Tidak sedikit pengungjung yang hadir menggunakan kostum dan berdandan menyerupai tokoh-tokoh dalam serial kartun, komik, dan game konsol. Beberapa tampak mengenakan seragam pelaut khas siswi di Jepang nan warna-warni cukup menarik perhatian. Penampilan mereka meniru karakter Sailor Moon, ikon manga dan anime yang digandrungi remaja era tahun 90-an.
“Indonesia Comic Con tahun ini kabarnya dijadikan ajang kumpul komunitas pecinta Sailor Moon. Soalnya ada Horie Mitsuko datang,” ucap Aulia Laratika Rizal, salah seorang peserta pameran tersebut saat berbincang dengan medcom.id.
Horie Mitsuko dikenal sebagai pengisi suara karakter Sailor Galaxia, tokoh antagonis utama dalam kisah Sailor Moon. Menurut Aulia, ajang ekshibisi budaya pop Timur dan Barat ini memang menjadi semacam konferensi kecil bagi komunitas pecinta, kolektor, serta tokoh industri komik di Nusantara. Beragam acara dan stan pameran pun disiapkan. “Banyak acara yang sama berlangsung beberapa bulan belakangan. Memang budaya populer sejenis komik dan kartun di Indonesia tidak pernah mati,” kata Aulia yang kini bekerja sebagai talent manager di Japanese Station, media nasional yang fokus ke budaya pop dari Jepang.
Kiblat tersendiri
Cerita bergambar (cergam) merupakan seni menyampaikan pesan. Budaya ini terus berkembang hingga kini lebih dikenal dengan istilah komik. Di Indonesia, komik telah berkembang sejak era tahun 1930-an. Pakar komik Indonesia, Hikmat Darmawan, menyatakan dari era tersebut pertumbuhan cergam-cergam Indonesia terus mengalami kemajuan.
“Cerita bergambar Indonesia bahkan sempat berjaya hingga era 1980-an,” ujar Hikmat kepada medcom.id saat ditemui di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta, Rabu (5/10/2016).
Jatuh dan bangun industri komik nasional terjadi beberapa kali. Mulai dari kejayaan di era 1960-1980, meredupnya komikus lokal di era 1980-1990, hingga gejala kebangkitannya kembali beberapa tahun belakangan.
Baca: Eksistensi Komik Lokal
Tak ada yang tahu pasti berapa nilai ekonomi industri cergam asal Indonesia dan mancanegara di Nusantara saat ini setelah mengalami pasang surut beberapa kali. Namun, Hikmat yakin nilainya di Indonesia masih sangat kecil, kalah jauh jika dibandingkan dengan dari negara lain yang industri komiknya telah mapan seperti Jepang dan Amerika Serikat.
“Jangankan komik, industri penerbitan saja nilainya kecil,” kata Hikmat.
Komik nasional memang banyak terpengaruhi komik mancanegara. Mulai dari sisi karakter, alur, hingga ke teknik gambar. Salah satunya komik asal Jepang, atau yang diistilahkan sebagai manga.
Menurut Hikmat, manga dan anime (serial animasi asal Jepang) menciptakan kiblat tersendiri dalam industri komik secara global. “Karakter dan gaya komik asal Jepang ini bebas dan akhirnya memiliki pakem ringan dan mudah diterima. Tidak ‘gelap’ seperti komik Amerika atau ‘berfilsafat’ seperti komik eropa. Manga itu sendiri artinya gambar urakan,” kata Hikmat.
Ia menjelaskan, ketertarikan untuk memahami manga telah membuatnya sampai berkeliling Jepang untuk mempelajari dari sumber langsung. Ini yang kemudian menjadikannya terpaksa mendefenisikan ulang pengertian tentang manga.
Manga mulai memasyarakat di Jepang pada akhir abad ke-18 saat Santo Kyoden memunculkan buku bergambar "Shiji no yukikai" (1798). Kemudian kumpulan gambar ukiyo-e, atau seni gambar cetakan kayu, mulai diperkenalkan Aikawa Minwa di Manga Hyakujo (1814) dan Hokusai Manga (1814–1834).
Buku-buku yang muncul di era tersebut memuat gambar sketsa ukiyo-e dari seniman ternama dan bertema bebas. Mulai dari gambar alam, sketsa kejadian, hingga gambar hiburan untuk orang dewasa. Beberapa literatur menyebutkan istilah modern manga dimunculkan Rakuten Kitazawa (1876–1955). Sejak era 1950an sampai sekarang manga berkembang pesat dan menjadi salah satu bagian budaya pop Jepang.
Peneliti dan kritikus komik asal Jepang, Natsume Fusanosuke, dalam tulisannya Manga Jepang: Ekspresi dan Popularitasnya menjelaskan manga sebagai sebuah budaya yang mengalami perubahan drastis di era 1960-an. Sama seperti komik di Amerika dan Bande Dessine (BD) di Perancis, manga tumbuh sebagai bentuk perlawanan dan ekspresi bawah tanah masyarakat.
Pada masa pendudukan pasca Perang Pasifik, ditambah ledakan penduduk, komik menjadi pelarian dan hiburan remaja Jepang saat itu. Generasi muda yang dekat dengan manga tersebut kemudian tumbuh dewasa dan mencintai manga.
Manga, tulis Fusanosuke, tumbuh dengan membawa nilai yang dipercaya dan diimpikan oleh masyarakat. Hal ini jua yang membuat manga dengan mudahnya dapat diterima.
Tezuka Osamu yang dijuluki Bapak Manga, menjadi tokoh yang dicintai karena karyanya pada 1945-1950 identik dengan nilai impian dan harapan. Salah satu karyanya yang sangat dikenal dunia yakni Astro Boy dan Black Jack memberi makna yang menginspirasi generasi muda masyarakat Jepang.
Pasar manga pun tidak hanya berhenti sekedar untuk anak-anak atau remaja laki-laki semata. Pandangan ini pun sebenarnya salah kaprah masyarakat Indonesia, bahkan dunia, karena jenis manga dan komik yang beredar di awal. “Padahal di Jepang sendiri, segmentasi dan pasar itu ada. Orang Jepang membaca komik sesuai segmen,” ucap Hikmat.
Secara istilah, manga Jepang terbagi atas kodomo untuk anak-anak, josei (atau redikomi) untuk wanita dewasa, seinen untuk pria dewasa, shojo untuk remaja perempuan, shonen untuk remaja lelaki. Setiap segmentasi manga memiliki ciri khas dan nilai yang berbeda. Manga seperti Doraemon dan Kobo-Chan dibuat merangsang imajinasi, seputar keseharian, mudah dicerna anak-anak. Detektif Conan dibuat bertema lebih berat karena manyasar pangsa pasar remaja. Beberapa manga yang mengeksploitasi kekerasan dan seksualitas juga memiliki pasar tersendiri.
“Kehadiran komik Candy-Candy yang beraliran shojo akhirnya juga memicu kemunculan komikus wanita di pasar lokal, selain membuka pasar manga ke kelompok remaja putri hingga wanita dewasa,” tutur Hikmat.
Namun anomali pasar juga terjadi saat manga diekspor ke luar Jepang. Indonesia contohnya. Manga dan anime Crayon Shin-Chan menjadi kontroversial karena dinilai tak layak dipertontonkan kepada anak, di negara asalnya pun judul tersebut justru menyasar dewasa.

Raksasa industri
Manga memang tumbuh bersamaan dengan komik negara-negara lain, namun akhirnya menjadi industri raksasa. Bahkan sektor ini menjadi andalan industri kreatif nasional Jepang, lantaran kesuksesannya menembus pasar global. Walau mengalami naik-turun, industri manga mengokohkan diri sebagai salah satu tiang penopang industri penerbitan Jepang. "Pasar manga itu bisa sampai sepertiga pasar buku Jepang," ucap Hikmat.
Pada tahun 2007, manga memberikan kontribusi penjualan untuk industri penerbitan hingga sebesar 406 miliar yen dan berkembang menjadi 420 miliar yen pada 2009. Industri manga pernah menurun tajam bersamaan dengan jatuhnya penjualan buku cetak, walau demikian manga masih memberikan kontribusi sebesar 281,51 miliar yen pada 2014.
Perlahan tapi pasti, industri manga turut mempengaruhi perekonomian Jepang. Manga pun turut saling mempengaruhi industri budaya popular lain seperti anime, game, musik, hingga merchandise. Simbiosis mutualisme terjadi di dalam industri kreatif dan memberikan keuntungan besar bagi sang pemiliki kekayaan intelektual.
One Piece, sebuah judul yang dikaryakan Eiichiro Oda, setiap volumenya terjual di atas dua juta kopi. Bahkan Oricon sebagai lembaga riset dan data penerbitan Jepang mencatat setiap tahunnya karya Oda terjual hingga 7,4 juta kopi.
One Piece yang mengangkat tema bajak laut dan membawa nilai pertemanan dalam mencari harta karun itu berhasil digandrungi generasi muda bahkan hingga mancanegara. Karya Oda juga tidak hanya berhenti di media komik, tapi juga diserialisasi dalam anime hingga 758 episode dan terus berlanjut.
Banyak cerita kesuksesan serupa yang membuat komikus manga sejahtera. “Walau enggak semua dibilang kaya, tapi setidaknya komikus itu bisa hidup lewat karyanya,” kata Hikmat.

Banyak komik diangkat menjadi anime atau drama tv bahkan film layar lebar ketika berhasil menuai sukses. Padahal, manga di Jepang sendiri baru diperhatikan serius oleh pemerintah sebagai salah satu industri kreatif sejak kurang lebih lima belas tahun terakhir. “Di Jepang, manga dianggap sebagai soft power. Kekuatan diplomasi baru yang diakui negara. Pengakuan Jepang atas ini baru muncul tahun 2010,” kata Hikmat.
Hal serupa terjadi di industri komik Amerika Serikat. Selain sebagai bisnis hiburan, propaganda untuk menguatkan kecintaan publik ke negara. Lihat saja sosok Captain America yang mengenakan baju bertema bendera AS serta memiliki lawan berat organisasi Hydra yang mirip Nazi.
Secara bisnis, karakter dari industri komik tak pernah mati. Walau industri komik sempat merugi di tahun 90an, karakter dari komik kembali melesat dengan bantuan industri film. Nama DC Comic yang kini berada di bawah Warner Bros atau Marvel yang berada di bawah Disney terus menghasilkan karya-karya bernilai besar secara ekonomi.
Dari produksi enam film tim X-Men dari semesta Marvel saja, Disney mendapat pemasukan USD2,06 miliar. Belum film-film dari karakter lain, animasi, penjualan komik, merchandise, dan media pemasaran lain. Bahkan pensiler dan ilustrator dari Indonesia yang turut dalam produksi karakter komik Marvel atau DC turut menuai rezeki.
“Mereka bisa dapat puluhan hingga ratusan dolar per halaman. Beberapa sih akhirnya subsidi silang pendapatan dan tetap membuat komik di Indonesia. Bahkan ada yang membantu perkembangan komik nasional. Reon atau Kosmik contohnya, menampung karya putra-putri bangsa,” kata Hikmat.
Komikus muda dan pencipta karakter Si Juki, Faza Meonk, mengakui masalah kesejahteraan inilah yang masih menjadi persoalan industri komik di Indonesia. Komikus Indonesia, menurut dia, masih gamang untuk terjun secara profesional ke industri.
“Kalau di Jepang, industri membantu biaya produksi hingga memasarkan karya si komikus. Tapi disini kan skema dan model bisnisnya belum terbangun. Saya harus memikirkan target, pola, hingga bantu pasarin karakter Si Juki. Tapi sekarang udah ada perkembangan,” ucap Faza kepada medcom.id, Jakarta, Rabu (5/10/2016).
Penerbit lebih proaktif dan semakin gencar mendekati sang komikus. Selain itu, komikus juga memiliki senjata baru bernama media sosial dan digital untuk membangun fanbase. Bahkan sangat mungkin sang komikus membuat segmen dan pasar tersendiri.
Mulai banyak komikus yang kembali mengangkat kekhasan Indonesia. Mulai keusilan mahasiswa lewat si Juki hingga kritik sosial nan jenak dari Benny Mice.
Ketika pasar dan segmen tercipta, bukan hal sulit untuk menjual karakter atau karya yang mereka miliki. Dengan kerja keras dari penerbit, cita dan kreativitas sang komikus, serta sokongan dari masyarakat dan pemerintah, komik Indonesia bisa berjaya.
“Kita itu sudah diperhitungkan dunia,” ucap Faza percaya diri.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News