Pergerakan kurs masih harus tetap diwaspadai, terutama kalangan pengusaha dan pelaku pasar. Sebab, kenyataannya data Jisdor menunjukkan rupiah kembali terpuruk ke level 13.064 per USD pada akhir pekan lalu, Jumat 27 Maret 2015.
Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro mengungkapkan bahwa dalam jangka pendek tidak ada yang bisa dilakukan pemerintah untuk meredam tekanan terhadap rupiah. Apalagi, faktor penyebab utamannya adalah gejolak ekonomi global, dipicu pemulihan AS dari krisis yang gejalanya sudah semakin kuat terasa saat ini.
Meski begitu, pemerintah dan BI akan terus memperkuat kerja sama sehingga paket kebijakan yang dikeluarkan efektif meredam kejatuhan rupiah. Sebagaimana diketahui, pemerintah telah mengumumkan enam paket kebijakan ekonomi untuk menekan defisit transaksi berjalan tahun ini hingga di bawah tiga persen. Menurut Bambang, pemerintah sudah mengambil beberapa langkah yang bisa mengurangi defisit transaksi berjalan tahun ini. Meski tidak bisa menjamin defisit transaksi berjalan bisa sampai pada 2,5 persen, tetapi setidaknya inisiatif pemerintah ini bertujuan untuk mengarahkannya pada level tersebut.
Tambahan belanja infrastruktur yang signifikan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2015 pun disadari berpotensi meningkatkan defisit transaksi berjalan. Ini disebabkan belanja infrastruktur yang besar membutuhkan impor barang modal yang besar pula.
Meski demikian, pemerintah memperkirakan defisit transaksi berjalan masih bisa diarahkan dan bertahan pada level sekitar tiga persen. Selain itu, dalam jangka menengah panjang kebijakan peningkatan belanja infrastruktur ini akan meningkatkan daya saing ekonomi, sehingga bisa berkontribusi pada perbaikan defisit transaksi berjalan.
Pemerintah dan BI memang merasa perlu mengkhawatirkan defisit neraca transaksi berjalan. Bambang tak menampik kondisi pergerakan nilai tukar rupiah menembus level Rp13 ribu per USD berpotensi krisis ekonomi. Sebab, itu merupakan level yang terparah sepanjang rekor pelemahan rupiah sejak krisis keuangan global 2008.
Krisis global yang semakin dalam telah memberi efek depresiasi terhadap mata uang. Kurs Rupiah melemah menjadi Rp11.711 per USD pada bulan November 2008 dan merupakan depresiasi yang cukup tajam, karena pada bulan sebelumnya Rupiah berada di posisi Rp10.048 per USD.
"Ya, kalau dibilang enggak krisis juga saya enggak mungkin bilang enggak, tapi kami memperkuat fundamental," kata Bambang kepada medcom.id.
Namun, pemerintah dan otoritas moneter tidak terlalu panik dengan tertekannya rupiah di tengah perang mata uang global saat ini. Alasannya, kondisi ini tidak semata dipengaruhi kondisi fundamental dalam negeri. Melainkan disebabkan faktor eksternal yang tidak dapat dihindari terkait pemulihan ekonomi AS, sehingga dolar kian perkasa di hadapan mata uang lainnya.
Bahkan, menurut Bambang, secara rata-rata pelemahan rupiah terhadap dolar AS masih lebih rendah dibanding mata uang lainnya.
Bambang mengatakan, BI selaku bank sentral tidak perlu terlalu mengintervensi stabilitas rupiah. Karena, jika otoritas moneter itu terjun lebih dalam ke pasar, maka Indonesia akan bernasib sama dengan Rusia, di mana cadangan devisa negara itu terkuras hingga USD80 miliar. Meski begitu, tak lantas menyelamatkan mata uang rubel yang terdepresiasi hingga 60 persen.
Bank Indonesia mencatat depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS mencapai 4,19 persen (year to date), terhitung sejak Desember 2014 hingga 24 Maret 2015. Adapun cadangan devisa naik sebesar USD1,3 miliar menjadi USD115,5 miliar per Februari 2015, dari posisi bulan sebelumnya sebesar USD114,2 miliar.
Pemerintah dan Bank Indonesia justru membiarkan rupiah melemah dengan alasan untuk menguatkan kinerja ekspor demi bersaing di pasar dunia. Meski memang diakui, kinerja ekspor tak akan memberikan pengaruh besar dalam memacu kinerja neraca dagang. Karena harga komoditas sedang jatuh di pasar internasional. Diketahui bahwa ekspor Indonesia mengandalkan produk komoditas.
Meski neraca dagang (month to month) pada Februari lalu mengalami surplus, terbantu oleh penurunan impor mencapai USD11,55 miliar atau menurun 8,42 persen dibandingkan Januari 2015 senilai USD12,61 miliar. Namun, penguatan dolar AS tidak membuat kinerja ekspor meningkat. Kejatuhan harga komoditas justru membuat performa ekspor menurun dari USD13,35 miliar menjadi USD12,28 miliar.
Agar ekspor tetap terlihat memiliki kontribusi meski harga komoditas lesu, pemerintah berulangkali mengatakan akan menggenjot kineja dari sektor manufaktur. Hilirisasi industri dan ekspor produk manufaktur akan lebih didorong untuk memanfaatkan pelemahan rupiah.
Bukan hanya itu, sektor manufaktur diyakini bisa membuahkan surplus yang lebih baik untuk neraca perdagangan, sehingga bisa menutupi tekanan defisit transaksi berjalan akibat komponen lainnya seperti neraca finansial dan jasa.
Fokus bank sentral saat ini justru memperbaiki defisit transaksi berjalan mengarah ke angka yang lebih sehat agar nantinya bisa memperkuat rupiah. Dalam lima tahun terakhir, neraca transaksi berjalan Indonesia mengalami defisit berkala. Catatan BI menunjukkan bahwa tahun 2010 dan 2011 berhasil menciptakan surplus 0,67 persen dan 0,19 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Sementara, tiga tahun berturut-turut setelahnya, yaitu 2012 hingga 2014, transaksi berjalan mencatat defisit yakni masing-masing 2,55 persen, 3,18 persen dan 2,95 persen terhadap PDB.
Memang, dalam setahun terakhir defisit transaksi berjalan mereda. Namun Bank Indonesia memprediksi defisit transaksi berjalan 2015 masih akan berada pada level tiga persen terhadap PDB.
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menyatakan bahwa masih besarnya angka defisit transaksi berjalan karena program Nawa Cita yang diusung pemerintah Kabinet Kerja Joko Widodo-Jusuf Kalla terkait perbaikan sarana dan prasarana infrastruktur demi meningkatkan daya saing membutuhkan impor barang modal.
Agus mengakui ini merupakan program yang menggembirakan, namun tak bisa dibantah bahwa hal tersebut masih menjadi beban pada transaksi berjalan Indonesia.
"Kami memahami defisit transaksi berjalan tetap ada untuk sesuatu yang lebih produktif seperti impor barang modal," tutur Agus.
Namun, menurut Bambang, lonjakan impor bahan baku untuk keperluan pembangunan infrastruktur yang diperkirakan menumpuk di semester dua tahun ini tidak akan melebarkan defisit transaksi berjalan. Pasalnya, harga bahan baku seperti baja di pasar dunia sedang rendah akibat pasokan yang melimpah di pasar global, namun tidak mampu diserap secara maksimal.
“Ya kan harganya rendah, sehingga nilainya turun, jadi sebenarnya tidak terlalu memberatkan,” ucap Bambang.
Paket kebijakan
Demi menekan defisit transaksi berjalan hingga di bawah tiga persen untuk mengembalikan kestabilan nilai tukar rupiah, pemerintah mengeluarkan enam paket kebijakan.
Pertama, insentif fiskal berupa pemberian tax allowance atau potongan pajak penghasilan (PPh) maksimal 30 persen pada perusahaan-perusahaan yang melakukan investasi di Indonesia, serta mereinvestasi dividennya di Indonesia, menciptakan lapangan pekerjaan, berorientasi pada ekspor sehingga kinerjanya akan meningkat, serta melakukan penelitian dan pengembangan. Revisi payung hukumnya berupa Peraturan Pemerintah (PP) yang tinggal menunggu tanda tangan Presiden Joko Widodo dan diharapkan bisa keluar pada April mendatang.
Selain itu ada juga insentif untuk menekan biaya sektor logistik dengan penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang ditujukan bagi industri galangan kapal dan sejenisnya. Kebijakan ini diharapkan dapat menumbuhkan industri galangan kapal dalam negeri.
Insentif ini diberikan untuk menekan defisit neraca jasa yang disebabkan oleh penggunaan pelayaran asing untuk aktifitas ekspor dan impor.
Menurut Bambang, perusahaan pelayaran dalam negeri tidak mampu bersaing dengan asing karena permasalahan pajak yang dikenakan untuk perusahaan dalam negeri. Oleh karena itu Pemerintah dan INSA (Indonesia National Shipowner Association) akan melakukan kajian agar perusahaan pelayaran dalam negeri dapat bersaing.
“Jadi ada alternatif pajak untuk dalam negeri diturunkan atau asing yang ditingkatkan. Karena pajak sifatnya netral,” kata Bambang.
Kedua, untuk mengurangi impor bahan bakar minyak (BBM) jenis solar yang saat ini masih mendapat subsidi, Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya MIneral (ESDM) bakal mengeluarkan peraturan yang mewajibkan penggunaan biofuel dari yang sebelumnya 10 persen menjadi 15 persen.
Ketiga, untuk menekan sisi impor dan melindungi industri dalam negeri, Pemerintah akan menerapkan bea masuk anti-dumping sementara (BMADS) dan bea masuk tindak pengamanan sementara (BMTPS) terhadap produk-produk industri nasional. Bea masuk akan dikenakan terhadap produk impor yang terindikasi melakukan unfair trade dengan dumping.
Bambang menyatakan, proses penetapan produk impor yang melakukan dumping atau safeguard membutuhkan waktu enam bulan sampai satu tahun hingga negara dibanjiri impor.
“Ini sifatnya sementara kalau tidak terbukti ya dikembalikan BMADS atau BMTPS-nya, kalau terbukti dilanjutkan,” kata dia.
Keempat, pemerintah menambah daftar 30 negara bebas visa sehingga totalnya menjadi 45 negara, di mana ditargetkan akan mendatangkan tambahan 15-20 juta dalam kurun waktu dua tahun kedepan, serta mendulang devisa mencapai USD1 miliar pada tahun ini.
Kelima, Pemerintah menerapkan Letter of Credit (L/C) yang ditujukan untuk produk-produk sumber daya alam. Misalnya batu bara, migas, atau minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO). Namun, pemerintah memberi pengecualian bagi kontrak-kontrak jangka panjang.
Keenam, yakni pemerintah berniat melakukan restrukturisasi dan revitalisasi industri reasuransi domestik. Langkahnya dengan melakukan merger perusahaan reasuransi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menjadi badan usaha besar sehingga dapat menampung reasurasi dari perusahaan asuransi yang selama ini diambilalih oleh perusahaan internasional. Merger tersebut ditargetkan rampung tahun ini.
Selain enam kebijakan di atas Pemerintah berupaya meningkatkan penegakan hukum dalam pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2011 tentang Mata Uang, salah satunya dengan membuat pusat layanan nasional atau call center. Adapun call center ini berfungsi menerima laporan dan pengaduan terhadap pelanggaran penggunaan mata uang asing di dalam negeri.
Diketahui bahwa masih banyak transaksi di dalam negeri yang mengunakan mata uang asing, terutama dolar AS. Bukan hanya dalam hitungan, namun pembayaran riil.
Berdasarkan UU mata uang semua transaksi di dalam negeri wajib mengunakan mata uang rupiah, jika tidak akan dikenakan denda Rp200 juta dan pidana 1 tahun. Selain itu, pemerintah juga membuat tim gabungan untuk melakukan penegakan hukum secara besar-besaran dalam pelaksanaan kebijakan tersebut. Tim ini terdiri dari Kementerian Keuangan, Bank Indonesia dan penegak hukum.
“Kami bikin kebijakan untuk mempersiapkan terhadap kemungkinan krisis. Kebijakan ini diyakini efektif untuk mengurangi defisit transaksi berjalan, kita usahakan menuju 2,5 persen. Kalau defisitnya bisa dikurangi, maka rupiah akan punya daya tahan lebih baik dari penguatan dolar AS,” kata Bambang.
Pengaruh pada APBN
Pemerintah dan Bank Indonesia sepakat, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tidak akan berdampak signifikan pada pembiayaan expenditure di APBN. Langkah pemerintah mereformasi kebijakan subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM), terutama untuk jenis premium yang dihapus subsidinya dan subsidi tetap pada solar membuat APBN tidak tersandera.
Jika sebelumnya karena adanya komponen yang besar dari BBM yang impor, sehingga saat kurs dolar menguat dan rupiah melemah, impor BBM akan lebih mahal dan pemerintah harus mensubsidi lebih mahal juga sehingga mempengaruhi APBN.
Sekarang, dengan subsidi premium dicabut dan memberikan subsidi tetap sebesar Rp 1000 per liter untuk solar, pemerintah tidak perlu mengeluarkan kocek yang lebih tinggi untuk membayar impor BBM karena dolarnya melambung.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News