medcom.id, Jakarta: Heinrich Heine, seorang penyair Jerman ternama, dalam bukunya Almansor (1823), mengisahkan tentang pembakaran sebuah al-Quran oleh ksatria Kristiani Granada. Dia menulis, seorang pimpinan kaum muslim yang bernama Hasan berkata, “Itu hanyalah permulaan, di mana mereka membakar buku, pada akhirnya akan ada keinginan membakar orang.”
Ramalan ini menjadi realita kejam yang terjadi di Jerman beberapa ratus tahun kemudian pada era NAZI berkuasa.
Selanjutnya, pelarangan dan pemberangusan buku kerap menjadi bagian yang tak lepas dari politik kekuasaan di dunia. Termasuk di Indonesia, yang puncaknya, berdasarkan riset ELSAM, terjadi pada 1985, di masa Orde Baru.
Di era Reformasi, perkembangan budaya, pers, dan media di Indonesia menikmati kebebasan yang cukup besar. Bahkan, dapat dikatakan kondisi Indonesia lebih baik jika dibandingkan negara lain, khususnya di kawasan Asia Tenggara. Reporters Sans Frontières (RSF) pernah merilis, Indeks Kebebasan Pers Indonesia di peringkat 101 pada tahun 2009, atau naik 10 peringkat dari tahun sebelumnya.
Ironisnya, kebebasan dalam mengemukakan pendapat masih menghadapi berbagai tantangan, salah satunya pelarangan peredaran beberapa buku. Sejumlah kalangan menilai, status Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia, yang menjadi mercusuar bagi toleransi dan pluralisme di Asia, patut di evaluasi.
Di tengah merosotnya minat baca, kini syahwat memusnahkan buku tinggi. Demikian potret peringatan Hari Buku Nasional, 17 Mei 2016 lalu di mata sebagian besar pengguna media sosial, blogger, komunitas pembaca buku dan pegiat literasi lainnya di Indonesia.
Opini tersebut berkembang seiring hebohnya razia dan pelarangan buku-buku 'kiri' belakangan ini, serangkai dengan fenomena "Awas PKI".
Implikasi
Sebuah maklumat pun menyeruak dari Yogyakarta, menyoal pelarangan buku kiri. Penerbit, lembaga percetakan, toko buku, pelapak online, asosiasi buku, pembaca, pegiat media komunitas dan literasi, perupa, media independen, dan organisasi kemahasiswaan, menggabungkan diri dalam aliansi Masyarakat Literasi Yogyakarta (MLY), menolak segala bentuk pelarangan atas penerbitan buku yang bukan dilakukan oleh pihak-pihak berwenang atas seizin pengadilan.
Tak hanya menyoal demokrasi dan Hak Asasi Manusia, bentuk pelarangan buku kiri juga memiliki dampak langsung terhadap masyarakat perbukuan secara luas.
Ronny Agustinus, salah seorang praktisi literasi, mengungkapkan bahwa bahaya pelarangan buku ini dirasakan semua penerbitan. Bisa dilihat dalam aksi keprihatinan larangan buku kiri beberapa waktu lalu, yang terlibat dan turut memberikan pernyataan tak hanya penerbit atau penulis buku kiri saja. Sebagian penulis maupun penerbit sastra turut terlibat aktif.
"Karena (pelarangan buku) bisa berlanjut. Kalau dibiarkan, sensor pasti akan berlanjut kembali dan tanpa aturan. Kemarin itu sudah melanggar aturan, melangggar keputusan MK (Mahkamah Konstitusi). Bila dibiarkan, nanti temanya bisa kemana-mana. Besok-besok bukan soal kiri lagi, tapi apapun yg mengkritik, militerisme mungkin, kritik pemerintah mungkin, bisa di larang dengan gampang," ujar Ronny kepada medcom.id, Jumat (20/5/2016).
Implikasi ekonominya juga jelas terlihat. Ronny mengatakan, saat ini saja beberapa buku sudah ditarik oleh pihak toko buku.
Dengan begitu, jelas ada omzet yang turun, baik toko bukunya maupun penerbit buku-buku itu. Seberapa besar penurunan omzet itu? Ronny belum bisa memperkirakannya di bulan Mei ini. Namun, ia meyakini angka penurunannya akan bisa dipastikan pada bulan depan.
“Laporan omzet di bulan depan pasti merosot, sudah kelihatan," kata pendiri penerbit Marjin Kiri ini.
Sementara di sisi penulis buku, yang dikhawatirkan dari tindakan pelarangan buku adalah dampak psikologis. Penulis maupun penerbit tentu akan melakukan self sensor.
"Kalau ini dibiarkan terus, tanpa sadar baik penulis maupun penerbit akan melakukan self sensor. Kira-kira yang akan saya tulis nanti bakal dilarang gak ya? Seperti zaman dulu lagi, kami jadi sangat hati-hati, was-was. Pada titik ini kebebasan berpendapat hilang," kata Ronny.
Kini, ia melanjutkan, betapa mudahnya jaringan toko buku besar merasa ketakutan dan menarik buku-buku. Sehingga kepentingan membangun toko buku independen serta jaringan distribusi alternatif bagi para penerbit yang non-mainstream ini jadi mendesak untuk dilakukan.
Mata pembaca
Bagi publik pembaca, kerugian secara langsung yang diterima dari tindakan pelarangan buku adalah tidak dapat mengakses buku-buku yang berbeda tafsirnya. Dalam jangka panjang, pembaca yang merupakan bagian masyarakat ini tidak mendapatkan manfaat pencerdasan buku.
Menurut Ronny, pembaca pada akhirnya hanya dapat pengetahuan satu sisi. Hanya disuguhkan satu sisi paparan sejarah, tema-tema yang seperti dulu lagi, yang tidak beragam.
Hal Senada disampaikan Duta Baca Indonesia, Najwa Shihab. Ia dengan tegas memprotes pelarangan buku.
Menurut Najwa, pelarangan buku tidak sejalan dengan demokrasi yang menghargai perbedaan, kebebasan berpendapat dan menjauhkan kita dari amanat konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Meski memahami sensitifitas yang menyelimuti isu komunisme dan peristiwa sejarah yang menyertainya pada tahun 1948 dan 1965, tetapi Najwa memandang bahwa menyikapi isu ini dengan pemberangusan buku adalah tindakan yang tidak tepat.
"Negara pun lewat keputusan Mahkamah Konsitutsi tahun 2010 juga sudah jelas mencabut kewenangan kejaksaan agung untuk melakukan pelarangan buku tanpa izin pengadilan," kata Najwa.
Kerugian bagi pembaca bila terjadi pelarangan buku adalah menghalangi upaya mencari, mengolah, dan menyikapi informasi dan pengetahuan secara bebas dan kritis.
Lebih jauh, Najwa pun menilai tindakan pelarangan buku ini bukan hanya keliru secara prinsip, tapi secara praktik juga sia-sia. Karena, di zaman internet setiap orang bisa mencari informasi dan mempelajari pengetahuan apa pun yang diinginkannya.
"Pelarangan buku adalah kemubaziran akut. Di tengah rendahnya minat baca, pelarangan buku adalah kemunduran luar biasa. Indonesia bisa semakin tertinggal dari bangsa-bangsa lain yang selalu terbuka kepada ide-ide baru dan pengetahuan-pengetahuan baru," kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News