Dari penggeledahan di Kantor Koperasi Samudera Sejahtera (Komura) di kawasan TPK tersebut pada Jumat 17 Maret 2017, kepolisian berhasil menyita temuan berupa uang tunai dalam bentuk pecahan Rp100 ribu dan Rp50 ribu senilai Rp6,1 miliar, dua unit komputer, serta sejumlah dokumen.
Keesokannya, kepolisian menetapkan tiga tersangka kasus pungutan liar di TPK Palaran Samarinda. Antara lain adalah MA (koordinator pemungut dana di lapangan), HS (ketua organisasi pemuda), dan DHW (pengurus Komura). Lantas pekan berikutnya, tiga tersangka tersebut dijerat dengan pasal tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Kepolisian menyatakan dalam kasus ini ada kemungkinan jumlah tersangka akan bertambah. Kemudian pernyataan itu dibuktikan dengan Bareskrim Polri pada Kamis 6 April 2017 menetapkan Ketua Komura JAG sebagai tersangka dalam perkara pungli terhadap pengelola dan pengguna jasa pelabuhan di TPK Palaran Samarinda. Ketika dimintai tanggapan, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan pengungkapan kasus ini dapat dijadikan bahan evaluasi demi meningkatkan daya saing pelabuhan di Indonesia. Terutama dari segi efisiensi. "Pokoknya kami sekarang mau mengurangi biaya THC (Terminal Handling Container). Itu kan untuk bongkar muat juga cost-nya besar," ujar Luhut saat ditemui medcom.id di kantornya, Jakarta, Kamis 20 April 2017.
Mengenai beban THC, ia mengungkapkan bahwa selama ini besarannya memang beragam. "THC itu ada yang 27 persen, 33 persen, bahkan ada yang lebih," kata Luhut.
Pungutan liar atau pungli bisa dikategorikan sebagai tindak pidana pemerasan apabila itu dilakukan dengan memaksa seseorang memberikan sesuatu atau meminta bayaran di luar aturan. Dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Pasal 12, pelaku pungli bisa pidana penjara seumur hidup atau paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun. Pidana lainnya adalah denda paling sedikit Rp200 juta dan paling besar Rp1 miliar.
Direktur Lalu Lintas Angkutan Laut (Dirlala) Ditjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan, Bay Mokhamad Hasani, menyatakan bahwa pengertian pungli juga bisa menyangkut tentang apa yang dipungut tidak sesuai ketentuan.
Oleh karena itu, Bay menanggapi dengan dingin pernyataan Ketua Komura JAG yang dalam suatu kesempatan jumpa pers di Jakarta pada Minggu, 19 Maret 2017, membantah uang Rp6,1 miliar yang disita polisi itu bukanlah hasil pungutan liar dan apa yang dilakukannya selama ini telah sesuai aturan.
"Aturan yang mana dulu?," ujar Bay saat berbincang dengan medcom.id, Kamis 20 April 2017.
Ia menjelaskan, aturan tentang pedoman perhitungan tarif pelayanan jasa bongkar muat sebagaimana ketentuan dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: KM 35 Tahun 2007 tidak bisa digunakan pada pelabuhan delicate seperti terminal peti kemas (TPK).
Artinya, ketentuan mengenai besarnya tarif pelayanan jasa bongkar muat OPP/OPT yang ditetapkan atas dasar kesepakatan bersama antara penyedia jasa dengan pengguna jasa, menjadi tidak berlaku di sini. Dengan kata lain, pengguna jasa bongkar muat tidak perlu menghitung biaya bagian tenaga kerja bongkar muat (TKBM) dengan koperasi atau serikat pekerja TKBM dalam pelayanan jasa di TPK.
Apalagi, jika harus memasukkan komponen upah kepada TKBM, baik harian maupun borongan. Pun koperasi TKBM tidak perlu memungut biaya yang membebani pengusaha pelayaran maupun pemilik muatan terkait kesejahteraan serta jaminan sosial bagi buruh TKBM.
Sebab, yang berlaku di pelabuhan delicate adalah aturan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 6 Tahun 2013 tentang jenis, struktur, dan golongan tarif jasa kepelabuhanan. Jadi, menurut Bay, di terminal delicate atau TPK itu tarifnya adalah jasa kepelabuhanan. Tentunya, formula dan mekanismenya untuk penetapan tarifnya berbeda dengan rumusan KM 35/2007 yang diperuntukkan bagi pelabuhan konvensional.
"Melihat kasus ini mesti dari situ. Jadi, di situ ada gap, ada deviasi. Penegak hukum melihatnya di situ," kata Bay.
Oleh karena itu, menurut Bay, wajar apabila keluhan soal no service but pay yang terjadi di TPK Palaran Samarinda ini menjadi pijakan penegak hukum dalam membongkar praktek pungli yang dilakukan Komura. "Tidak ada pelayanan tapi minta dibayar. Itu dalam pandangan penegak hukum juga termasuk pungli. Jadi, ini soal tidak seharusnya (membayar) seperti itu tapi kok diminta seperti itu," kata dia.
Lebih jauh, Bay mengapresiasi kinerja kepolisian mengungkap kasus ini. Ia bahkan mengharapkan pemberantasan masalah ini tidak berhenti hanya di pelabuhan Samarinda. "Saya mendukung penegak hukum untuk melakukan penindakan apabila memang ada pungutan liar di mana pun, oleh siapa pun. Kalau memang itu tidak sesuai dengan aturan dan dari sisi aturan dianggap sebagai pungutan liar, saya dukung pemberantasannya, di mana pun, bukan hanya Komura," kata Bay.

ILUSTRASI: Petugas mengawasi aktivitas bongkar muat di terminal peti kemas. (ANTARA/Dewi Fajriani)
Status quo
Selain itu, Bay pun mengakui ada sentimen negatif dari kalangan pengusaha mengenai kecenderungan monopoli koperasi dalam jasa TKBM ini. "Walaupun dimungkinkan koperasi melakukan monopoli, dalam prakteknya kan banyak dikeluhkan. Nah, kejadian di Samarinda saya rasa karena ada praktek monopoli itu," kata Bay.
Ia menjelaskan, penyediaan TKBM selama ini diduga dimonopoli oleh koperasi TKBM berdasarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) yang diteken oleh Menteri Perhubungan, Menteri Ketenagakerjaan, dan Menteri Koperasi pada tahun 1989. SKB itu mengatur tentang Pembentukan dan Pembinaan Koperasi TKBM di tiap pelabuhan. SKB tersebut mengatur bahwa semua kegiatan usaha bongkar muat dijalankan oleh koperasi. Ini yang dikeluhkan sebagai kecenderungan monopoli dalam bidang usaha bongkar muat.
SKB tahun 1989 itu kemudian menjadi tidak berlaku dengan ditetapkannya SKB yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Perhubungan Laut, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial Dan Pengawasan Ketenagakerjaan, dan Deputi Bidang Kelembagaan Koperasi Dan Usaha Kecil Dan Menengah pada tanggal 27 Agustus 2002. Meski tidak mengatur terlalu jauh dari SKB sebelumnya, namun ada poin-poin yang cukup merubah paradigma. Antara lain, dengan ditegaskannya bahwa bidang penyediaan TKBM bukan menjadi bisnis inti dari Koperasi TKBM, melainkan hanya unit usaha jasa bongkar muat.
Ketentuan tersebut menunjukkan bahwa bidang jasa penyediaan TKBM bukan melekat langsung pada Koperasi TKBM itu sendiri, melainkan sebagai unit usaha atau special purpose vehicle. Dengan begitu maka, Perusahaan Bongkar Muat tidak memiliki pilihan lain selain menggunakan jasa bongkar muat yang disediakan Koperasi TKBM.
Pada sisi lain, Koperasi TKBM merasa terkendala terkait pendapatannya sesuai KM 35 tahun 2007 tanggal 31 Juli 2007 tentang Pedoman perhitungan tarif pelayanan jasa bongkar muat barang dari dan ke kapal di pelabuhan dianggap belum mencukupi. Selain itu, hampir seluruh Koperasi TKBM Pelabuhan di Indonesia ada kelebihan jumlah anggota TKBM, yang tidak seimbang dengan volume kegiatan bongkar muat.
Tetapi, revisi SKB tersebut pada tahun 2011 dinilai belum mampu menjawab permasalahan terkait upaya meningkatkan produktivitas kerja dan kesejahteraan tenaga kerja bongkar muat. Bahkan dipertentangkan lantaran dinilai tidak mendukung koperasi dan lebih mendukung pengusaha.
