Suasana dan aktivitas pengunjung di dalam Perpustakaan Daerah Tulungagung, Jawa Timur. (ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko)
Suasana dan aktivitas pengunjung di dalam Perpustakaan Daerah Tulungagung, Jawa Timur. (ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko)

Pelarangan Buku dan Minat Baca Rendah

Medcom Files hari buku
Surya Perkasa • 23 Mei 2016 15:52
medcom.id, Jakarta: Buku adalah jendela ilmu pengetahuan. Secara kodrati manusia memiliki hasrat untuk mengetahui. Dalam arti sempit pengetahuan hanya dimiliki makhluk yang bernama manusia.
 
Berbeda dengan binatang, manusia tidak dapat hidup berdasarkan instingnya saja. Tuhan telah menganugerahkan akal bagi manusia agar mampu memperoleh pengetahuan yang diperlukan dalam hidupnya, bahkan juga mengembangkannya menjadi beraneka ragam pengetahuan.
 
Karena manusia hidup tidak hanya untuk makan semata atau mengisi perut saja. Namun, hidup itu penuh dengan persoalan yang harus diselesaikan. Itu alasannya, betapa pengetahuan amat penting bagi kehidupan manusia.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Bertepatan dengan peringatan Hari Buku Nasional pada 17 Mei, penting pula untuk menjadikannya momentum bagi masyarakat Indonesia mengevaluasi bagaimana perkembangan buku, termasuk kaitannya dengan budaya membaca dan menulis di Nusantara. Indonesia hingga saat ini masih termasuk dalam daftar 41 negara yang mendapat perhatian khusus Organisasi Pendidikan, Pengetahuan dan Kebudayaan Persatuan Bangsa-Bangsa (UNESCO). Hasil riset UNESCO yang diterbitkan awal tahun lalu menunjukkan Indonesia masih belum berhasil mencapai tingkat melek huruf universal (universal literacy).
 
Tingkat melek huruf universal tercapai bila sebuah negara berhasil menekan tingkat buta huruf hingga di bawah dua persen. Namun, tingkat buta huruf Indonesia masih berada di angka 5,97 juta jiwa pada akhir November 2015. UNESCO memproyeksikan masih ada 5,2 persen penduduk dewasa (15 tahun ke atas) yang masih buta huruf.
 
Sebenarnya kondisi tingkat literasi Indonesia terus meningkat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Begitu yang disampaikan oleh riset yang dilakukan UNESCO tersebut.
 
Pelarangan Buku dan Minat Baca Rendah
 
Program Wajib Belajar 9 tahun, yang kemudian dikembangkan menjadi Wajib Belajar 12 tahun pada Juni 2015, berhasil menekan tingkat buta huruf penduduk usia sekolah (15 tahun ke bawah) sekitar 0,3 persen pada tahun lalu.
 
Budaya membaca rendah
 
Tingkat melek huruf atau tingkat literasi bukan satu-satunya parameter penting. Minat membaca merupakan satu indikator penting yang tidak kalah pentingnya.
 
“Memang, budaya membaca buku Indonesia masih belum baik,” ungkap pendiri Freedom Institute Andi Rizal Mallarangeng kepada medcom.id, Minggu (22/6/2016).
 
Pelaksana tugas (Plt) Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) Dedi Junaedi menyebut teknologi memang mempengaruhi tren membaca di Indonesia. Walau tren membaca sudah bergeser dari buku ke media eloktronik, bukan berarti budaya membaca Indonesia berubah secara signifikan.
 
Miris bila mencermati minat membaca di Indonesia. Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2012 menyatakan hanya sekitar 17,6 persen masyarakat Indonesia yang membaca buku secara rutin. Sangat timpang bila dibandingkan 96,1 persen masyarakat yang secara rutin menonton televisi.
 
Secara umum, Dedi menyebut rasio tingkat membaca Indonesia memang sangat mengkhawatirkan. Lihat saja tingkat konsumsi surat kabar di Indonesia yang rendah. “Rasionya itu 1 berbanding 45. Idealnya itu 1 koran dibaca 10 orang,” ujar Dedi ketika berbincang dengan medcom.id, Jumat (20/5/2016).
 
UNESCO tahun 2015 mencatat indeks minat membaca buku Indonesia yang hanya 21 berbanding 1.000. Angka ini menunjukkan bahwa dari setiap 1.000 orang Indonesia, hanya sekitar 21 orang yang rutin membaca buku di luar buku pelajaran.
 
Jumlah rasio buku yang dibaca masyarakat Indonesia pun sangat jauh berbeda dengan negara-negara besar lain di Asia, Eropa dan Amerika. Di Amerika, setiap penduduk membaca sekitar 20-30 buku tiap tahunnya. Di Jepang setiap penduduk membaca setidaknya belasan buku tiap tahunnya.
 
Rata-rata penduduk di negara kawasan benua Asia, membaca 1 sampai 3 buku tiap tahunnya. Sedangkan di Indonesia tidak sampai 1 buku dibaca per kapita tiap tahunya.
 
“Di Indonesia, penulis kalau sudah bisa menjual 10.000 sampai 20.000 eksemplar bukunya sudah bisa dianggap pencapaian. Nah, kalau di Amerika itu 500 ribu sampai 1 juta eksemplar itu biasa,” pungkas Rizal yang juga sempat menjadi peneliti di CSIS.
 
Sangat disayangkan bila masyarakat lebih memilih menonton televisi ketimbang membaca buku, jurnal, atau surat kabar. Padahal banyak riset membuktikan membaca dapat memberi manfaat seperti meningkatkan fungsi otak, mengurangi resiko terkena penyakit alzheimer, hingga menekan tingkat stres.
 
Dua sisi koin
 
Budaya membaca dan budaya menulis merupakan dua hal yang tidak dipisahkan. Semakin tinggi budaya membaca, akan semakin tinggi pula budaya menulis. Begitu juga sebaliknya. Kedua hal tersebut ini akan meningkatkan pembentukan gagasan dan pengetahuan di masyarakat.
 
“Keduanya bagai dua sisi koin,” kata Rizal.
 
Pria yang pernah menjadi staf ahli Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Masyarakat (Menko Kesra) ini menyebut budaya menulis di Indonesia sudah semakin meningkat. Dapat dilihat dari semakin banyaknya penulis-penulis berbakat bermunculan. Baik untuk karya sastra maupun penelitian.
 
Semakin banyaknya judul-judul yang didaftarkan untuk mendapatkan nomor ISBN (International Standard Book Number) di Perpustakaan Nasional menjadi salah satu indikator. Penulis di Indonesia semakin menggeliat.
 
Jumlah buku-buku yang didaftarkan meningkat tajam jika dibandingkan lima tahun silam. Pada tahun 2015, tercatat 44.128 judul buku yang didaftarkan untuk mendapatkan ISBN. Sangat jauh melojak jika dibandingka pada tahun 2010 yang hanya 7.886 judul.
 
Pelarangan Buku dan Minat Baca Rendah
 
Secara statistik, jumlah judul yang diproduksi oleh penulis Indonesia masih kalah dengan negara lain yang budaya membacanya sudah baik.
 
Diperkirakan tiap tahunnya tak sampai 20.000 judul buku diterbitkan per tahun di Indonesia. Sebagian besar penjualan toko-toko buku pun lebih banyak dipenuhi buku untuk kebutuhan kurikulum sekolah dan buku anak.
 
Pelarangan Buku dan Minat Baca Rendah
 
Coba bandingkan dengan Jepang yang mencapai 40.000 judul buku per tahun. Atau bandingkan dengan India yang mencapai 60.000 judul dan China sekitar 140.000 judul buku per tahun.
 
Secara hitung-hitungan, judul buku yang diterbitkan Indonesia sama banyaknya dengan Malaysia dan Vietnam. Tapi jika dilihat dari tingkat penduduk, rasio produktivitas penulis dan penerbit Indonesia bisa dikatakan cukup rendah.
 
Kepala Pusat Jasa Perpustakaan dan Informasi Titiek Kismiyati menjelaskan bahwa jumlah ISBN ini tidak serta merta pula menunjukan jumlah ketersediaan bacaan bagi masyarakat. “Karena kadang buku yang didaftarkan penerbit ini tidak langsung dicetak dan didistribusikan,” papar Titiek saat berbincang dengan medcom.id, Jumat (20/5/2016).
 
Berdasarkan data yang dimiliki Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI), jumlah buku yang dijual tiap tahunnya hanya berkisar di angka 60-70 juta eksemplar. Tren penjualan buku pun tidak selalu meningkat.
 
Contohnya pada tahun 2013, jumlah penjualan eksemplar toko buku mencapai 69,76 juta. Namun pada tahun setelahnya penjualan justru menurun hingga 62,65 juta buku.
 
Jumlah buku untuk masyarakat Indonesia sangat hanya sekitar 4:1, atau setiap satu buku untuk dibaca 4 orang. Padahal idealnya, perbandingan rasio kapita per buku justru lebih banyak buku dibanding buku yang terjual.
 
Masalah dan solusi
 
Terbatasnya akses buku serta lambatnya budaya membaca dan menulis mengakar di Indonesia ini disebabkan oleh beberapa hal. Salah satunya adalah budaya membaca dan menulis di Indonesia yang tidak ditanamkan semenjak dini. Rizal dan Dedi menilai masyarakat Indonesia tidak dibudayakan membaca dan menulis semenjak kecil.
 
“Kalau sejak kecil sudah dipaksa membaca, bukan menonton, akhirya akan terbiasa. Setelah biasa dan semakin banyak, akhirnya tergelitik untuk menulis,” kata Rizal.
 
Dia menilai perlu ada keterlibatan pemerintah agar budaya membaca buku ini semakin berkembang di Indonesia. Hal ini tak jauh berbeda dengan apa yang disampaikan oleh Dedi. “Dulu kurikulum ‘memaksa’ kita untuk menulis lewat pelajaran mengarang. Tapi itu kan sempat hilang. Jadi akhirnya kita terbiasa menuangkan gagasan di dalam tulisan,” kata dia.
 
Hal ini pun dilakukan oleh komunitas pendidikan penulis asal Pontianak, Kalimatan Barat yang bernama Forum Indonesia Menulis (FIM). Komunitas yang diinisiasi oleh Fakhrul Ar-razi untuk berbagi ilmu menjadi penulis ini dimulai dengan komitmen membaca 1 buku dalam satu minggu.
 
Terbukti setelah 5 tahun terbentuk, sekitar 500 orang yang tergabung dalam FIM telah menelurkan 171 buku, dimana 71 diantaranya telah diterbitkan. “Kita sendiri berusaha membentuk bagaimana seseorang belajar sisi bisnis dalam menjadi penulis,” kata Fakhrul saat bertemu dengan medcom.id, Jumat (20/5/2016).
 
Kebiasaan membaca dan menulis masyarakat Indonesia sendiri sebenarnya dapat mulai terlihat. Entah buruk atau baik, pembaca dan penulis kerap mengikuti tren yang sedang terjadi. Saat sebuah novel fiksi meledak pamornya, penjualan buku sejenis meledak dan kemunculan buku bergenre sama menjamur.
 
Sebagian penulis dan penerbit memanfaatkan tren pasar yang sedang meningkat. Sebagian lagi tetap mempertahankan idealisme dan bertahan di genrenya tanpa terpengaruh pasar.
 
“Saat ada penilaian buku mata pelajaran di Kemendikbud, penerbit berbondong-bondong mendaftar buku pelajaran. Kalau menjelang ramadan, permohonan ISBN bertopik puasa dan doa meningkat,” beber Dedi.
 
Persoalan sulitnya membaca dan menulis menjadi budaya ini terkait juga dengan mahalnya biaya produksi dan pajak untuk literatur. Apalagi belum ada regulasi yang memastikan buku-buku ini dapat terjual murah ke seluruh lapisan.
 
Dedi menyebut biaya kertas masih mahal dan buku non-pelajaran masih diberikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Hal ini sangat disayangkan karena buku akan menjadi mahal dan akses masyarakat ke buku berkurang. Walau hal tersebut dapat dibantu oleh keberadaan perpustakaan.
 
“Tapi kan belum banyak filantropis yang mau menyumbangkan buku-buku di masa sekarang. Walaupun sebenarnya kita bersyukur keberadaan pustaka sendiri di Indonesia semakin banyak,” kata Rizal.
 
Selain itu masih banyak penulis yang belum dapat hidup dan berkembang dari hasil karyanya. “Selama ini berapa banyak sih yang bisa didapat penulis dari royalti? Tidak begitu banyak, karena rata-rata buku yang terjual itu paling hanya sekitar 1.000-10.000 eksemplar. Hanya beberapa yang bisa menjual jutaan eksemplar,” ujar Dedi panjang lebar.
 
Di beberapa negara memiliki skema tersendiri untuk mendorong penulis berkembang. Seperti bantuan dana dan penghargaan bagi penulis. Baik dilakukan oleh pemerintah, swasta atau pribadi.
 
Saat ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Pemerintah dan pemangku kepentingan lain tengah menggodok Rancangan Undang-Undang tentang Sistem Perbukuan. Ada beberapa hal yang akan menjadi perhatian.
 
Pertama, menegaskan hak dan kewajiban pemerintah, penerbit, penulis, pembaca (masyarakat) maupun pemangku kepentingan lain. Beberapa diantaranya terkait pajak bagi buku dan bahan bakunnya, royalti dan hak cipta, distribusi, serta hal lain. Terutama yang mempengaruhi harga yang terjangkau namun tetap memastikan penulis dan industri bertahan.
 
Kedua, diharapkan ada badan nasional yang mengurus perbukuan secara independen. Ketiga, diharapkan ada pembinaan dan pengembangan yang terus-menerus terhadap dunia perbukuan.
 
Keempat, pemerintah diharapkana melakukan penelitian mengenai minat baca masyarakat Indonesia. Sehingga upaya membudayakan membaca dan menulis bukan lain sekedar wacana.
 
Membentuk budaya ini memang bukan perkara mudah. Tapi bukan berarti membentuk budaya membaca dan menulis mustahil dilakukan. Perlahan-lahan, mari kita mencintai membaca dan menulis.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan