Pekerja memindahkan pasir dari perahu ke daratan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Susoh, Blangpidie, Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh. (ANTARA FOTO/Suprian)
Pekerja memindahkan pasir dari perahu ke daratan di Daerah Aliran Sungai (DAS) Krueng Susoh, Blangpidie, Kabupaten Aceh Barat Daya, Aceh. (ANTARA FOTO/Suprian)

Ancaman dari Sungai-sungai Rusak

Medcom Files banjir bandang garut
Sobih AW Adnan • 03 Oktober 2016 17:16
medcom.id, Jakarta: Banjir bandang yang menerjang tujuh kecamatan di Garut, Jawa Barat, pada September 2016 ditengarai merupakan yang terbesar dan terparah dalam catatan pemerintah setempat. Untuk itu, musibah ini layak menjadi sorotan publik sekaligus evaluasi terhadap masalah pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Lantaran pemicu bencana ini adalah meluapnya Sungai Cimanuk.
 
Apalagi, merujuk data yang diungkap Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kerusakan DAS di Indonesia sebenarnya sudah pada tahap mengkhawatirkan. Dari sebanyak 450 DAS yang ada di Indonesia, 118 di antaranya dalam kondisi kritis. Termasuk didalamnya DAS Cimanuk yang kondisinya sudah buruk sejak 1984. Maka, jelas persoalan ini patut mendapat perhatian serius. Tujuannya, demi bencana serupa tak terulang di masa mendatang.
 
Ancaman dari Sungai-sungai Rusak

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Kepala Pusat Data dan Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan kerusakan DAS berkorelasi dengan tren peningkatan skala bencana. Semakin kritis kondisi DAS, berarti kian besar kemungkinan bencana terjadi. Setelah mencermati banjir, tanah longsor, juga kekeringan mendominasi tren bencana sejak kurun dua dekade terakhir, Sutopo pun tak heran lagi. “Respon dari kerusakan DAS adalah semakin sensitifnya lingkungan terhadap komponen yang ada dalam sistem lingkungan tersebut,” kata Sutopo kepada medcom.id di Graha BNPB, Jalan Pramuka Raya, Rawamangun, Jakarta Timur, Selasa (27/9/2016).
 
Ancaman dari Sungai-sungai Rusak
 
Ia mencontohkan kerusakan DAS Cimanuk, Garut. Parameter kerusakan diukur dari koefisien rejim sungai (KRS) atau perbandingan debit maksimum saat terjadi banjir dan perbandingan debit minimum kala tidak terjadi banjir pada musim kemarau. "DAS buruk jika koefisien rejim sungainya di atas 80. Tetapi di Sungai Cimanuk mencapai 713 KRS. Ini menunjukan bahwa kerusakan yang masif di DAS Cimanuk," kata Sutopo.
 
Jika dibandingkan dengan sungai-sungai lain di Jawa, semisal Sungai Bengawan Solo dan Sungai Brantas, DAS Cimanuk mengalami kondisi lebih buruk. Saking parahnya, puluhan anak sungai di Garut yang mengalir menuju Cimanuk justru menciptakan arus besar yang meluber ke kawasan yang dilaluinya ketika hujan deras.
 
Penampang sungai yang tak kuat menahan arus itu, menurut Sutopo, membuat muatan sungai pun tumpah laksana air bah. “Kasus seperti ini, mengakibatkan kekeringan dan kekurangan sumber daya air. Karena debit sungai tidak lagi terjaga dengan baik,” kata Sutopo.
 
Ancaman dari Sungai-sungai Rusak
 
Problem kerusakan DAS tidak pula hanya berpengaruh pada besar kecilnya debit air yang tidak lagi bisa dikendalikan. DAS kritis juga bisa mengakibatkan kualitas air sungai menurun karena pencemaran yang terjadi. Pencemaran bisa diakibatkan erosi dari lahan kritis, limbah rumah tangga, limbah industri, limbah pertanian, perkebunan, dan pertambangan.
 
Sutopo menjelaskan khusus di masalah pencegahan bencana yang diakibatkan kerusakan DAS dibutuhkan kerja sama dan kesadaran yang kuat dari berbagai pihak. Terlebih antara masyarakat di kawasan hulu dan hilir sungai.
 
Selama ini, kata dia, masyarakat daerah hulu terlanjur dicap sebagai pihak yang paling bertanggung jawab ketimbang masyarakat yang berada di bawah. Anggapan ini sebenarnya keliru. “Petani di hulu itu biasanya miskin. Luasan lahannya tidak sampai dua hektare. Paling 200-300 meter. Dengan lahan dan produktifitas seperti itu mereka dibebani agar membuat lahan dengan sistem terasering, misalnya. Risikonya lahan berkurang serta menguras biaya cukup mahal,” kata dia.
 
Dengan kondisi seperti itu, menurut Sutopo sesungguhnya masyarakat hilir pun memiliki kewajiban menjaga lingkungan agar tidak terjadi banjir, sedimentasi, dan menjaga kejernihan air. “Istilahnya imbal jasa lingkungan,” kata dia.
 
Sementara itu Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (IPB) Euis Sunarti mengatakan pengelolaan DAS sebenarnya tidak mengenal batas administratif. DAS bisa melewati berbagai kabupaten dan kotamadya hingga ke daerah hulu. Gambaran ini penting dipahami sebagai pengingat bahwa persoalan kelestarian DAS adalah tanggung jawab bersama.
 
“Ada badan khusus BPDAS (Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial). Tapi dalam hal-hal tertentu, jika berkaitan dengan prilaku manusia tetap saja dihubung-hubungkan dengan administratif,” kata Euis saat dihubungi medcom.id, Sabtu (1/10/2016).
 
Maka, ia melanjutkan, yang diperlukan saat ini adalah membangun ketangguhan masyarakat baik di hulu dan di hilir. Ditambah keseriusan pemerintah dalam memberikan wawasan kepada keduanya tentang kerentanan, kapasitas wilayah, dan risiko bencana.
 
“Semuanya harus terintegrasi,” ujar Euis.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan