Rhenald Kasali (foto: MI/Ramdani)
Rhenald Kasali (foto: MI/Ramdani)

Ramalan Nasib Ford

Medcom Files langkah hengkang ford
Surya Perkasa • 01 Februari 2016 22:11
medcom.id, Jakarta: Petinggi Ford Asia Pasifik dan Ford Motor Indonesia (FMI) menyebut “tidak ada keuntungan” dari pasar Jepang dan Indonesia. Keputusan Ford untuk angkat kaki dari dua negara ini dengan alasan tersebut justru menghasilkan pertanyaan besar di kalangan industri otomotif: kenapa?
 
Secara penjualan, Ford masih memimpin pangsa pasar pabrikan Eropa dan Amerika. Berdasarkan data penjualan dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) selama 2015, Ford menguasai sekitar sepertiga penjualan mobil pabrikan Eropa dan Amerika. Dari 19.819 mobil Eropa dan AS yang terjual.
 
Namun memang, Ford telah kalah jika dibandingkan dengan dengan lima besar penguasa ritel mobil di Indonesia. Keunggulan penjualan mobil buatan Jepang terhadap mobil Eropa dan Amerika memang begitu mencolok.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Ramalan Nasib Ford Meski telah berusaha mempertahankan pangsa pasar, namun Penjualan Ford tidak menentu selama empat tahun belakangan.
 
Pengamat otomotif Bebin Djuana yang pernah menduduki kursi Deputi General Manajer Marketing Suzuki Indomobil Motor mengkritisi kebijakan prinsip (principal policy) FMI yang tidak jelas menyasar segmen pasar apa. Keragu-raguan ini yang membuat Ford sulit bersaing dengan maksimal.
 
Untuk segmen kelas bawah atau pasar mobil murah, jelas sudah dikuasai para pemain dari Jepang. Sedangkan di kelas menengah, rasanya tidak ada produk Ford yang bisa diunggulkan. Adapun di kelas atas memang ada celah, tetapi di sini harga produk Ford kurang bersaing.
 
“Kembali pada policy principal apakah juika mau bertarung di kelas itu? Intinya pada pilihan profit atau market share?,” kata Bebin.
 
Mantan Deputi Marketing Director Hyundai Motor Indonesia ini juga menilai kebijakan untuk fokus segmen pasar tertentu diperlukan. Sebab, perusahaan dengan market share kecil seperti Ford tetap harus mencari keuntungan dalam bisnis. Perusahaan yang bukan “merek kesayangan” masyarakat perlu fokus untuk kuat di satu pasar tertentu.
 
Ford Ecosport, kata Bebin, bisa menjadi titik permulaan yang baik. Ford Ecosport yang memiliki mesin dengan banyak penghargaan bisa bersaing dengan kelompok sekelas.
 
Secara keseluruhan, penjualan Ford memang bertumpu pada Ecosport dan Fiesta. Pada tahun 2014, Ecosport 1.5 TiVCT Titanium AT berhasil terjual 3.622 unit, disusul New Fiesta 1.5L 5D Sport AT sebanyak 1.678 unit, dan Ecosport 1.5 TiVCT Trend AT sebanyak 595 unit. Secara keseluruhan, Ford berhasil menjual 11.614 unit mobilnya pada 2014
 
Namun angka ini menurun tajam karena kondisi ekonomi yang memburuk setahun belakangan. Ecosport 1.5 TiVCT Titanium AT hanya berhasil terjual 2.046 unit, disusul New Fiesta 1.5L 5D Sport AT sebanyak 366 unit, dan Ecosport 1.5 TiVCT Trend AT sebanyak 276 unit.
 
Pihak FMI menyebut, Ford kesulitan karena tak memiliki pabrik komponen. Ini membuat harga produk mereka menjadi sulit bersait dengan pabrikan Jepang yang telah memiliki basis manufaktur.
 
“Hengkangnya Ford itu sudah bisa diramalkan. Wajar saja mereka kalah dari pabrikan Jepang. Mobil Jepang sudah memiliki pabrik sejak 25 tahun lalu,” kata pakar strategi bisnis sekaligus Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Rhenald Kasali kepada medcom.id, Kamis (28/1/2016).
 
Mobil pabrikan Jepang dirakit sesuai dengan kebutuhan konsumen Indonesia. Bahkan mereka berani mengembangkan produk agar semakin diminati masyarakat: kualitasnya bagus, harganya murah, irit bahan bakar, dan harga jual di pasar mobil bekas tetap tinggi. Contohnya adalah Daihatsu Xenia dan Toyota Avanza yang laris bak kacang goreng di Indonesia.
 
Selain itu mereka juga berusaha mengurangi biaya-biaya aksesoris tak perlu dan sebisa mungkin memproduksi komponen yang pendukung di Indonesia. Tujuannya untuk meneka biaya produksi. Inilah tipe produksi sistem produksi ramping (lean production system) yang diterapkan pabrikan Jepang.
 
Hal ini menjadi permasalahan yang cukup besar bagi Ford karena basis manufaktur sangat berkaitan dengan harga unit mobil yang dilepas ke pasaran. Unit yang yang 100% konten impor akan lebih mahal harganya dibandingkan unit yang komponennya diproduksi di dalam negeri.
 
Selain itu karena mobil Ford 100% impor, masih banyak komponen tak perlu seperti pemanas udara yang dipasang di dalam unit. Tentunya biaya per unit menjadi lebih besar.
 
"Hal yang paling membuat kami kesulitan di pasar otomotif nasional, adalah karena FMI tidak memiliki pabrik komponen. Sehingga daya saing dari sisi harga tidak bisa kami tekan," ujar juru bicara FMI Lea Kartika, Selasa 26 Januari 2016.
 
Selain persoalan harga distribusi, pajak impor juga membuat harga mobil Ford sulit bersaing. Berbagai macam pajak juga mempengaruhi harga jual unit kendaraan bila tidak diproduksi di Indonesia. “Jika didatangkan secara utuh paling tidak akan selisih harga 30% dengan yang diproduksi di dalam negeri,” papar Bebin.
 
Pajak tersebut termasuk bea masuk barang mewah, pajak penjualan barang mewah, pajak kendaraan bermotor, serta beragam pajak industri lain.
 
Namun, besaran pajak ini menurut ekonom Center for Strategic and International Studies (CSIS) and Haryo Aswicahyono tidak memberi dampak yang besar. Tidak adanya basis manufaktur dan jalur distribusi panjang karena tergantung impor justru permasalahan utama harga unit mobil Ford sulit bersaing.
 
“Komponen dan suku cadang mahal. Ini menjadi pertimbangan yang penting. Ford buktinya bisa cepat menguasai pasar di Thailand karena basis manufaktur mereka di sana,” kata Haryo.
 
Tren pasar otomotif nasional
 
Menurut Bebin, pasar otomotif Indonesia memang unik. Tren pasar Indonesia juga menjadi salah satu alasan Ford kesulitan untuk mempenetrasi segmen pasar otomotif yang dikuasai Jepang.
 
Pertama, konsumen otomotif Indonesia masih melihat harga sebagai pertimbangan utama. Uniknya lagi, calon pembeli mobil bahkan berpandangan sangat jauh ke depan. Sebelum membeli, konsumen sudah berpikir untuk menjual.
 
“Mobil belum dibeli yang dipikirkan harga jual bekasnya. Sedangkan harga bekas dipengaruhi jumlah unit di jalan dan reputasi brand,” kata pria yang sempat mengecap pendidikan teknik mesin Universitas Trisakti ini.
 
Ini membuat siklus menyehatkan bagi pabrikan Jepang, namun tidak bagi pabrikan luar Jepang. Produk Jepang banyak beredar, masyarakat pilih merek Jepang, penjualan merek Jepang terus naik, produk non-Jepang semakin tergerus. Siklus ini terus bertahan dan pabrikan Jepang semakin mengakar.
 
Rhenald Kasali menyebut hal ini efek domino dari keberhasilan Jepang memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia akan mobil murah, irit dan berkualitas. Tiga kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi pabrikan lain, dan akhirnya produk Jepang banyak disukai.
 
Kedua, masyarakat Indonesia mencari mobil mungil berkapasitas besar. Hal itu yang tidak banyak ditawarkan produk non-Jepang. Rhenald menyebut ini dapat dipenuhi Jepang karena keterbatasan Negeri Sakura.
 
“Berbeda dengan AS yang jalanannya lebar dan panjang, Jepang jalanan kecil dan lahannya terbatas. Akhirnya mereka buat mobil kecil dan irit, menjaga kualitas, lalu tidak menimbun sparepart. Jadi putarannya cepat dan tepat. Biaya pun rendah. Mereka yang sukses menciptakan lean production system,” kata Rhenald.
 
Mereka juga terus melakukan inovasi dan mengembangkan segmen produknya. Pada kurun 1947-1950, Jepang diajak belajar industri otomotif ke AS. Mereka kemudian menyerap teknologi mobil AS, lalu memodifikasinya.
 
Jepang selalu mencoba memenuhi kebutuhan pasar dengan tetap menjaga kualitas. Dimulai dengan Daihatsu Midget, atau lebih dikenal bemo (becak motor) di Indonesia. Kemudian Jepang membuat mobil berpenumpang banyak nan murah. Lalu Jepang mengembangkan sedan dengan harga terjangkau yang berhasil merebut pasar yang sebelumnya dikuasai mobil buatan Eropa dan Amerika. Setelah berhasil menarik hati konsumen Nusantara, beragam segmen pun terus ditembus.
 
“Nah kalau dulu mobil Menteri itu Mercedez-Benz S-Class, sekarang Toyota Royal Saloon, Honda Accord, dan beragam merek mobil Jepang. Mereka juga membuat Lexus, Datsun, dan anak perusahaan untuk membuka jalan di segmen pasar lain,” urai Rhenald.
 
Jepang juga berhasil menjalin kerjasama dengan perusahaan lokal yang kuat, PT Astra Internasional. Astra yang bergerak di berbagai sektor industri otomotif semakin menguatkan basis jaringan pabrikan Jepang di Indonesia. Mulai dari komponen, perakitan, penjualan, pembiayaan, hingga bengkel perawatan yang ada di mana-mana.
 
Tujuan Jepang, memberikan apa yang dibutuhkan pasar, yaitu produk dengan harga murah dan kualitas teruji. Ford dan perusahaan mobil non-Jepang lain belum mampu memberikan hal ini. “Ditambah lagi sifat orang Jepang yang detail dan pejuang. Mereka juga sukses dengan budaya perusahaan yang tidak dimiliki oleh AS. Akhirnya tahun 1980an, Amerika Serikat yang belajar ke Jepang,” beber Rhenald
 
Ketiga, konsumen Indonesia suka fitur-fitur yang merefleksikan ‘modern’ dan ‘keren’. Tidak peduli butuh atau tidaknya. Seringkali hanya sebagian kecil fitur yang dimanfaatkan konsumen mobil.
 
Konsumen Indonesia juga memulai kesadaran akan kualitas, tapi tidaklah secara teknis. Lebih kepada tren. “Karena produk Jepang handal maka peminatnya besar apalagi melihat ke sekeliling merk tersebut bertebaran, jadi ikutan saja!” kata Bebin.
 
Kecenderungan masyarakat Indonesia yang lebih peduli fitur dan tren ketimbang teknologi mobil terlihat dari penjualan mobil selain pabrikan Jepang yang rendah. Ford Ecosport yang bertenaga mesin Ecoboost diklaim sebagai mesin terbaik dunia selama empat tahun berturut di segmen mesin 1.000 cc ke bawah ternyata tetap tak menjamin bisnis Ford di Indonesia.
 
Mesin Ecoboost merupakan mesin canggih yang bersemayam di bawah kap mobil Ford Fiesta. Meski kapasitas mesin 1.000 cc, namun harga jualnya cukup tinggi. Bahkan tiga varian Fiesta Ecoboost yang hadir di Indonesia, untuk varian terendah hampir setara harganya dengan varian tertinggi Fiesta 1.500 cc tanpa teknologi Ecoboost.
 
Namun teknologi belum menjadi patron kekuatan bisnis di pasar otomotif nasional. Apalagi konsumen di pasar nasional memang masih lebih menginginkan mobil dengan dimensi besar, seperti low MPV dan tak memperdulikan status mesin terbaik. Sementara Ford tak memiliki produk seperti ini di Indonesia.
 
Ini membuktikan psikologi pasar juga menjadi permasalahan tersendiri yang membuat Ford tak mampu bersaing Indonesia.
 
Krisis ekonomi dan iklim investasi
 
Pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir memang melambat. Kondisi ini membuat daya beli masyarakat menurun. Imbasnya dirasakan kalangan industri, terutama sektor otomotif.
 
Pada tahun 2015 lalu FMI hanya punya pangsa pasar 0,6 persen saja dengan penjualan 6.066 unit, atau turun dari capaian tahun sebelumnya. Pada tahun 2014 pangsa pasar FMI satu persen dengan penjualan menembus angka 11.556 unit.
 
“Dua sampai tiga tahun terakhir memang kondisi tidak menguntungkan karena rupiah diguncang nilai tukar. Hal ini tidak menguntungkan bagi merk-merk yang sudah buka pabrik di negara kita. Tentu saja merk yang belum punya pabrik akan lebih parah kondisinya,” kata Bebin.
 
Sebenarnya krisis ekonomi juga pernah menggoyang Ford yang mulai membuktikan diri pertengahan1990an. Niatan berinvestasi di Indonesia sebesar USD500 juta pada tahun 1997 bahkan kandas di tengah jalan. Rekanan Ford yang sudah memiliki kuku pun memilih hengkang.
 
Ford pun memilih untuk membatalkan berinvestasi di Indonesia dan pergi ke Thailand. Namun sebagai gantinya Ford membuat anak perusahaan Ford Motor Indonesia.
 
Namun krisis di Amerika Serikat membuat Ford merugi besar. Baru dua tahun belakangan merka kembali merasakan keuntungan. Tapi walau berhasil bertahan dan kembali bangkit, Ford memilih mundur teratur dari dua pasar besar yang dikuasai pabrikan Jepang. Jepang dan Indonesia.
 
Namun kepergian Ford ini tidak diambil pusing oleh pemerintah. Industri otomotif Indonesia tengah kembali tumbuh setelah ekonomi sempat memburuk pertengahan tahun lalu. Walau Ford mengibarkan bendera putih, anak perusahaan General Motors justru akan investasi besar-besaran.
 
SAIC General Motors Wuling (SGMW) Motor Indonesia berani menanamkan modalnya sebanyak USD750 juta atau setara Rp10,42 triliun (kurs Rp13.900) di Indonesia meski kondisi ekonomi sedang melemah. Investasi sebanyak itu termasuk membangun pabrik di Cikarang dan mulai berproduksi pada 2017.
 
Mitsubishi dan Isuzu juga berniat menambah investasi sebesar Rp6 triliun dan Rp3,5 triliun. Industri otomotofi mati satu tumbuh seribu. Ford pergi, banyak yang bertahan. Bahkan banyak yang berani mencoba masuk untuk investasi di Indonesia.
 
Bebin menyebut perusahaan lain tak akan terpengaruh. “Soal keuntungan masalah dapur masing-masing, tergantung efisiensi perusahaan. Coba dilihat masih ada merek yang angka penjualannya lebih rendah dari Ford masih mampu bertahan!”
 
Rhenald bahkan meyakini, dua pabrikan negara Asia Timur justru akan menyasar pasar yang ditinggalkan FMI. “Korea dan Tiongkok sekarang bakal mencoba bersaing di Indonesia.”
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan