Pekerja merapihkan beras di toko sembako Pasar Lama, Tangerang, Banten. (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)
Pekerja merapihkan beras di toko sembako Pasar Lama, Tangerang, Banten. (ANTARA FOTO/Rivan Awal Lingga)

Soal Gejolak Harga Pangan

Medcom Files ketahanan pangan
Surya Perkasa • 11 April 2016 20:10
medcom.id, Jakarta: Menjaga kestabilan pangan menjadi pekerjaan rumah tersendiri dalam merealisasikan ketahanan pangan. Kondisi harga sangat mempengaruhi produsen dan konsumen pangan nasional.
 
Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Gardjita Budi menyebut persoalan harga sangat sensitif dan perlu dipikirkan dengan seksama. Salah-salah, petani atau masyarakat justru yang dikorbankan.
 
“Harga tinggi, masyarakat menjerit. Harga rendah, petani yang teriak,” kata Gardjita dalam perbincangan dengan medcom.id di Jakarta, Selasa (5/5/2016).

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Harga pangan juga sangat berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat secara umum. Badan Pusat Statistik mencatat pengeluaran utama masyarakat Indonesia masih untuk pangan. Berdasarkan hasil Susenas BPS pada Maret 2015, pengeluaran rata-rata per kapita sebulan sebesar Rp868.823,-, sebesar Rp412.462,- (sekitar 47,47 persen) digunakan untuk konsumsi makanan dan sebesar Rp456.361,- (52,53 persen) digunakan untuk konsumsi bukan makanan.
 
Selain itu, harga pangan juga memberikan dampak yang cukup besar untuk inflasi ekonomi secara keseluruhan. Bahkan tingkat inflasi harga bahan makanan seringkali berada di atas tingkat inflasi nasional.
 
Soal Gejolak Harga Pangan
 
Contohnya pada tahun 2014 dan 2013 saat krisis mengguncang perekononomian Indonesia dan dunia. Perekonomian melemah karena meningkat tajamnya inflasi. Salah satu penyumbang inflasi terbesar Indonesia saat itu adalah pangan.
 
Sifat alami harga pangan
 
Beberapa komoditas pangan bahkan memberikan pengaruh inflasi yang lebih besar ketimbang komoditas lain. Tapi sifat alami komoditas pertanian, pada saat panen stok melimpah harga turun dan pada saat musim panen stok kurang dan harga melambung.
 
Salah satu yang menjadi contohnya adalah beras. Harga beras selalu cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Namun, seringkali fluktuasi harga beras dan pangan pokok lain di beberapa daerah justru jauh lebih tinggi ketimbang rata-rata nasional.
 

Soal Gejolak Harga Pangan
 
Kenaikan harga ini terkait dengan biaya produksi dan harga jual gabah kering petani yang terus meningkat. . Harga padi selama 2015 terus naik tiap bulannya. Rata-rata harga gabah kering panen (GKP) di petani naik 3,38 persen menjadi Rp5.070,45 per kg dan di penggilingan naik 3,36 persen menjadi Rp5.151,45 per kg dibandingkan harga gabah kualitas yang sama pada bulan sebelumnya.
 
Sementara itu rata-rata harga gabah kering giling (GKG) di petani selama November 2015 naik 3,13 persen menjadi Rp5.523,57 per kg, sedangkan di penggilingan naik 3,15 persen menjadi Rp5.628,51 per kg dibandingkan harga gabah kualitas yang sama bulan lalu.
 
Demikian pula harga gabah kualitas rendah di petani dan penggilingan mengalami kenaikan masing-masing 1,28 persen menjadi Rp4.484,73 per kg dan 1,75 persen menjadi Rp4.596,52 per kg.
 
Dibandingkan dengan November 2014, rata-rata harga beras di tingkat penggilingan pada bulan November 2015 untuk kualitas premium naik 11,80 persen, kualitas medium naik 10,74 persen dan kualitas rendah naik 13,43 persen.
 
Selain di tingkat petani, harga di konsumen tingkat akhir juga mengalami peningkatan yang terus menerus. “Harga beras dan padi itu dinamis. Beberapa daerah harga jual gabahnya itu di bawah rata-rata, dan memungkinkan untuk menjual dengan harga Rp7.500 di Toko Tani Indonesia. Namun di daerah lain akan sulit untuk bisa menjual harga,” kata Gardjita.
 
Permainan harga dan kepentingan
 
Gardjita menyebut pemerintah dan masyarakat didikte dan sering dihebohkan oleh harga yang fluktuatif. Pada waktu tertentu seperti sebelum puasa dan hari besar bahkan sangat fluktuatif. Bahkan harga ini sering dipolitisasi dan dimanfaatkan untuk kepentingan kelompok dan individu. Bahkan tidak jarang, permainan justru terjadi di distribusi atau bisnis penghubungan pangan.
 
“Kita sering terkecoh soal harga. Normalnya, harga komoditas tertentu ketika panen akan turun. Kita ambil contohnya beras, harga gabahnya di petani turun tapi harga beras di pasar meningkat. Kami tidak mau seperti itu. Ini menunjukkan ada kelompok yang di tengah yang bermain,” beber Gardjita.
 
Apa yang disampaikan oleh Gardjita ini pun didukung oleh pernyata Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usahan Syarkawai Rauf. Bahkan ada dugaan upaya kartel beberapa komoditas terus menaikkan harga pasar komodits lokal, mengimpor komoditas dari luar negeri dan meraup keuntungan sebesar-besarnya.
 
Walau demikian Syarkawi enggan menyamaratakan permasalahan satu komoditas dengan komoditas lain. Menurut dia, tiap komoditas memiliki keunikan dan kondisi yang berbeda.
 
Salah satu dicontohkan Syarkawi yakni beras yang banyak menghasilkan polemik “Ada dugaan upaya seperti itu. Karena margin keuntungannya kan lebih besar. Ada upaya untuk mendatangkan impor,” tutur dia saat berbincang dengan medcom.id, Minggu (10/4/2016).
 
Sekelompok pedagang menahan pasokan dan menyebabkan harga beras tinggi. Pemerintah pun terkesan dipaksa melakukan intervensi karena tingginya harga. Ujung-ujungnya berupa izin impor pangan.
 
Indikasi ini juga ditemukan KPPU sekitar bulan Oktober dan November 2015. Saat itu KPPU mendapati beras kelas medium di Pasar Induk Cipinang Jakarta habis. Padahal di Karawang stoknya masih ada dan harganya masih lebih murah, selisih sekitar 300 rupiah.
 
“Kalau misalnya yang di Karawang di distribusikan ke Cipinang, kan marginnya tidak seberapa jika dibanding impor. Bahka n diperkirakan marginnya bisa Rp800 per kilogram. Ada dugaan permainan seperti itu,” tutur Syarkawi.
 
Tidak hanya beras, KPPU kini tengah menggali dugaan kartel sekitar 10 komoditas pangan yang berbeda. Contoh lainnya adalah komoditas daging ayam.
 
KPPU menduga ada 12 peternakan raksaan yang sengaja memainkan afkir dini induk ayam (day-old-chicken). Pengaturan persediaan ayam ini menyebabkan harga jual ayam jatuh dan peternak merugi.
 
Afkir dini dilakukan agar persediaan ayam anakan atau day-old-chicken (DOC) berkurang sehingga harganya naik. Hal itu melanggar Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang praktek monopoli dan persaingan usaha. Pemangkasan ditargetkan 6 juta ekor induk atau parent stock oleh perusahaan-perusahaan produsen ayam. Namun yang terealisasi baru 3 juta ekor.
 
“Persoalan ini masih kami terus dalami,” kata Syarkawi.
 
Syarkawi memang melihat banyak dugaan permainan di sektor pangan yang membuat ketahanan pangan sulut terjadi. Mencari keuntungan dari bisnis pangan menjadi hal yang sah saja, namun terang saja tidak boleh bermain untuk mengendalikan harga pangan sehingga masyarakat umum dan petani justri merugi.
 
“Apakah boleh cari untung sebanyak mungkin? Boleh. Tapi yang tidak boleh itu kalau masyarakat yang banyak jadi dirugikan.Jadi yang perlu kita hilangkan itu kan monopoli, yang menginjak perusahaan kecil,” Gadjita mengamini.
 
Merubah tata niaga pangan
 
Stabilisasi memang bukan persoalan mudah karena terkait dengan mekanisme pasar yang tengah dipakai. Saat ini produsen dan konsumen pangan berada di posisi yang berjauhan. Baik secara jarak maupun sistem.
 
Secara jarak, persebaran peta pangan Indonesia belum merata. Selain itu logistik dan distribusi juga menjadi persoalan lain. “Sulit distabilisasi bila distribusi dan logistik tidak lancar,” ungkap Syarkawi.
 
Beberapa program pemerintah sebenarnya telah dirancang untuk mengatasi masalah ini. Mulai dari tol laut, kapal sapi, hingga beragama infrastruktur angkutan. lain.
 
“Yang perlu kita diatur oleh pemerintah adalah benahi, ekstrimnya, memotong mata rantai tata niaga pangan,” ujar Gardjita.
 
Salah satunya bisa dengan menghubungkan langsung pasar dan produsen. Badan Ketahanan Pangan kini tengah menjalankan program Toko Tani Indonesia yang bertujuan untuk memperpendek mata rantai niaga pangan.
 
Walau masih banyak kekurangan, dia mengklaim TTI mampu menjual beras di bawah harga pasaran. Sekitar Rp7.500 untuk kelas medium. Selain itu, TTI juga langsung bekerja sama dengan kelompok tani dan didukung oleh Bulog.
 
“Saat ini memang baru beras dan cabai. Tapi kita ingin makin lama makin banyak,” ungkap Gardjita.
 
Saat ini telah ada sekitar 80 TTI yang aktif walau tahun lalu tidak ada anggaran dikucurkan oleh Kementan. BKP pun berambisi untuk mendirikan toko tani hingga tiap kabupaten kota. Masyrakat terbantu, petani pun tertolong karena harga yang lebih kompetitif.
 
Syarkawi turut mendukung wacana pemangkasan distribusi dan perantara di mekanisme pasar pangan. Bahkan dia menilai pemerintah perlu terjun langsung menjadi operator. Salah satunya bisa dengan memperkuat fungsi dan peranan Bulog dalam pengendalian stok pangan.
 
Selain itu Syarkawi juga menilai pemerintah perlu membenahi pendataan stok dan produksi. Angka yang ada selama ini seringkali tidak mirip dengan keadaan lapangan. Ini membuat peluang-peluang permainan di sektor pangan terbuka lebar.
 
Hal senada juga disampaikan oleh Staf Ahli Kelompok Kerja Dewan Ketahanan Pangan Khudori. Khudor menilai ketahanan pangan akan sulit tercipta bila tidak badan lembaga yang benar-benar berkuasa penuh atas pangan.
 
Kementerian Pertanian tak sendirian mengurus pangan, Dewan Ketahanan Pangan yang dulu bertaji kini sudah tak ada yang peduli, Bulog pun sulit melangkah karena terkekang aturan.
 
“Bulog tidak bisa gerak cepat urus pangan. Tidak seperti jaman dulu, kini Bulog harus meminta pertimbangan dari 8-9 instansi lain untuk mengeluarkan kebijakan,” kata Khudori.
 
Masyarakat dan kencintaan ke pangan lokal
 
Selain stabilisasi pangan, pemerintah juga tengah berupaya menghilangkan ketergantungan masyarakat terhadap pangan pokok tertentu.
 
“Itu harus. Produksi ditingkatkan, di sisi lain kebutuhan terhadap bahan pokok tertentu harus dikurangi,” kata Gardjita.
 
Bahasa yang acap kali digunakan oleh pemerintah adalah diversifikasi pangan. Mengalihkan pangan pokok tertentu ke jenis lain serta mengatur pola makanan sehingg lebih sehat.
 
Diversifkasi ini menjadi salah satu tugas utama BKP dan melibatkan beberapa kementerian lain, salah satunya Kementerian Kesehatan. Kementerian Kesehatan tengah gembar-gembor pola makan sehat. Secara tidak langsung hal ini juga dapat membantu terciptanya ketahanan pangan.
 
Diversifikasi ini ternyata terbukti dapat mulai mempengaruhi masyarakat. Perlahan ketergantungan terhadap nasi sebagai sumber karbohidrat utama mulai berkurang. Walaupun Indonesia masih menjadi pengkonsumsi nasi tertinggi dunia.
 
“Sebelumnya 149 kg perkapita, sekarang turun menjadi 124 kg perkapita. Ada keinginan untuk menjadi 114 kg perkapita,” ungkap Gardjita.
 
Mendorong masyarakat untuk menggunakan pola pangan harapan memang tak mudah. Apalagi pangan sudah tidak sekedar menjadi kebutuhan, tapi juga melekat ke kebudayaan. Tapi hal ini harus dilakukan secara terus menerus karena sebenarnya beberapa daerah memiliki pangan lokal yang kini telah tergeser oleh beras.
 
“ Padahah sumber karbohidrat lain di Indonesia kan banyak. Tapi belum dieksplor secara maksimum.
 
Ada singkong yang dekat dengan beras. Beberapa masakan berkarbohidrat tinggi nan mampu menggantikan beras pun banyak. Namun karena sudah tergeser, akhirnya pangan lokal macam jagung, singkong dan sagu tak lagi dipandang.
 
“Memang ada sedikit masalah pergeseran kebiasaan dan kebudayaan. Contoh dulu di Irian makannya itu sagu, tapi anak mudanya itu bergeser ke beras,” Gardjita menyayangkan.
 
Soal Gejolak Harga Pangan
 
Memang, kata Gardjita, harus ada kebanggaan dari masyarakat dan pemerintah daerah terhadap pangan lokal. Sebab tak hanya karbohidrat, sumber protein di Indonesia yang bisa digali di Indonesia sangatlah banyak.
 
Di Indonesia protein lain ada ikan, unggas seperti bebek, belut, dan sumber protein lain yang harusnya di eksplorasi. Bahkan kalau bicara ekstrim, ada serangga seperti belalang dan kelinci yang belum banyak dianggap sebagai pangan. “Sekarang mungkin semua akan tertawa, tapi selama itu tidak melanggar etika dan norma itu yang harus dieksplor. Kelinci jujur saja mandek, tapi kelinci itu bisa dikembangkan,” ucap dia sembari terkekeh.
 
“Nah hal seperti ini perlu dieksplor. Variasi dan diversifikasi ini yang harus ditingkatkan. Karena selain demi ketahanan pangan, ini juga bagus bagi kesehatan manusianya,” imbuh Gardjita sembari menutup perbincangan.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan