pertama antara Indonesia dan Freeport untuk mengeksploitasi tambang di Irian Jaya ditandatangani. Freeport diperkirakan menginvestasikan 75 hingga 100 juta dolar AS. Freeport mendapat hak konsensi lahan penambangan seluas 10.908 hektar untuk kontrak selama 30 tahun terhitung sejak kegiatan komersial pertama dilakukan. Pada Desember 1972 pengapalan 10.000 ton tembaga pertama kali dilakukan dengan tujuan Jepang.
 
Dari penandatanganan kontrak inilah yang kemudian menjadi dasar penyusunan Undang-Undang Pertambangan Nomor 11 Tahun 1967. Asvi menyatakan bahwa Soeharto begitu terbuka terhadap investasi asing karena pertimbangan pemerintahan Orde Baru yang baru terbentuk butuh modal dan bantuan untuk pemulihan krisis ekonomi yang ditandai dengan inflasi amat tinggi waktu itu.
 
"Soeharto saat itu melihat Indonesia memerlukan investasi asing dengan alasan ekonomi,” kata Asvi.
 
Freeport tercatat menjadi perusahaan raksasa global dengan laba bersih lebih dari USD1,5 miliar per tahun setelah merger dengan McMoran milik James Robert Moffet.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan