medcom.id, Jakarta: Menjelang akhir tahun 2015 lalu, James Robert Moffet mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Direktur Utama (Excecutive Chairman) Freeport-McMoran Inc, perusahaan produsen emas dan tembaga terbesar sejagad yang kantor pusatnya berada di Arizona, Amerika Serikat. Pengumuman mengenai mundurnya pria yang akrab dipanggil Jim Bob dari jabatan pimpinan eksekutif ini disampaikan secara resmi oleh perusahaan pada Senin, 28 Desember 2015, melalui siaran pers.
Belakangan ini nama Jim Bob sering disebut-sebut di Indonesia terkait dengan skandal "Papa Minta Saham" yang menghebohkan itu. Dia diisukan menemui sejumlah pejabat penting pemerintahan Indonesia untuk membicarakan kelanjutan operasi tambang Freeport di Papua.
Agaknya ini pula yang melatarbelakangi pemberian jabatan baru kepada tokoh yang ikut mendirikan Freeport-Mcmorran pada tahun 1969 silam ini. Meski pensiun, Jim Bob tetap akan menjadi konsultan perusahaan dalam beroperasi di Indonesia. Ia digaji sebesar USD1,5 juta atau sekitar Rp20 miliar per tahun sebagai konsultan untuk pembahasan kontrak karya PT Freeport Indonesia.
Saat ini PT Freeport Indonesia memang sedang mengajukan permohonan perpanjangan kerja sama kepada Pemerintah Indonesia. Karena berdasarkan Kontrak Karya (KK) II yang ditandatangani tahun 1991, masa berlakunya hanya sampai tahun 2021. Nah, Freeport ingin memperpanjang kontrak itu menjadi sampai tahun 2041.
Pada titik ini, penting untuk menyoroti alasan Freeport-McMoran tampak begitu mati-matian mempertahankan usaha penambangannya di Indonesia. Asumsi tentang tambangnya di Papua telah membuat Freeport kaya tentu sulit untuk disangkal. Betapa tidak, melalui PT Freeport Indonesia, Freeport McMoran menjadi salah satu penambang emas dan tembaga terbesar di dunia.
PT Freeport Indonesia merupakan sebuah perusahaan pertambangan yang mayoritas sahamnya dimiliki Freeport-McMoran. Eksistensi perusahaan ini diakui sebagai pembayar pajak terbesar kepada Indonesia dan merupakan penghasil emas terbesar di dunia melalui tambang Grasberg. Freeport Indonesia telah melakukan eksplorasi di dua tempat di Papua, masing-masing tambang Erstberg (sejak 1967) dan tambang Grasberg (sejak 1988) di kawasan Tembaga Pura, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua.
Untuk diketahui, Grasberg tercatat merupakan tambang yang memiliki cadangan endapan emas terbesar di seantero bumi dan cadangan tembaga terbesar ketiga di dunia.
Berdasarkan data Freeport-McMoran per akhir September 2015, menunjukkan bahwa Freeport Indonesia merupakan penyumbang pendapatan terbesar kedua bagi induk perusahaan. Freeport Indonesia membukukan pendapatan USD2,0 miliar, kalah unggul dari perusahaan Freeport yang beroperasi di Amerika Utara dengan pendapatan USD3,9 miliar.
Freeport Indonesia juga mengungguli perusahaan dalam kelompok Freeport yang beroperasi di Amerika Selatan dan Afrika. Di Amerika Selatan, kontribusi pendapatan perusahaan Freeport di sana sebesar USD1,3 miliar, sedangkan tambang Afrika hanya USD1,0 miliar.
Secara total, pendapatan Freeport-McMoran dari perusahaan-perusahaan yang beroperasi di sejumlah negara tersebut selama sembilan bulan 2015 mencapai US$10,48 miliar.
Freeport telah merencanakan investasi hingga USD16 miliar untuk kelanjutan operasional perusahaan hingga 2041 nanti. Investasi ini untuk menyiapkan kegiatan pertambangan bawah tanah yang sudah dimulai Freeport sejak 2008. Pertambangan bawah tanah akan menjadi andalan bagi masa depan Freeport. Karena cadangan mineral di pertambangan permukaan sudah memasuki fase habis.
Jelas Freeport sangat berkepentingan untuk memperpanjang kontrak kerja sama 20 tahun lagi hingga 2041. Hal ini terkait dengan investasi yang telah dikeluarkan perusahaan bisa kembali dan menguntungkan. Namun, sejauh ini pemerintah Indonesia belum memberikan persetujuan.
Maka peran Jim Bob sebagai salah satu tokoh pendiri Freeport masih diperlukan untuk menjadi penasehat bagi keberlangsungan operasional perusahaan di Indonesia. Apalagi Jim Bob dianggap punya banyak relasi ke pejabat penting di Indonesia.
Reputasi James R Moffet melejit setelah mendirikan perusahaan eksplorasi McMoran Exploration bersama rekannya Ken McWilliams (“Mc”) dan Mack Rankin (“Ran”) pada 1969. Pada tahun 1981, perusahaan McMoran yang telah mendirikan McMoran Oil & Gas kemudian bergabung (merger) dengan Freeport Minerals Company.
Sepak terjang merger perusahaan Jim Bob dan rekan terus mengembangkan Freeport-McMoran sebagai salah satu perusahaan penghasil mineral raksasa. Bahkan peleburan dua perusahaan ini tercatat sebagai salah satu merger terbesar di dalam sejarah pasar Bursa Saham New York di Wallstreet, AS.
Bermodalkan beberapa tambang di Amerika Latin, Asia, Afrika ditambah hak pengelolaan dari tambang tembaga Etsberg di Timika, Papua Barat yang memiliki cadangan besar, membuat Freeport-McMoran meraup keuntungan hingga miliaran dolar AS tiap tahunnya.
Pada tahun 1989 penemuan cadangan emas Grasberg di Papua oleh Freeport Indonesia semakin membesarkan Freeport-McMoran. Hanya selang dua tahun, penguasaan tambang Papua menjadikan perusahaan ini sebagai penghasil tembaga dan emas kelas wahid dunia dan berganti nama menjadi Freeport-McMoran Copper & Gold Inc.
Freeport-McMoran Copper & Gold Inc kemudian berganti nama menjadi Freeport-McMoran Inc di bursa saham pada 1995. Keuntungan yang berlipat ganda semenjak penemuan emas di Papua Barat ditambah harga mineral yang terus naik daun membuat pemimpin Freeport-McMoran semakin percaya diri.
Selama memimpin Freeport-McMoran, Jim Bob membuat keputusan investasi di sektor minyak dan gas yang menjadi pertaruhan yang fatal bagi kesehatan keuangan perusahaan. Setelah menemukan potensi besar di teluk Mexico, Jim Bob mengambil langkah berani dengan membeli hak kelola minyak di salah satu kawasan itu pada 2008. Padahal sumur ini telah dilepaskan oleh Exxon Mobile semenjak 2006.
Freeport-McMoran kemudian mengeluarkan investasi besar-besaran untuk melakukan pengeboran, yang kemudian memecahkan rekor pengeboran untuk pencarian minyak. Jim Bob amat yakin ada cadangan minyak di tempat tersebut, walau Exxon Mobile meninggalkan kawasan tersebut setelah menggali sumur hampa sedalam 9,1 kilometer.
Pertaruhan yang dilakukan Jim Bob mengeluarkan dana yang tidak sedikit. Di bawah kepemimpinan Moffet, Freeport-McMoran megeluarkan dana hingga USD 1,1 triliun untuk mengakuisisi aset Exxon dari Newfield Exploration Co. Sekitar Rp12,1 kuadriliun (Rp12.100 triliun) dengan kurs rupiah saat itu, atau setara dengan enam kali anggaran belanja Indonesia tahun 2015.
Setahun setelahnya, Jim Bob mengumumkan penemuan minyak yang cadangannnya mencapai triliunan barel minyak mentah. Namun pada kenyataannya, tim penggali menghadapi beragam kesulitan teknis dalam melakukan pengeboran.
Proyek pengeboran selalu mengalami kerusakan pipa bor dan kelihangan alat di penggalian sumur berlapis batu tersebut. Akhirnya proyek 7 tahun tersebut hanya berhasil menarik air laut. Bukan minyak atau gas. Setelah mengeluarkan investasi yang tidak sedikit, akhirnya Freeport-McMoran harus rela menutup sumur bor Davy Jones dan Blackbeard setelah kehilangan uang USD12 miliar.
Kondisi Freeport-McMoran semakin tidak membaik karena tambang utama di Indonesia yang memberi kontribusi terbesar tak jelas nasibnya. Freeport Indonesia terancam mendapat pemutusan Kontrak Karya.
Isu pemutusan Kontrak Karya semakin kencang terdengar seiring masyarakat dan pemerintah setelah Orde Baru tumbang menjadi semakin mawas diri dengan kondisi perekonomian. Apalagi dari perusahaan yang menguasai salah satu tambang tembaga dan emas terbesar dunia, namun tak banyak memberikan kontribusi kepada negara.
Freeport Indonesia selama ini memang memberikan pemasukan yang tidak sedikit untuk Indonesia. Namun royalti yang didapat oleh Indonesia sangatlah kecil. Hanya berkisar 1-1,5 persen dari harga jual mineral tergantung dari jenisnya. Ini pun banyak dinilai tidak adil karena kebiasaan umum royalti untuk negara tempat tambang berada mendapat royalti harga jual sekitar 3 persen.
Selain itu Indonesia-Freeport McMoran juga selalu tarik ulur kepentingan soal divestasi saham. Apalagi dengan kondisi Freeport McMoran yang tidak menjalankan kontrak sebagaimana mestinya.
Freeport dalam kontrak karya yang diperbarui 1991 berkewajiban melepas sahamnya sebesar 2,5 persen tiap tahun mulai dari tahun ke-enam sampai tahun ke-15 setelah beroperasi.
Sebelum kontrak berakhir, Freeport-McMoran juga berkewajiban melepas saham Freeport Indonesia sebesar 51 persen.
PT Freeport Indonesia pernah melepas sahamnya sebesar 10 persen untuk pemerintah. Namun saham tersebut kemudian dikembalikan ke PT Freeport Indonesia. Kini, Freeport McMoRan masih mengusai 90,64 persen sedangkan pemerintah hanya memiliki 9,36 persen saham di PT Freeport Indonesia.
Namun tidak semuanya juga salah Freeport McMoran. Pemerintah yang sering berganti aturan setiap berganti rezim juga menjadi masalah. Terutama Peraturan Pemerintah tahun 77 tahun 2014 yang dikeluarkan pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. PP tersebut mengatur divestasi untuk perusahaan tambang permukaan dan bawah tanah di Indonesia dan hanya dipatok pada angka 30 persen.
Peraturan ini pun membuat syarat saham yang dikeluarkan terbatas pada 30 persen saja karena telah diatur dalam Kontrak Karya di lahan seluas 212.950 hektar di tanah Papua tersebut. Beragam upaya pun ditempuh Freeport-McMoran untuk memastikan Freeport Indonesia tak lepas dari genggaman. Salah satunya dengan lobi-lobi.
Kasus Papa Minta Saham
Tidak berhenti di beragam masalah legal dan sosial, upaya memperpanjang kontrak kerja sama di Indonesia menemui kendala dengan sorotan publik terhadap kasus dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam negosiasi divestasi saham Freeport Indoneesia. Adalah Ketua DPR RI Setya Novanto yang dituding melakukan pencatutan nama Jokowi tersebut untuk kepentingannya mendapat keuntungan dari proyek pembangunan pembangkit listrik di kawasan tambang Freeport.
Kasus ini bermula dari pernyataan Menteri ESDM Sudirman Said pada awal November 2015, bahwa ada politisi yang mencatut nama presiden dan berprilaku tidak etis karena melakukan pertemuan dengan bos PT Freeport Indonesia untuk membahas pelepasan saham perusahaan itu kepada pemerintah. Sudirman mengungkapkan bahwa politisi tersebut punya pengaruh yang besar dan menjabat sebagai petinggi lembaga legislatif. Sontak anggota parlemen langsung kebakaran jenggot dan mendesak Sudirman melaporkan hal ini ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR RI.
Sudirman akhirnya melapor ke MKD pada 16 November 2015. Dalam laporannya ke MKD, Sudirman mengaku melaporkan nama, tanggal pertemuan, orang yang hadir, serta pokok pembicaraan. Selang sehari kemudian, Sudirman Said juga menyerahkan rekaman isi pertemuan yang didapatkannya ke MKD lewat staf ahlinya, Muhammad Said Didu.
Rekaman dan transkrip pertemuan itu ternyata sudah bocor dan menyebar di media sosial. Dengan cepat publik pun tahu bahwa terjadi perbincangan antara Setya Novanto, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin, dan pengusaha minyak bernama Muhammad Riza Chalid untuk mengupayakan investasi dan penambangan Freeport di Papua bisa terus berlanjut. Obrolan tiga orang yang direkam oleh Maroef Sjamsoeddin itu menyinggung nama Jim Bob yang disebut telah bertemu dengan Luhut Pandjaitan sebagai orang dekat Presiden Jokowi, untuk membahas perpanjangan kontrak Freeport. Transkrip dan rekaman itu mengungkapkan pula bahwa Setya Novanto meminta jatah 49 persen saham proyek Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Urumuka, Papua.
Menurut Sudirman, tindakan anggota DPR itu sangat tidak patut karena selain melanggar tugas dan tanggung jawab, gelagat anggota DPR ini juga mengandung konflik kepentingan. Lebih tidak patut lagi karena tindakan ini melibatkan pengusaha swasta.
Sudirman yakin bahwa dengan melaporkan oknum ini kepada MKD merupakan salah satu cara membersihkan praktik pemburu rente yang menggunakan kekuasaan untuk keuntungan pribadi.
Langkah Sudirman mendapat apresiasi dari berbagai kalangan. Salah satunya dari Wakil Presiden RI Jusuf Kalla. Siapa pun akan terganggu, bahkan kemungkinan marah besar, kalau namanya dicatut untuk kepentingan tidak baik. Itu pula yang dirasakan oleh JK (sapaan Jusuf Kalla). JK mengaku terganggu namanya, juga Presiden Joko Widodo, dicatut dalam upaya perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia.
Kasus ini mencuat sebagai topik utama pemberitaan nasional dan menjadi buah bibir di tengah masyarakat melalui media sosial dengan tajuk "Papa Minta Saham". Tak mau polemik berlangsung lama, Presiden Jokowi pun mendesak MKD untuk mendengarkan suara rakyat yang menaruh perhatian amat besar pada sidang kasus dugaan pelanggaran etika itu di parlemen.
Jokowi menyebut proses yang berjalan di Mahkamah Kehormatan Dewan di parlemen harus dihormati. Tetapi, ia menekankan, tindakan merendahkan lembaga negara tidak boleh dibiarkan. Lembaga negara memiliki kewibawaan yang harus dijaga, bukan untuk dipermain-mainkan. Dalam hal ini, lembaga negara yang dimaksud Jokowi adalah Kepresidenan.
Jokowi tampak marah dengan kenyataan namanya dalam kapasitas sebagai presiden disebut-sebut dalam perbincangan tiga orang yang membahas pelepasan saham (divestasi) PT Freeport Indonesia sebesar 20 persen.
Dalam sidang MKD yang berlangsung tertutup pada 7 Desember 2015, Setya Novanto menyampaikan pembelaan diri yang ditulisnya sebanyak 12 halaman. Ia membantah seluruh tuduhan terkait pencatutan nama presiden yang diarahkan kepadanya. Novanto bahkan merasa menjadi korban dan nama baiknya dirusak secara sistematis. Secara tidak langsung, apa yang terjadi saat ini sudah merusak harkat dan martabatnya selaku pribadi maupun sebagai anggota DPR.
Drama Papa Minta Saham ke Freeport Indonesia di DPR ini pun akhirnya padam begitu saja setelah Setya mundur dari jabatan Ketua DPR pada 16 Desember 2015. Walaupun begitu, Kejaksaan Agung serta Komisi Pemberantasan Korupsi ikut melirik isu yang hangat ini. Selain melibatkan pejabat negara yang diduga menyalahgunakan wewenang, kasus ini juga terkait potensi sumber daya alam indonesia yang nilainya tidak sedikit.
Namun dari drama dan permasalahan yang terjadi, nasib kontrak Freeport-McMoran di Indonesia semakin tidak jelas. Kecakapan Jim Bob dalam menjalankan roda perusahaan pun semakin dipertanyakaan.
Ditengarai pengunduran diri Moffet ini merupakan imbas dari jatuhnya harga komoditas andalan Freeport di pasar global. Moffet yang ikut mendirikan Freeport-Mcmorran pada tahun 1969 silam, rencananya baru resmi mundur pada hari Kamis (31/12) mendatang. Pria yang akrab disapa Jim Bob itu akan digantikan oleh Direktur Independen Gerald J Ford. Sementara Richard C Adkerson tetap di posisi CEO.
Freeport adalah salah satu raksasa penambang emas dan tembaga di dunia. Sepanjang 2015, harga kedua komoditas tersebut terus terjun bebas yang membuat pihak Freeport terpaksa melakukan pemutusan hubungan kerja besar-besaran terhadap karyawannya.
Di bursa, harga saham Freeport-McMoRan (FCX) juga terus merosot. Pada sesi perdagangan Senin pekan terakhir Desember 2015, harga saham perusahaan yang memiliki operasi tambang emas di Indonesia itu turun hingga 61 sen atau sekitar 8,1 persen menjadi USD 6,95 per lembar. Dalam setahun terakhir, harga saham Freeport memang anjlok hingga 70 persen.
Kalangan analis merekomendasikan kepada investor untuk melepas (sell) saham Freeport lantaran performa yang negatif di bursa. Kelemahan perusahaan dapat dilihat di beberapa bidang, seperti semakin memburuknya laba bersih, meningkatnya risiko utang yang dikelola, rasio pengembalian modal (return on equity/ROE) yang mengecewakan, arus kas operasi lemah, dan kinerja historis saham itu sendiri yang secara umum tak memuaskan.
Pada bulan Agustus lalu, Freeport mengumumkan rencana efisiensi besar-besaran yang mencakup pemotongan belanja, produksi dan sekitar 10 persen dari tenaga kerjanya.
Ketidakjelasan nasib tambang terbesar menuai kritik pemegang saham terhadap Jim Bob. Ia didesak mundur dari jajaran dewan direksi perusahaan oleh Carl Icahn, komisaris Freeport-Mcmoran. Dengan alasan usia, Jim Bob dipercaya untuk menjadi konsultan direksi. Namun, salah satu peran Jim Bob adalah menjadi penasehat untuk menangani masalah perusahaan di Indonesia.
Apakah itu keputusan yang wajar bagi Jim Bob yang diketahui telah berusia 77 tahun sekarang ini? Entahlah. Kemunduran Jim Bob ini justru lebih terkesan seperti pensiun yang setengah hati.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News