Pada suatu kesempatan di sela acara sosialisasi SKB tersebut pada Selasa 31 Januari 2011, Sekretaris Koperasi Samudera Sejahtera (Komura) Dwi Hariwinarno, pernah menyatakan bahwa ketentuan dalam regulasi ini perlu dikaji ulang. Lantaran dikhawatirkan akan meningkatkan persaingan padahal jumlah pekerjaan tidak bertambah. "Dulu bongkar muat dikerjakan koperasi TKBM, sekarang bisa menunjuk siapa saja termasuk yang bukan koperasi," katanya.
Oleh karena itu, Ia melanjutkan, pemerintah diharapkan kembali menggunakan SKB yang lama.
Menurut Bay, betapa ngototnya koperasi mempertahankan kondisi status quo dalam iklim usaha yang tanpa persaingan ini juga tampak tatkala pemerintah menetapkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 60 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan dan Pengusahaan Bongkar Muat Barang dari dan Ke Kapal. Induk koperasi beberapa kali mengajukan peninjauan kembali terhadap beleid ini hingga ke Mahkamah Agung.
PM 60 Tahun 2014 yang diterbitkan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan kala itu mengatur bahwa TKBM di pelabuhan berasal dari tiga badan usaha yang berbentuk badan hukum. Yaitu meliputi perseroan terbatas, koperasi, dan yayasan.
"Mereka mendesak PM 60/2014 ini diubah. Tapi judicial review ke MA ternyata ditolak," kata Bay.
Gencarnya desakan untuk meniadakan persaingan ini, ditanggapi dengan dua kali revisi terhadap PM 60 tersebut. Pada akhirnya, melalui PM 93 Tahun 2015 Jonan menegaskan bahwa ketentuan mengenai penataan TKBM di pelabuhan akan diatur dengan Peraturan Menteri tersendiri.
Alasannya, menurut Bay, waktu itu pemerintah memandang aturan tentang TKBM ini harus dipisahkan dari pengusahaan bongkar muat. Sejurus dengan itu, regulasi baru sebagaimana termuat dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 152 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Dan Pengusahaan Bongkar Muat Barang Dari Dan Ke Kapal juga tidak menyentuh urusan TKBM.
"PM 152 tidak lagi menyinggung soal itu. Hanya menyinggung soal pengusahaan bongkar muat saja. Memang di dalamnya ada TKBM tapi nanti kami tidak mengurusinya lagi," kata Bay.
Nanti, ia melanjutkan, mungkin sebagai pengganti SK dua dirjen dan satu deputi akan dibuat lagi SKB di tingkat menteri: Menteri Perhubungan, Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Koperasi. Dengan demikian, akan dibuat petunjuk pelaksanaan serta teknis terkait TKBM ini di masing-masing kementerian sesuai tugas dan fungsinya. Misalnya, urusan Kementerian Perhubungan hanya menyangkut operasional. Untuk hal terkait ketenagakerjaan termasuk pengupahannya, pasti akan serahkan kepada Kementerian Tenaga Kerja. Sedangkan Kementerian Koperasi nanti mengurusi TKBM secara kelembagaannya.
Tapi, Bay menekankan, semangat PM 152 Tahun 2016 ini membuka kompetisi usaha jasa bongkar muat di pelabuhan. "Nanti ada juga kok lembaga lain untuk pengusahaan bongkar muat selain koperasi, supaya nanti tidak terjadi yang namanya monopoli tadi itu," kata dia.
Ketentuan dalam PM 152 menyebutkan pelaku usaha di bidang bongkar muat itu ada tiga: perusahaan bongkar muat, perusahaan angkutan laut nasional, dan badan usaha pelabuhan. Artinya, jika dulu seolah hanya perusahaan bongkar muat saja yang mendominasi jasa ini, sekarang pemerintah membuka kembali kompetisi.
"Kalau ada kompetitor lain, pasti pengusaha bisa memilih dong. Dulu yang selalu dipakai itu SKB dua dirjen dan satu deputi, yang di situ mereka menginterpretasikannya seolah-olah hanya koperasi, harus koperasi. Padahal, sebetulnya di situ tidak disebut koperasi sebagai satu-satunya wadah," kata Bay.

ILUSTRASI: Kegiatan bongkar muat di terminal peti kemas (MI/Puji Santoso)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News