Setelah itu, tugas pemerintah daerah di tingkat provinsi tinggal mendata pelaporan-pelaporan pengadaan obat yang ada untuk diserahkan ke pusat. Hal ini dikarenakan, saat ini Puskesmas atau rumah sakit sudah bisa membeli langsung obat dari industri farmasi melalui sistem lelang e-katalog yang disediakan Kementerian Kesehatan.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta Koesmedi Priharto, menyatakan bahwa Pemda menyerahkan sepenuhnya perencanaan penyediaan obat kepada masing-masing Puskesmas maupun rumah sakit selaku badan layanan kesehatan umum yang melaksanakan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
“Mereka cuma melaporkan saja. Kami fungsinya itu kan regulator, operator ada di mereka, jadi kami enggak ikut campur ke mereka,” ujar Koesmedi, kepada medcom.id, Selasa (26/5/2015). Menurut Koesmedi, ketersediaan obat di di DKI Jakarta pada tahun 2015 ini masuk dalam kategori aman. Pasalnya, begitu banyak anggaran yang dikeluarkan untuk menjaga ketersediaan obat di instalasi farmasi ini.
Ia menjelaskan, anggaran kesehatan tersebut idealnya adalah 5 persen dari APBN dan 10 persen dari APBD. Anggaran ini sudah termasuk ke dalam pengadaan obat. “Anggaran kesehatan kami (DKI) sekarang sudah 12,6 persen dari APBD,” kata Koesmedi.
Berdasarkan data yang diperoleh, belanja obat yang dilakukan Dinkes DKI Jakarta mengalami kenaikan dari tahun 2014 ke 2015. Di tahun 2014, anggaran belanja obat adalah Rp447.245.993.556 dari total anggaran kelolaan Dinkes yang sebesar Rp7.333.038.734.663. Dapat dilihat, pada tahun 2014 ini anggaran belanja obat sebesar 6,09 persen.
Sedangkan di tahun 2015, belanja obat naik menjadi Rp450.745.158.827. Padahal, total anggaran yang dikelola Dinkes DKI mengalami penurunan, menjadi Rp6.208.631.461.265. Artinya, anggaran belanja obat DKI Jakarta tahun 2015 naik menjadi 7,25 persen.
Dapat dikatakan anggaran farmasi untuk pemprov DKI Jakarta lebih besar dari jumlah idealnya. Tapi, anggaran kesehatan yang besar ini menjadi disayangkan, karena pengadaan biaya obat yang menjadi membengkak. Pasalnya, selama ini arah program kesehatan dari pemerintah masih berfokus kepada aspek kuratif (pengobatan).
“Soalnya kalau arah program kesehatan kami ke promotif dan preventif, kan seharusnya obat sedikit,” imbuh Koesmedi.
Sehingga, anggaran kesehatan pemprov DKI tersebut lebih banyak untuk belanja obat. Meskipun begitu, Koesmedi masih optimis belanja obat menjadi lebih efektif dan efisien setelah adanya JKN.
Dengan adanya sistem JKN ini, diharapkan pemerintah daerah sudah tidak banyak mengeluarkan anggaran untuk kesehatan yang kuratif. Akan tetapi, nantinya mereka akan lebih memprioritaskan anggaran untuk program kesehatan yang promotif dan preventif.
“Makin kecil belanja obatnya seharusnya makin bagus dong. Berarti orangnya sehat dong,” ujar Koesmedi.
Maka dari itu, perlu peningkatan anggaran untuk program promotif dan preventif dibandingkan kuratif di dalam anggaran kesehatan di APBD. Jika ini dapat dilakukan, maka anggaran untuk pengadaan obat menjadi turun.
Koesmedi menambahkan, anggaran pengadaan obat berasal dari dua sumber utama, yakni dari APBN dan APBD. Obat dari APBD adalah obat yang dibeli dari penghasilan rumah sakit atau BLUD (Badan Layanan Umum Daerah) yang disubsidi oleh pemerintah daerah. Sedangkan obat dari pusat atau APBN adalah obat yang memang khusus diprogramkan oleh Kementerian Kesehatan untuk memerangi wabah penyakit tertentu, seperti obat TBC, HIV AIDS dan zat besi untuk ibu hamil.
Tidak hanya itu, pengadaan obat juga dilakukan oleh perusahaan melalui program kepedulian sosial atau Coorporate Social Responsibility (CSR) yang khusus menangani penyakit tertentu. “Ada satu lagi obat, tapi ini adalah CSR jadi kayak Global Fund itu kan dia menangani TBC, nah jadi obatnya juga ada dari mereka. Jadi ada beberapa sumber (pengadaan obat) sebenarnya,” imbuh Koesmedi.
Sedangkan tata kelola pengadaan obat di Provinsi DKI Jakarta berdasar pada UU. No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pada bagian lapiran Urusan “Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Makanan Minuman”. Pada bagian itu, tugas pemerintah Provinsi adalah penerbitan pengakuan pedagang besar farmasi (PBF) cabang dan cabang penyalur alat kesehatan (PAK). Selain itu juga penerbitan izin usaha kecil obat tradisional (UKOT).
Namun, kondisi berbeda terjadi di daerah lain. Seperti yang dialami Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah, kondisi anggaran belanja obat dari APBD mengalami penurunan. Penurunan anggaran belanja obat ini sebelumnya diketahui dari anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi NasDem, Amelia Anggraini, yang melakukan kunjungan ke daerah saat masa reses.
Setelah dikonfirmasi kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Purbalingga, Nonot Mulyono, hal tersebut dibenarkan. Menurut Nonot, anggaran belanja obat di Kabupaten Purbalingga tahun 2015 hanya sepertiga dari anggaran tahun sebelumnya.
Berdasarkan data yang diterima medcom.id, dari total anggaran kesehatan Dinkes Purbalingga tahun 2014 yang sebesar Rp13.800.000.000, biaya untuk obat dan reagent sebesar Rp3.113.816.000.
Sedangkan pada tahun 2015, jumlah anggaran kesehatannya turun 36,9 persen menjadi Rp8.707.230.000. Hal ini dibarengi dengan penurunan biaya pengadaan obat dan reagent sebesar 50,3 persen, menjadi Rp1.547.625.000.
Penurunan biaya belanja obat yang fantastis ini, menurut pengakuan Nonot disebabkan oleh adanya pengalokasian APBD untuk pelaksanaan Pilkada. “Karena alasan dari pihak Pemda itu karena ada dana yang dialokasikan untuk Pilkada itu. Jadi dana kesehatan ikut turun,” jelas Nonot.
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Prof. Dr. Hasbullah Thabrany, mengungkapkan bahwa dalam sistem jaminan kesehatan masyarakat yang berlaku di Indonesia saat ini, proporsi biaya obat dialokasikan maksimal 30 persen dari biaya perawatan kesehatan. Kenyataannya, konsumsi obat nasional mencapai 40 persen dari belanja kesehatan secara keseluruhan dan merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.
Ia membandingkan, di negara-negara lain yang lebih maju seperti Amerika Serikat, Inggris, dan Jerman, biaya obat hanya berkisar 11 persen hingga 12 persen dari biaya perawatan kesehatan. Biaya obat yang ditekan lebih rendah ini disebabkan pihak rumah sakit di negara-negara tersebut membebani banyak biaya lain-lain yang lebih besar kepada pasien seperti tarif laboratorium dan honor dokter.
"Rumah sakit menaikkan charge untuk cari untung, tapi biaya obat resep kecil," kata Hasbullah saat berbincang dengan medcom.id.
Menurut Hasbullah, peningkatan efektivitas biaya obat, bahkan di tingkat pemerintah daerah atau tingkat lokal rumah sakit, merupakan suatu hal yang positif. Karena, pada ujungnya akan memberikan dampak yang berarti terhadap efisiensi biaya perawatan kesehatan nasional.
Kehadiran e-katalog sebagai upaya pemerintah melaksanakan program Jaminan kesehatan berskala nasional, ia menambahkan, mampu berperan sebagai kekuatan monopsoni untuk melawan kekuatan monopolistik pasar pelayanan kesehatan dan obat di Indonesia. Di Indonesia, obat terlanjur terbiarkan bermain dalam pasar bebas. Tidak akan pernah terjadi penurunan harga obat di pasar pelayanan kesehatan yang bercirikan kompetisi bebas seperti sekarang ini. Penurunan harga obat dapat terjadi bila terdapat pembelian obat berskala besar. Hal ini hanya mungkin dilakukan oleh badan penyelenggara jaminan kesehatan nasional yang mewakili kepentingan puluhan bahkan ratusan juta konsumen.
Tentu ini menguntungkan pihak rumah sakit bahkan dokter di klinik dalam kebutuhannya untuk belanja obat dan meningkatkan jaminan ketersediaan obat bagi pasien. "Dengan e-katalog itu, harga obat unit per unit turun tapi volumenya naik," kata Hasbullah.
Sebelumnya, dokter dan apoteker tidak peduli soal harga obat yang mahal atau murah. Maka, sering kali pasien, terutama masyarakat kecil, tidak bisa berobat karena tidak mampu membeli obat yang mereka butuhkan karena harganya mahal.
Dengan diberlakukan JKN, akses yang lebih besar bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah untuk mendapat obat bermutu untuk penyakitnya. "Bahkan untuk penyakit yang tidak ringan perawatannya seperti hipertensi, diabetes, stroke, dan lain-lain itu masyarakat penghasilan rendah bisa mengaksesnya," kata Hasbullah.
Tentu dengan catatan bahwa mereka sudah terdaftar sebagai pasien BPJS.
Hasbullah menilai bahwa ketersediaan obat di Indonesia sudah cukup memadai, karena di Indonesia terdapat lebih dari 200 industri farmasi. Untuk menjaga kualitas obat yang beredar di pasaran, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melakukan pemeriksaan secara rutin untuk menguji kualitas obat. Berkualitas artinya adalah kandungan zat aktif dalam kemasan obat sesuai dengan labelnya, dosisnya pun harus sesuai.
Karena harganya yang murah namun kualitasnya sama dengan obat paten, maka peluang rumah sakit untuk memperoleh surplus lebih besar dibandingkan jika menggunakan obat bermerek.

Menurut Dirjen Bina Kefarmasian Kementerian Kesehatan, Maura Linda Sitanggang, tren yang muncul di negara berkembang, anggaran belanja obat dari rumah sakit berkisar antara 20 sampai 60 persen dari total anggaran. Sedangkan di di negara maju, tren belanja obat antara rentang 30 sampai 40 persen.
"Harus dilihat tergantung kondisinya, pola penyakitnya, apalagi kalau masyarakatnya sehat, enggak perlu obat banyak-banyak,” ujar Linda.
Oleh karena itu, rumah sakit sebaiknya beralih menggunakan obat generik. Menurut Hasbullah, efisiensi obat itu bukannya ‘ngotot’ menggunakan obat bermerek serta mengurangi jatah jumlah obat tersebut, melainkan menggantinya dengan obat generik. Dengan jumlah obat yang sama namun harga lebih murah, pihak rumah sakit pun dapat memperoleh surplus tanpa harus mengorbankan kesehatan pasien. Baik pasien maupun pihak rumah sakit akan sama-sama diuntungkan melalui pemanfaatan obat generik dalam pengobatan.
"Ini berati tenaga kesehatan bisa mendapat penghasilan yang lebih tinggi," kata Hasbullah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News