Peninjau melihat kolam reaktor riset nuklir di reaktor serba guna G.A. Siwabessy milik Badan Tenaga Atom (BATAN), Puspiptek, Tangerang Selatan, Banten. (FOTO ANTARA)
Peninjau melihat kolam reaktor riset nuklir di reaktor serba guna G.A. Siwabessy milik Badan Tenaga Atom (BATAN), Puspiptek, Tangerang Selatan, Banten. (FOTO ANTARA)

Langkah Revolusi Energi

Medcom Files krisis energi
Coki Lubis • 23 Januari 2017 15:28
medcom.id, Jakarta: Bayangkan bola sekecil kelereng dapat memberikan listrik untuk rumah Anda selama 100 tahun lebih, kata dia. Jika sebesar bola basket, bisa mengaliri listrik untuk sebuah Kota selama setahun. Ini bukan fantasi, bukan juga cerita fiksi dalam film Hollywood. Ini akan menjadi kenyataan dalam 10-15 tahun lagi.
 
Penjelasan di atas disampaikan Direktur Eksekutif Masyarakat Energi Thorium Indonesia (METhI), Bob Soelaiman Effendi, saat berbincang dengan medcom.id di Jakarta, Kamis 19 Januari 2017. Ia amat antusias membagi pengetahuannya tentang radioaktif Thorium, mineral bersimbol kimia Th dengan nomor atom 90.
 
Dia mengatakan, Thorium memiliki densitas energi terpadat dibanding yang lainnya. Dari 1 ton Thorium, yang hanya sebesar bola basket tadi, bisa menjadi bahan bakar pembangkit listrik berdaya 1000 MW, selama 1 tahun.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Sementara uranium, yang umumnya digunakan sebagai bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), membutuhkan 200 ton untuk menghasilkan daya serupa. "Apalagi batubara, bisa membutuhkan 3,5 juta ton. Mungkin bila ditumpuk seluas stadion sepakbola," ujar Bob.
 
Kabar gembiranya, Indonesia memiliki cadangan Thorium untuk seribu tahun. Pada Februari 2016 lalu, Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) merilis, potensi kandungan thorium Indonesia diindikasi mencapai 210.000 - 270.000 ton, yang tersimpan di Bangka, Kalimantan Barat dan Sulawesi Barat.
 
Dalam kesempatan jumpa pers di Jakarta pada 3 Februari 2016, Kepala BATAN Djarot Sulistio Wisnubroto menyatakan bahwa fakta ini membuat sebagian orang beranggapan bahwa thorium lebih mempunyai prospek di masa depan.
 
Untuk diketahui, Thorium dapat bersumber dari monazite atau residu timah. "Timah melimpah di Indonesia. Timah kita nomor satu di dunia. Begitupula Thorium," kata Bob.
 
Revolusi energi
 
Bersih, limbah nuklirnya sangat kecil, tidak dapat menjadi senjata pemusnah, dan tidak mengeluarkan emisi. Densitasnya yang sangat tinggi menghasilkan efisiensi yang tinggi pula. Dampaknya, energi yang dihasilkan bisa sangat murah. Fakta inilah yang membuat Thorium disebut-sebut sebagai material radioaktif pendorong revolusi energi.
 
Pengunaan bahan bakar berbasis fosil, seperti minyak dan batubara, harus dikurangi. Semakin hari cadangannya pun semakin menurun, bisa langka, dan biayanya cenderung meningkat. Tak hanya itu, PLTU berbasis batubara menghasilkan emisi yang tinggi. Pencemaran udara menjadi persoalan besar pada isu lingkungan kekinian.
 
Sementara energi baru terbarukan (EBT/renewable), seperti angin, surya, panas bumi dan lain-lain, dianggap bersih, tapi teknologinya berbiaya fantastis.
 
Uranium, yang saat ini menjadi bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN), terbukti bersih, murah, dan menghasilkan daya yang besar. Sayangnya, PLTN sudah terlanjur menjadi momok. Bayangan bencana akibat malfungsi PLTN selalu menjadi pertimbangan tiada akhir.
 
Kini, PLTN berbahan bakar thorium, disebut-sebut sebagai jawaban atas dilema energi. Kata Bob, model ini juga akan mengakhiri fakta tarif listrik PLN yang setiap tahun naik terus. Berdasarkan perhitungannya, dengan PLTN berbahan bakar thorium, tarif listrik dapat turun lebih dari 30% dan tidak akan naik selamanya.
 
"Ini semua bukan fantasi. Ini akan menjadi kenyataan dalam waktu kurang dari 10 tahun dari sekarang," ucapnya.
 
Di kalangan pemerhati energi, TMSR atau PLTN Thorium dipopulerkan dengan sebutan PLTT (Pembangkit Listrik Tenaga Thorium). Meski sejatinya sama-sama PLTN, namun identitas pembeda dianggap perlu. Alasannya, PLTN (LWR) identik dengan uranium/plutonium.
 
Langkah Revolusi Energi
 
Bukan barang baru
 
Mineral radioaktif ini diperkenalkan untuk pertamakalinya pada 1829 oleh mineralogi Norwegia Morten Thrane Esmark. Beberapa waktu kemudian, kimiawan Swedia Jöns Jacob Berzelius menelitinya dan menamainya Thor. Dalam Mitologi Nordik, Thor adalah dewa yang memiliki kekuatan hebat, bergelar Dewa Petir.
 
Pada masa lalu, thorium digunakan sebagai salah satu sumber energi untuk menghasilkan cahaya. Biasanya, penggunaannya dipadukan dengan mantel (kaos) gas. Pada 1920-an, konsep itu digunakan dalam lampu pijar bermerk dagang Petromax.
 
Ya. Siapa yang tidak kenal petromax. Lebih dari 100 tahun masyarakat Indonesia akrab dengan lampu pijar ini. Pada masanya, petromax tampil premium sebagai lampu minyak tanpa sumbu. Cahayanya putih dan terang, dan yang terpenting lebih hemat penggunaan minyak.
 
Uap minyak tanah dibutuhkan untuk membakar mantel. Saat mantel terbakar dan mencapai temperatur sekitar 800 derajat celcius, thorium bereaksi, menghasilkan cahaya berwarna putih.
 
"Jadi terang putih tersebut adalah thorium yang menghasilkan radioisotop partkel alpha," kata Bob. "Petromax dapat dikatakan sebuah reaktor nuklir bertenaga Thorium."
 
Namun, popularitasnya tidak lama. Penggunaannya menurun karena kekhawatiran tentang radioaktifnya.
 
Tak menarik
 
Pada tahun 1960-an, nama thorium kembali hadir ke permukaan. Dr. Alvin Weinberg, salah satu anggota Manhattan Project, mengusulkan penggunaan thorium sebagai bahan bakar reaktor daya untuk sipil (PLTN).
 
Manhattan Project sendiri merupakan pusat penelitian nuklir di Amerika Serikat yang didanai militer. Karya fenomenalnya adalah bom atom yang diledakan di Hiroshima dan Nagasaki, Jepang, pada Agustus 1945.
 
Alasan Weinberg mengusulkan thorium sebagai bahan bakar pembangkit adalah, mineral ini memiliki efisiensi lebih dari 90%, sementara uranium hanya dibawah 3%. Reaksi fisinya pun tidak menghasilkan plutonium, sehingga lebih aman.
 
Sayangnya usul ini tidak membuat pihak militer tertarik untuk membiayainya. Maklum, kala itu orientasi penelitian didominasi untuk kebutuhan pertahanan. Sementara thorium bukan elemen yang bisa digunakan sebagai senjata pemusnah.
 
Meski begitu, konsep Weinberg tidak dibuang mentah-mentah. Konsep itu diakomodasi untuk kepentingan militer, yakni, sebagai pembangkit listrik untuk kapal selam.
 
Percobaan pun dimulai. Reaktornya dinamakan Molten Salt Reactor (MSR), karena mempergunakan pendingin garam cair, sangat cocok untuk thorium. Percobaan ini diterapkan pada kapal selam USS Nautilius.
 
Sukses. Dengan pembangkit thorium/MSR (TMSR), kapal selam itu mampu hidup selama 4,5 tahun atau 20 ribu jam tanpa masalah. "Namun, tanpa alasan jelas, proyek TMSR lagi-lagi dihentikan pada Desember 1969," kata Bob.
 
Sejak itu berakhirlah pamor TMSR, sampai-sampai tidak pernah lagi ada pembahasan dalam dunia fisika nuklir. Bahkan sampai sekarang MSR tidak pernah di ajarkan di fakultas teknik nuklir di dunia.
 
Kembali populer
 
Terjadinya krisis nuklir Fukushima ternyata menghidupkan kembali pembahasan tentang TMSR. Bahkan sejumlah peneliti nuklir dunia menginisiasi sebuah forum International, yakni, International Thorium Energy Organisation. Sejak 2010, organisasi itu kerap menggelar konferensi tahunan, International Thorium Energy Confenrences (IThEC).
 
Pada IThEC 2013, Sekjen Badan Energi Nuklir Dunia (International Atomic Energy Agency/IAEA) Hans Blix dan peraih nobel fisika yang juga Direktur Badan Penelitian Nuklir Eropa (CERN), Carlo Rubbia turut hadir.
 
Keduanya memberikan dukungan terhadap Thorium. Mineral radioaktif ini disebut-sebut sebagai sumber energi masa depan. Kini, energi thorium bukan lagi sebuah wacana, tetapi realita yang akan terjadi dalam waktu dekat.
 
Kini, ada 25 perusahaan swasta di 12 negara yang saat ini melakukan pengembangan TMSR. Bahkan China dan India menjadikannya program Nasional. Di Eropa, beberapa universitas membentuk konsorsium untuk mengembangkan program TSMR yang disebut SAMOFAR, yang di motori oleh Tehnical University Delf, Belanda.
 
Belakangan, di Indonesia, wacana ini mulai mengemuka. Isu thorium sendiri diketahui mulai muncul pada 2014. Perjalanannya, dari FGD ke FGD (Focus Group Discussion). Pada 2015, mantan Menteri Perindustrian Saleh Husein pun turut mempromosikan energi thorium ini sebagai bahan bakar PLTN, guna memenuhi ketersediaan listrik nasional.
 
"Harus ada energi terbarukan, salah satu adalah kita mempunyai sumber bahan baku yang bisa dibuat untuk pembangkit listrik seperti Thorium," ujar Saleh dalam sebuah diskusi di Hotel Borobudur, Jakarta pada 14 April 2015.
 
Baca: Mau Murah? Kembangkan Energi Thorium!

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan