medcom.id, Jakarta: Pada Rabu siang itu (3/6/2015), Kepala Badan Pengelola Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ TIM) Bambang Subekti, menemui para seniman yang berkumpul di di Galeri Cipta 3 Taman Ismail Marzuki, Jakarta untuk meminta penjelasan mengenai peralihan manajemen dan pemberlakuan aturan baru. Ada puluhan seniman hadir dalam pertemuan tersebut, antara lain pelukis Syahnagra Ismail, penyair Leon Agusta, penulis Martin Aleida, koreografer Aidil Usman.
Menurut Bambang, pertemuannya dengan para seniman itu membahas persoalan transisi pengelolaan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki. Namun, proses pergantian manajemen yang dilakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta dengan membentuk Unit Pelaksana PKJ TIM dinilai tidak jelas.
Berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 109 Tahun 2014, pengelolaan PKJ TIM kini seharusnya berada di bawah Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta. Dalam hal ini, manajemen pengelolaan dari Badan Pengelola PKJ TIM diserahkan ke Unit Pelaksana PKJ TIM dari Pemda.
Pergub tersebut juga menyebutkan UP PKJ TIM tidak akan memperoleh dana yang rutin didapatkan BP PKJ TIM di tiap tahunnya. Selama ini, BP PKJ TIM mendapatkan kucuran dana hibah dari Pemda untuk menjalankan program-programnya. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa dana hibah yang dikucurkan Pemda sebesar Rp2.500.000.000 pada tahun 2012. Hibah itu naik dua kali lipat pada tahun 2013 dan 2014 menjadi sebesar Rp5.000.000.000.
Akan tetapi, hibah ini sejak tahun 2012 sampai 2014 besarannya hanya berkisar 23-32 pesen dari total kebutuhan anggaran menjalankan program di TIM. Untuk menutupi sisanya, BP PKJ TIM mencari dana swadaya dari pengelolaan aset. Hasil dari pengelolaan aset tersebut juga akan dipergunakan untuk perbaikan infrastruktur dan penggajian karyawan.
Merujuk peraturan sebelumnya, pada SK Gubernur DKI 87/2004, dana hibah dari Pemprov DKI memang rutin terkucur tiap tahunnya ke BP PKJ TIM. Karena dalam SK Gubernur tersebut masih menyebutkan anggaran yang digunakan untuk membiayai kegiatan BP PKJ TIM dibebankan kepada bantuan keuangan APBD dan sumber dana yang sah. Sedangkan saat ini, anggaran pelaksanaan tugas UP PKJ TIM dibebankan kepada APBD.
Karena keuangan dibebankan ke APBD, maka manajemen pengelolaannya diserahkan ke Pegawai Negeri Sipil (PNS). Secara struktur kemunculan UP PKJ TIM ini dirasa berbeda dengan BP PKJ TIM yang ada selama ini. Hal ini dikarenakan, pada awal dibentuk, pengelolaan BP PKJ TIM diserahkan kepada seniman. Sedangkan UP PKJ TIM, pegawai unit pengelolanya adalah PNS.
“Badan Pengelola dulu adalah masyarakat seniman, masyarakat yang Non PNS. Nah, dengan UP itu PNS, ada satu perbedaan yang besar. Itulah yang membuat teman-teman seniman mulai merasa kalau ini enggak beres. Karena apa yang selama ini sudah diserahkan kepada seniman, tiba-tiba semua manajemen diambil oleh PNS, itu yang membuat temen-temen menolak UP,” ujar Bambang saat berbincang dengan medcom.id di kantornya, Selasa (9/6/2015).
Bambang bercerita, sebelum Kepala UP PKJ TIM dilantik, seluruh stakeholder seniman di Jakarta sudah menolak konsep UP yang dikelola oleh PNS. Namun akhirnya Bambang menerima keputusan rapat yang membahas pengalihan pengelolaan ini. Rapat yang diadakan pada tanggal 7 Mei itu lalu, menyepakati rencana serah terima pengelolaan dari BP PKJ TIM ke UP PKJ TIM pada tanggal 31 Mei 2015. Menanggapi keputusan itu, BP PKJ TIM telah menyelesaikan masalah kepegawaian dengan Dinas Ketenagakerjaan, untuk mengatur pesangon dan hak karyawan lainnya.
Tapi ternyata pada tanggal 28 Mei sebelum hari serah terima pengelolaan, BP PKJ TIM mendapat surat dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI, supaya Bambang tetap melakukan fungsi pelayanan. Melihat temuan ini, Bambang menilai bahwa UP PKJ TIM masih belum siap dalam mengambil alih pengelolaan pusat kesenian yang berlokasi di Cikini ini. Padahal, dalam Pergub 109 tahun 2014, keeradaan BP PKJ TIM sudah dibubarkan. Selain itu, dalam menjalankan programnya mereka juga tidak diperbolehkan menggunakan dana hibah lagi. Namun kenyataannya, BP PKJ TIM saat ini masih ada dan boleh menggunakan dana hibah kembali untuk melanjutan masa transisi ini.
“Katanya boleh menggunakan anggaran hibah. Nah, tapi segi aturan hukum Pergub 109 kan Badan Pengelola seharusnya sudah dibubarkan dan hibah tidak boleh lagi,” imbuh Bambang.
Jadi, saat ini kondisi pengelolaan dipegang oleh dua pihak, yaitu BP PKJ TIM yang turut membantu UP PKJ TIM. Namun dengan adanya Pergub 109/2014 seharusnya BP PKJ TIM sudah tidak ada. Untuk itu seharusnya, Pergub tersebut perlu direvisi supaya kedua pihak tersebut dapat bekerja berbarengan. Ditambah lagi bentuk struktur organisasi dan anggarannya pun masih belum jelas mau menggunaka aturan pengelolaan yang mana. Karena pada dasarnya, kedua peraturan yakni SK Gubernur DKI 87/2004 dan Pergub 109/2014 memiliki komponen yang berbeda. Maka dari itu, Bambang mengajukan usulan terkait masalah ini.
Perbedaaan Struktur Organisasi
Seperti diketahui, berdasarkan SK Gubernur Nomor 87 Tahun 2004 di bagian Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi PKJ TIM Pasal 3 ayat (2), menyebutkan bahwa PKJ TIM dipimpin oleh seorang Kepala Badan Pengelola yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Gubernur melalui Sekretaris Daerah. Namun, pada Pergub Nomor 109 tahun 2014 yang saat ini berlaku, terjadi pendegradasian fungsi PKJ TIM. Hal ini dapat dilihat dari dihapuskannya bagian Kedudukan, Tugas Pokok dan Fungsi BP PKJ TIM dalam Keputusan Gubernur Pasal 3 ayat (2). Kenyataannya saat ini, PKJ TIM posisinya di bawah Satuan Pelaksana Tempat Pertunjukan.
Bambang pun mengusulkan supaya keberadaan PKJ TIM dalam Pergub 109/2014 diposisikan di bawah UP yang dalam pelaksanaan tugasnya diserahkan kepada Satuan Pelaksana Tempat Pertunjukan dan ditunjuk seorang koordinator.
Selain itu, pendanaan operasional BP PKJ TIM sesuai SK Gubernur Nomor 87 Tahun 2004, selama ini diperoleh dari dana hibah dan dana atas pemanfaatan fasilitas yang ada di TIM. Pemanfaatan dana tersebut digunakan untuk pembayaran gaji pegawai, kegiatan kesenian, kegiatan adminsitrasi dan pemeliharaan serta perawatan ringan atas fasilitas yang ada di TIM. Sedangkan dalam Pergub 109 penggunaan dana hibah sudah tidak diperkenanan lagi. Maka dari itu, Bambang mengusulkan supaya Pemprov memberikan kejelaskan apakah BP PKJ TIM masih akan mendapatkan dana hibah atau tidak ketika keberadaannya masih ada dalam menjalankan fungsinya ini. Mengingat apabila tidak segera mendapatkan kejelasan, maka dikhawatirkan akan menghambat program-program kegiatan yang telah disusun BP PKJ TIM untuk tahun 2015.
“Kami ingin Pergub 109 ditinjau. Tetapi tinjauan saya seperti (usulan) ini,” kata bambang.
Dampak Terhadap Nasib Karyawan PKJ TIM
Kekurangsiapan dalam serah terma pengelolaan ini juga berdampak kepada nasib karyawan-karyawan yang sudah bekerja di PKJ TIM selama ini. Saat ini nasib para karyawan di PKJ TIM seperti digantung. Sebab, dalam aturan Pergub 109, menyebutkan bahwa pegawai pada unit pengelola PKJ TIM merupakan PNS. Dengan demikian, ini berarti Tugas Pokok dan Fungsi dari BP PKJ TIM sudah diambil alih langsung oleh PNS yang mengelola UP PKJ TIM.
Di satu sisi, dalam Pergub 109 tersebut tidak lah diatur bagaimana kedudukan dan status pegawai BP PKJ TIM yang berjumlah 106 orang tersebut ketika terjadi serah terima pengelolaan. Apakah nantinya mereka akan dilakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau tetap bekerja sebagaimana mestinya?. Sebab, dalam penggunaan tenaga kerja, BP PKJ TIM terikat kepada UU Ketenagakerjaan dan Ketentuan Kepegawaian BP PKJ TIM. Sehingga perlu dipertegas statusnya.
“Selama ini yang selalu menjelaskan kepada karyawan soal pemutusan hubungan kerja itu hanya saya terus. Dari dinas tidak pernah. Kan ini kan karyawan-karyawan saya yang sudah mengabdi puluhan tahun ini kan tidak bisa begitu terus tidak diberikan kepastian. Kalau itu kebijakan pemerintah daerah mengambl alih ya silahkan dong pemerintah daerah menjelaskan kepada keryawan, jangan saya terus,” papar Bambang.
Bambang menambahkan, Pemprov juga perlu menjelaskan hak-hak pegawai yang nantinya akan di PHK tersebut. Perlu adanya kejelasan besaran pesangon dan waktu penerimaannya. Di samping itu juga perlunya memberikan kejelasan perihal prosedur penyeleksian karyawan apabila masih diberikan kesempatan bekerja. Pasalnya, sampai saat ini, kata Bambang, belum mendapatkan prosedur yang jelas mengenai masalah penyeleksian karyawan di bawah pengelolaan UP PKJ TIM ini.
Reaksi Seniman
Masalah lain juga muncul. Bambang bertutur bahwa sudah ada seniman yang merasa terbebani dengan sistem kerja yang dikelola UP PKJ TIM. Hal itu terjadi ketika seniman hendak mengurus tetek bengek keperluan acara di TIM sendirian. Karena sebelumnya, ketika seniman hendak membuat acara di TIM, semua kebutuhan mulai dari perizinan kepolisaian, keramaian sampai perpajakan sudah diurus oleh BP PKJ TIM. Artinya, dalam hal ini seniman cukup berkonsentrasi untuk mengisi acara di gedung TIM saja.
Seharusnya UPT PKJ Tim juga mengetahui keinginan dan kebutuhan para seniman ketika akan menggelar acara di TIM. Seniman merasa, kultur bekerja dengan birokrat berbeda dengan BP PKJ TIM yang memang dikelola oleh seniman sendiri. Bambang berpendapat, UP PKJ TIM yang berisi orang non kesenian, kurang begitu paham terhadap kemauan seniman. Bahkan, lanjut Bambang, pengalihan pengelolaan yang diharapkan dapat memperbaiki keadaan ini, justru malah memburuk.
“Ini yang sudah terjadi. Temen-temen seniman yang sudah ke sana (UP PKJ TIM) itu, izin mengurus sendiri, pajak ngurus sendiri, jual tiket enggak ada urusannya dengan mereka, jadi semuanya harus seniman. Jadi sesuatu kalau diambil alih itu mestnya menjadi semakin baik. Tapi ini kok merepotkan senimannya,” imbuh Bambang.
Mulai 1 Juni 2015, beberapa pelayanan di TIM selain retribusi, seperti penataan panggung, suara, dan lampu; pembuatan banner, kalender acara, katalog, dan buku acara; serta penjualan tiket secara online, ditiadakan. "Sekarang tidak ada lagi layanan-layanan itu karena tidak ada yang membayar. Dulu, fasilitas-fasilitas itu masuk dalam paket kontrak di TIM, tetapi sekarang hanya retribusi seperti halnya sewa gedung yang masuk dan dikelola langsung Unit Pengelola PKJ TIM," kata Bambang.
Dalam hal cara bekerja, seniman sudah memliki hubungan dengan BP PKJ TIM yang sudah terjalin sejak lembaga tersebut terbentuk. Sejak PKJ TIM diresmikan oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, hubungan yang terbentuk antara seniman dan BP PKJ TIM tidak hanya pada hubungan birokrasi. Selama ini, manajemen BP PKJ TIM telah sepenuhnya diserahkan kepada seniman dalam pengelolaannya. Sehingga, dengan adanya pengelolaan UP PKJ TIM yang lebih mengedepankan birokrasi ini, justru akan mempersulit kebutuhan para seniman.
“Keterikatan seniman dengan Badan Pengelola itu sudah kayak saudara. Mereka ngobrol disini (BP PKJ TIM), menuangkan idenya lalu kita serap. Diskusi itu ada, muncul, pendekatan kita bukan pendekatan birokrat yang terikat dengan jam. Nah sekarang pertanyaan kita, temen-temen seniman itu belum nyaman terhadap cara kerja birokrat,” kata Bambang.
Beberapa seniman yang ditemui medcom.id di sekitar TIM juga mengeluhkan kehadiran UP PKJ yang masuk ke dalam manajemen pengelolaan. Salah satunya pelukis Syahnagra Ismail yang menilai, keputusan gubernur membentuk UP PKJ TIM dikarenakan pengetahuan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang sangat minim terhadap atsmosfir kesenian di TIM. Oleh karena itu Syahnagra bersama rekan-rekan senimannya perlu berkomunikasi langsung dengan Ahok untuk membicarakan masalah pengelolaan di TIM ini.
Sampai saat ini Syahnagra belum sempat bertemu dengan Ahok untuk membicarakan perihal masalah TIM. Menurut Syahnagra, supaya dapat mengelola TIM dengan baik, Ahok diminta harus mendekati para seniman di TIM terlebih dahulu. Diduga, salahnya manajemen pengelolaan TIM ini dikarenakan Ahok tidak terlebih dahulu berdiskusi dengan seniman yang ada. Apabila nantinya bertemu, mau bagaimanapun nanti hasilnya, diharapkan dapat menciptakan pemikiran dan pandangan baru terkait pengelolaan di TIM.
“Ahok harus mendekati para seniman untuk bagaimana membicarakan Taman Ismail Marzuki. Kami sudah bilang ke Dewan Kesenian Jakarta untuk tidak lagi memperpanjang keberadaannya,” kata Syahnagra kepada medcom.id di kawasan TIM.
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang saat ini, ia melanjutkan, tidak bisa menampung aspirasi para seniman. Bahkan masalah keberadaan UP PKJ TIM dalam pengelolaan yang baru juga dipengaruhi oleh Dewan Kesenian yang tidak bisa mempertemukan antara para seniman dengan Gubernur untuk membicarakan pokok persoalan. Syahnagra khawatir, pengalihan pengelolaan TIM ke UP PKJ TIM akan berdampak buruk terhadap fungsi pusat kesenian tersebut kedepannya.
Seperti halnya pada peristiwa yang terjadi kemarin-kemarin ini. Syahnagra melihat gedung TIM sudah disewakan untuk kegiatan selain kesenian, seperti wisuda dan kemungkinan bisa berujung pada resepsi pernikahan. Beberapa waktu yang lalu Dinas Pariwisata juga sempat membuat acara diklat di Teater Kecil TIM, namun tidak ada pihak yang menontonnya.
“Jadi saya tidak percaya kepada UPT (unit pelaksana teknis PKJ TIM) karena cara kerjanya sudah ketahuan tidak menguasai kesenian,” imbuh Syahnagra.
Senada dengan Syahnagra, sastrawan Leon Agusta juga menilai bahwa kehadiran UP PKJ TIM yang mengambil alih pengelolaan dikarenakan selama ini seniman tidak pernah difasilitasi bertemu dengan Gubernur DKI. Leon berpendapat, apabila pada awalnya Gubernur sudah berbicara dengan seniman, masalah pengalihan pengelolaan ini tidak akan pernah terjadi.
“Seandainya dari awal para seniman bisa bicara langsung dengan gubernur, semua kekacauan ini mungkin tidak akan terjadi. Penyebabnya utamanya itu, karena kita tidak terlibat langsung,” kata Leon kepada medcom.id.
Sedangkan pelukis Aisul Yanto berpendapat lain, kehadiran UP PKJ di TIM bukanlah sesuatu yang salah. Tapi, pengelolaan UP hanya cocok ditujukan kepada konsep Taman Budaya. Seperti halnya pada Taman Budaya Yogyakarta yang merupakan tempat pameran, pertunjukan, dan berbagai kegiatan seni. TBY merupakan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) pada Dinas Kebudayaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Sedangkan Aisul menilai, bahwa TIM berbeda konsepnya dengan Taman Buadaya ini.
“UPT itu tidak salah. Tapi, implementasi dari keputusan Kementerian Dalam Negeri jadi diturunkan ke Provnsi, tapi kan kemeneterian tidak spesifik seperti TIM. Tapi itu ke Taman Budaya seluruh Indonesia, bentuknya lain dengan TIM. Tidak akan cocok menurut seniman menurut saya sebetulnya, harus ada bentuk khusus gitu,” jelas Aisul.
Sementara itu, seniman tari Jecko Siompo mengatakan, hanya seniman yang bisa mengelola pusat kesenian dengan baik. Menurut dia, sosok seniman tidak bisa digantikan oleh siapapun. Maka dari itu, pengelola kesenian haruslah orang yang tahu atau paham dengan masalah kesenian. Hal ini dilakukan supaya kebutuhan seniman dapat terpenuhi dengan baik.
Jecko menyadari, saat ini yang menjadi pengelola TIM bukan orang dari kalangan seni dan dia tidak mempermasalahkan akan hal itu. Meskipun begitu, dia berharap orang tersebut dapat memenuhi kebutuhan para seniman yang akan mengadakan acara di TIM.
“Kalau saya sih enggak melihat pergantian ini segala macam. Tapi intinya dia harus tahu kebutuhan seniman itu seperti apa. Terakhir-terakhir saya dengar kan agak enggak masuk (ke kesenian) gitu. Nah jadi harapan saya, saya tidak tahu harus bicara seperti apa ya? Saya orang tari, saya dari segi kesenimanan saya benar-benar butuh orang yang betul-betul melihat kondisi seniman itu sendiri yang selama ini sudah beroperasi kegiatan kesenimanannya di TIM,” ujar Jecko.
UP PKJ TIM dan Kewajiban Pemerintah dalam Kesenian
Selama ini, anggaran kesenian yang diterima TIM berasal dari hibah APBD DKI. Dapat dikatakan, hibah akan diberikan kepada TIM apabila ada sisa APBD yang tidak teranggarkan. Selama ini, posisi anggaran kesenian dari Pemda ke TIM adalah menunggu adanya sisa-sisa anggaran tersebut. Hal inilah yang sebetunya memprihatinkan jika melihat bagaimana bila masa depan program kesenian di Jakarta, khususnya TIM mendatang. Pasalnya, selama ini anggaran program kesenian di TIM belum menjadi anggaran yang utama dalam APBD.
Munculnya Pergub 109/2014 yang didalamnya mengatur anggaran keuangan di TIM dianggarkan di APBD, adalah sesuatu yang patut perjuangkan. Meskipun, dalam aturan tersebut juga mengatur para pengelolanya yang bukan orang-orang seniman. Tapi, masuknya anggaran kesenian TIM ke APBD semacam menjadi titik cerah supaya anggaran kesenian bukan lagi hak, melainkan kewajiban pemerintah dalam mengucurkannya.
Berdasarkan Keputusan Gubernur DKI 891/2015 tentang Pemberian Hibah, Bantuan Sosial dan Bantuan Keuangan, program kesenian di DKI di tiap lembaganya paling maksimal mendapatkan hibah Rp5 miliar. Lembaga yang mendapatkan hibah Rp5 miliar antara lain DKJ, IKJ dan TIM. Sedangkan ada lembaga kesenian lan seperti Lembaga Helsthi Budaya Nusantara dan Lembaga Seni Qasidah Indonesa (LASQI) yang hanya mendapatkan sekitar Rp350-500 juta. Total hibah program kesenian yang dikucurkan melalui Dinas Pariwisata dan Kebudayaan ini sekitar totalnya hanya Rp22 miiar.
Bandingkan dengan hibah yang dikucurkan Dinas Olah Raga dan Pemuda yang mencapai Rp210.310. 000.000. Begitu timpangnya anggaran hibah antara program olah raga dan dan kesenian ini justru membuat masyarakat perlu mepertanyakankomitmen pemerintah beserta tanggungjawabnya terhadap kesenian. Padahal, begitu banyak seniman-seniman Indonesia yang bisa berprestasi di tingkat internasional, namun tidak terekspos. Untuk itu, anggaran kesenian yang terus berkelanjutan ini memang suatu hal yang sangat dibutuhkan dalam program kesenian.
Melihat adanya polemik yang menentang didirikannya UP PKJ TIM tersebut, nampaknya ada segi positif yang terlihat dalam aspek perbaikan anggaran kesenian. UP PKJ TIM menawarkan anggaran kesenian akan disediakan melalui APBD dan menutup penggunaan hibah. Supaya tercapai penganggaran program kesenian dalam APBD, terlebih dahulu yang harus diperbaiki adalah pada masalah manajemen keuangan di lembaga kesenian.
Sekjen Dewan Kesenian Jakarta Alex Sihar menjelaskan, pembenahan manajemen keuangan di dalam TIM haruslah mengikuti perkembangan good govenrnance yang ada. Dengan masuknya UP PKJ TIM dalam manajemen keuangan, diharapkan kesenian menjadi kewajiban pemerintah untuk dikembangkan. Karena selama ini, BP PKJ TIM hanya mendapatkan hibah dari pemerintah dan memang bukan dana yang dianggarkan untuk dipenuhi kebutuhannya. Dengan adanya UP PKJ TIM ini, diharapkan manajemen dalam pengelolaan TIM semakin membaik dan anggaran keseniannya dapat dianggarkan dalam APBD secara riil.
“Ini bukan masalah rugi, tapi ngawur. Logika hibah sebenarnya kami yang rugi, seniman yang rugi, kesenian yang rugi. Selalu dianggap sebagai fakir miskin, bukan dianggap sebagai tanggungjawab negara. Kami yang rugi,” kata Sekjen DKJ Alex Sihar kepada medcom.id.
Menurut Alex, perbaikan tata kelola manajemen keuangan di lembaga kesenian penting unuk mendapatkan anggaran yang keberlanjutan dari pemerintah. Nantinya, supaya lembaga kesenian seperti PKJ TIM selalu mendapatkan anggaran yang konstan. Jika sudah dianggarkan tetap di dalam APBD, pelaksanaan program-program kesenian juga akan terjamin.
Tidak hanya itu, dampak positif apabila nantinya program kesenian sudah dianggarkan dengan baik di APBD, UP PKJ TIM tidak perlu repot-repot mencari tambahan dana untuk menjalankan program-programnya. Karena semua kebutuhan akan lebih terjamin, dan tidak perlu melakukan sewa gedung atau aset di TIM lagi hanya untuk dapat menggaji karyawannya. Selanjutnya, nantinya yang UP PKJ TIM lakukan hanyalah membuat program yang bagus supaya dapat menarik minat masyarakat.
Tapi sayangnya, UP PKJ TIM belum dapat bekerja mandiri. Masih banyak program-programnya baik secara konsep dan teknis yang belum dapat menyesuaikan dengan kondisi di TIM. Sampai saat ini, serah terima kepengurusan antara BP PKJ TIM ke UP PKJ TIM belum terlaksana. Bahkan, struktur organisasi dan anggaran yang akan digunakan untuk menjalankan program juga masih belum jelas.
Menurut Alex, hal yang musti dilakukan sebelum serah terima pengelolaan tersebut adalah dilakuaknnya audit. Upaya ini perlu dilakukan supaya proses pergantian kepengurusan bisa berjalan lancar. Karena pada dasarnya, sesuatu yang akan diserahterimakan dalam kepengurusan ini tidak hanya organisasi, melainkan ada serah terima insftaruktur, sumber daya manusia dan keuangan. Untuk itu, audit yang seharusnya dipenuhi antara lain audit kepegawaian oleh Dinas Tenaga Kerja, audit Keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan audit aset oleh Badan Pengelola Aset Daerah (BPAD).
“Untuk dilakukan audit perlu SK Gubernur. Surat keputusan belum ada. Mana berani mau ngaudit nih. Kalau auditnya belum dilaksakanakan belum bisa dijalankan (serah terima pengelolaan) dong. Kawan-kawan sudah teriak sekian banyak orang di PHK. Diaudit juga belum,” imbuh Alex.
Sebelumnya, DKJ dan BP PKJ TIM sempat mewacanakan dan mengusahakan untuk membuat Perda yang mengatur tentang Pembinaan dan Pengembangan Kesenian. Langkah ini dianggap akan dapat menyelesaikan persoalan-persoalan yang menyangkut masalah kesenian. Menurut mereka, apabila Perda tentang Kesenian ini ada, masalah pengelolaan tempat kesenian dan seni di ruang publik akan ada landasan hukumnya. Mereka menyayangkan, selama ini belum ada payung hukum yang mengatur soal pembinaan dan pengebangan kesenian di DKI Jakarta.
Bambang sendiri sudah merancang draf Perda terkait pedoman dasar pembinaan dan pengembangan kesenian di DKI Jakarta sejak tahun 2012. Namun sampai saat ini realisasinya masih menuai hambatan. Meksipun begitu, Bambang sudah berhasil meng-goal kan Perda Retribusi di pusat kesenian dan mengurangi beban retribusi yang ada.
“Tahun 2012 sudah saya susun Perdanya. Sampai saat ini tidak ada Perda yang mengatur tentang pusat kebudayaan, pusat kesenian, adanya Perda retribusi saja,” ujar Bambang.
Sedangkan menurur Alex, dengan adanya Perda soal kesenian, maka stakehokder kesenian dengan pemerintah akan memiliki fungsi dan peran masing-masing dalam mengembangkan kesenian. Antara stakeholders seperti DKJ, PKJ, AJ (Akademi Jakarta), Swasta dan Pemerintah dapat saling bahu membahu bekerjasama ketika menjalankan program kesenian.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News