Petani sedang beraktifitas memanen padi di kawasan Desa Pante Garot, Kecamatan Indrajaya, Kabupaten Pidie, Aceh. (MI/Amiruddin Abdullah Ruebee)
Petani sedang beraktifitas memanen padi di kawasan Desa Pante Garot, Kecamatan Indrajaya, Kabupaten Pidie, Aceh. (MI/Amiruddin Abdullah Ruebee)

Pengendalian Penduduk dan Swasembada Pangan

Medcom Files ketahanan pangan
Sobih AW Adnan • 11 April 2016 19:50
medcom.id, Jakarta: Ada peribahasa banyak anak banyak rezeki. Anehnya, istilah ini masih mendapatkan tempat di tengah masyarakat sebuah negara dengan jumlah penduduk terbanyak ke empat di dunia, tak lain Indonesia. Dari data sensus 2015 Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia memiliki jumlah penduduk hingga 255.461.700 jiwa. Perbandingan jumlah penduduk yang terus meningkat ini tentu membawa dampak pada beberapa hal, terutama soal ketahanan pangan dalam negeri.
 
Terkait hal ini, pelopor demografi Thomas Robert Malthus pernah menulis analisanya dengan judul “An Essay on The Principle of Population”. Di dalam catatan tersebut dibandingkan bahwa jumlah penduduk bisa melampaui jumlah persediaan bahan pangan yang dibutuhkan. Malthus mengiaskan laju pertumbuhan penduduk seperti halnya deret ukur, sementara ketersediaan pangan seperti deret hitung. Dalam jangka panjang, laju pertumbuhan penduduk yang cenderung bergerak lebih cepat harus dikendalikan demi terciptanya ketahanan pangan dalam suatu negara.
 
Angka kelahiran total di Indonesia (TFR) berdasarkan sensus penduduk 2010 menunjukkan pada angka 2,3 persen. Artinya, rata-rata satu pasangan keluarga di Indonesia memiliki tiga orang anak. Hingga saat ini, angka fertilitas total ini belum menandakan adanya gejala penurunan.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Pemerintah Indonesia masih memercayakan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) sebagai institusi yang paling fasih dan berhak menangani permasalahan lonjakan penduduk. Sayangnya, nuansa kegemilangan tidak melulu mewarnai perjalanan sejarah badan yang dibentuk pada 1970 ini. Setelah pernah berjaya dan mengantongi prestasi sebagai lembaga yang mampu menekan angka kelahiran penduduk era Pemerintahan Orde Baru, kini BKKBN kembali meredup bahkan gaungnya tak lagi terdengar di tengah masyarakat. Kepala BKKBN Surya Chandra Surapaty menjelaskan beberapa alasan dan kendala yang cukup menghambat badan yang kini dipimpinnya untuk bisa kembali secemerlang masa lalu. Menurut dia, penyebab utama yang paling dirasakan saat ini berkurangnya penyuluh KB yang bergerak di daerah-daerah, yang dulu sempat massif dalam jumlah 50 ribu orang, kini menyusut jadi hanya tinggal sekitar 15 ribu petugas saja.
 
“Penyuluh KB setelah masa reformasi semakin ke sini semakin berkurang. Banyak yang berpindah, banyak yang pensiun, tapi tidak ada rekrutmen. Ini jelas kendala. Karena soal KB adalah soal komunikasi. Jadi, tidak ada yang menyampaikan langsung ke pasangan usia subur,” kata Surya saat ditemui medcom.id pada Jumat (8/4/2016).
 
Persoalan berikutnya juga terkait sistem birokrasi yang mulai berubah. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Otonomi Daerah, banyak kepala daerah yang tidak menganggap penting dan menyampingkan program perencanaan keluarga.
 
“Ada kepala daerah yang merasa lonjakan penduduk di wilayahnya belum begitu mengkhawatirkan, jadi dia tidak menganggap penting adanya KB,” ujar Surya.
 
Oleh karena itu, BKKBN terus menekankan kepada para kepala daerah agar memprioritaskan program perencanaan keluarga sebagai bentuk partisipasi yang luhur dalam rangka menjaga ketahanan pangan. Selain itu, kata Surya, pentingnya pengendalian laju penduduk ini juga terkait tercapainya target masyarakat emas Indonesia 2030.
 
“Makanya untuk sekarang, berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, pengelolaan PLKB (Penyuluh Keluarga Berencana) akan ditarik kembali ke pusat. Tapi pendayagunaannya tetap diserahkan oleh Bupati dan Walikota setempat,” kata Surya.
 
Menguji Terobosan
 
BKKBN mengklaim terus mengikhtiari agar angka demografi fertilitas total penduduk Indonesia sampai pada angka 2,1. Menurut Surya, angka ini sesuai dengan slogan yang selama ini, yakni dua anak cukup.
 
“Itu namanya penduduk yang tumbuh seimbang namanya. Kalau secara keluarga dua anak cukup,” kata dia.
 
Selain kembali menguatkan fungsi PLKB melalui pengalokasian anggaran langsung dari BKKBN. Surya juga mengaku akan memaksimalkan program barunya berupa pendirian Kampung KB yang saat ini telah mulai digalang di beberapa wilayah di Indonesia. Menurut dia, Kampung KB diharap bisa menjadi pusat komunikasi dan informasi pelayanan KB secara lebih baik dan mengena.
 
“Untuk saat ini sudah 205 kampung KB. Targetnya sampai 514, bisa juga lebih dari 1000. Semuanya harus terwujud tahun ini,” kata Surya.
 
Melalui Kampung KB, masyarakat bisa mendapatkan pelayanan sekaligus pengawalan terhadap program KB yang dijalankan secara langsung. Untuk gagasan ini, tak tanggung-tanggung BKKBN mendapatkan alokasi pagu anggaran dari yang sebelumnya Rp3,86 triliun menjadi Rp3,2 triliun dalam perubahan anggaran tahun 2015.
 
“Ya tadi, di antaranya PLKB kita yang gaji, meski pendayagunaannya tetap dilakukan oleh pemerintah daerah setempat,” ujar Surya.
 
Ketahanan pangan dan kependudukan dunia
 
Di tengah berbagai usaha yang sedang ditempuh, BKKBN juga mengaku terlibat dalam komunikasi antarnegara dalam bidang kependudukan. Dalam hal ini, Surya menyampaikan dirinya dipercaya untuk memimpin delegasi Indonesia dalam Sidang Ke-49 Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan (Commission on Population and Development/CPD) yang diselenggarakan di New York mulai 11-15 April.
 
“Tugas utamanya menindaklanjuti program aksi yang diamanatkan International Conference on Population and Development (ICPD). CPD juga berfungsi melakukan pengawasan, peninjauan dan evaluasi implementasi program dalam lingkup nasional, regional maupun internasional serta memberi masukan kepada ECOSOC," ujar Surya.
 
Sejumlah agenda yang dibahas dalam konferensi tersebut meliputi laporan terkait upaya memperkuat demographic evidence base untuk agenda pembangunan pasca 2015. Program monitoring kependudukan dan laporan mengenai arus sumber pendanaan untuk membantu implementasi lebih jauh Program Aksi Konferensi International tentang Kependudukan dan Pembangunan. Serta tindak lanjut Program Aksi dari Konferensi Internasional tentang Kependudukan dan Pembangunan.
 
“Indonesia sangat mendukung penggunaan teknologi, informasi dan komunikasi (TIK) untuk mempercepat pengelolaan data. Sehingga mampu meningkatkan akurasi dan ketepatan waktu. Kondisi nasional, kapasitas, dan prioritas pembangunan harus diperhitungkan dan tercermin dalam indikator,” ujar Surya.
 
Kehadiran Indonesia dalam konferensi kependudukan dunia ini juga menguatkan kembali tekad BKKBN sebagai wakil dari Indonesia dalam pengendalian angka penduduk demi terciptanya ketahanan pangan dunia, seiring dengan munculnya berbagai kendala yang dihadapi akibat perubahan tata peraturan dan tradisi masyarakat sekarang ini.
 
“Tugas kita bertambah berat. BKKBN saat ini tidak hanya bertugas mengendalikan angka laju pertumbuhan penduduk, tapi kita juga mendorong terwujudnya keluarga yang berkualitas. Dalam arti, bukan dari sisi kuantitas belaka,” kata Surya.
 
Badan Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO) di Perserikatan Bangsa-Bangsa menyatakan orang Indonesia merupakan konsumen beras terbesar di dunia, per tahunnya mencapai 139 kg per kapita. Padahal Jepang hanya 60 kg per kapita, Tiongkok 70 kg per kapita, Malaysia 80 kg per kapita, Thailand 90 kg per kapita. Rata-rata orang Asia mengkonsumsi beras sebesar 65–70 kg per kapita dan konsumsi beras global pada tahun 2007 tercacat sebanyak 64 kg per kapita. Ini jelas menunjukkan perbedaan tingkat konsumsi beras yang amat mencolok.
 
Fakta menarik lainnya, Indonesia sebenarnya merupakan produsen beras terbesar ketiga di dunia setelah China dan India, jauh melampaui produksi beras Thailand dan Vietnam. Namun karena tingginya konsumsi serta besarnya jumlah penduduk, Indonesia menjadi importir terbesar di dunia. Hal ini menjadi rentan karena produksi beras dunia yang diperdagangkan hanya 6–7%. Impor selalu menjadi pilihan terakhir dan langkah mudah untuk memenuhi stok pangan nasional.
 
Pengendalian Penduduk dan Swasembada Pangan
 
Selain itu, Perum Bulog sebagai lumbung beras terbesar Indonesia yang memiliki 1.160 gudang dan ada di lebih 400 kabupaten/kota dengan total kapasitas simpan gudang 4 juta ton. Pada tahun 2011 Bulog bahkan mengimpor 1,25 juta ton.
 
Karenapopulasi Indonesia terus bertumbuh, dan mengimplikasikan bahwa akan ada lebih banyak kebutuhan konsumsi makanan di masa depan, ditambah populasi Indonesia mengkonsumsi beras dalam kuantitas besar, persoalan ini mesti mendapat perhatian serius. Maka, amat wajar jika pemerintah Indonesia menempatkan program swasembada beras sebagai prioritas utama untuk dicapai.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan