Petugas menanam rumput di atas tanah salah satu makam di Tempat Pemakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta. (MI/Ramdani)
Petugas menanam rumput di atas tanah salah satu makam di Tempat Pemakaman Umum Menteng Pulo, Jakarta. (MI/Ramdani)

Makam Fiktif dan Pungli

Medcom Files makam fiktif
Coki Lubis • 20 Juni 2016 17:14
medcom.id, Jakarta: Senin, 28 Maret 2016 pagi, Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, yang akrab disapa Ahok, tampak murka dalam sebuah rapat pimpinan di Balai Kota. Kemarahan Ahok kali ini dipicu oleh adanya tawar-menawar harga makam. Dokumentasi Rapim ini diunggah di akun resmi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di situs berbagi vidoe Youtube dengan judul "Laporan Pungutan Liar di Dinas Pertamanan & Pemakaman".
 
Pagi itu Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman DKI Ratna Diah Kurniati mengatakan pungutan liar (pungli) masih terjadi di sejumlah TPU di Jakarta. Menurutnya, pungli muncul karena proses perizinan yang diterapkan pemerintah masih terlalu rumit. "Itu kondisi yang memungkinkan munculnya calo," kata Ratna.
 
Tak puas dengan penjelasan Ratna, Ahok justru menilai praktik pungli ada karena pejabat terutama setiap Kepala TPU, melakukan pembiaran. Ahok pun mengeluarkan ponselnya, memosisikan mikrofon mejanya ke speaker ponsel. Setelah itu, dari ponsel itu ia menyetel rekaman suara pejabat TPU yang membicarakan rencana pembayaran lahan pemakaman secara tidak resmi.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
"Terserah Anda mau kasih berapa. Ya, bisa buat bayar cicilan mobil tiga bulan dan angsuran rumah dua bulan," ujar Ahok menirukan ucapan pejabat TPU dalam rekaman tersebut. Ahok jelas tidak mau kelakuan aparat pemerintah, apalagi statusnya Pegawai Negeri Sipil, di jajaran Pemprov DKI melakukan tindakan tidak terpuji semacam ini. Menurut dia, kualitas pimpinan merupakan penentu utama baik atau tidaknya kinerja organisasi. Pungli di TPU, terjadi karena ada Kepala TPU yang melakukannya dan seolah perilaku itu dibiarkan dengan tidak pernah ada sanksi pemecatan terhadap pelakunya.
 
Rekaman itu membuat Ahok berang lantaran membuktikan masih ada pejabat yang tidak jujur di lapangan. "Masalah sekarang adalah ada Kepala TPU yang bermain. Saya butuh Kepala TPU yang jujur, yang berani. Teorinya, kalau atasannya lurus, yang dibawah pasti tidak akan berani untuk tidak lurus," kata Ahok.
 
Ahok pun berujar kepada Ratna bahwa sudah sejak lama dan berkali-kali ia meminta masalah pungli dan makam fiktif ini mendapat perhatian sekaligus langkah nyata pemberantasannya. Namun, Ahok kecewa karena kenyataannya permainan kotor itu masih saja terjadi. Bahkan, terkesan dibiarkan.
 
"Ibu seperti melindungi, selalu bela, makanya saya marah. " kata Ahok.
 
Ratna mencoba membela diri. Ia mengaku telah memberi sanksi pemotongan Tunjangan Kinerja Daerah (TKD) juga merotasi Kepala TPU yang dinilai melakukan kecurangan. Namun, Ahok tak puas dengan cara itu. Ahok meminta Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) DKI Agus Suradika agar mempersiapkan proses pencopotan Kepala TPU yang terbukti pungli tadi. Bahkan, tak hanya dicopot jabatannya, Ahok juga meminta dipecat dari PNS.
 
Lebih dari itu, Ahok juga mengatakan Ratna merupakan salah satu pejabat eselon II yang akan dicopot jabatannya dalam perombakan pejabat Pemerintah Provinsi DKI.
 

Makam Fiktif
 
Selain soal rekaman pungli Kepala TPU, berita soal pemakaman di DKI Jakarta juga diramaikan dengan kabar adanya makam fiktif alias pembuatan makam tanpa ada jenazahnya. Ahok mengatakan ia telah mempunyai bukti-bukti soal makam fiktif. Diduga, makam fiktif ini dibuat untuk mengelabui sistem daring (online) atau pendataan lahan pemakaman Pemprov DKI. Tujuannya, bila ada jenazah masuk dapat diarahkan tanpa melalui alur resmi birokrasi pemakaman, dijual kembali dan luput dari pengawasan berdasarkan jumlah petak makam.
 
“Banyak makam di blok depan belum terisi tetapi sudah ada batu nisan,” kata Ahok. Lahan tersebut akan dijual bila ada yang berani bayar mahal. "Belum pasti itu ada isinya. Kalau ada yang nyogok (untuk memakamkan), itu ditaruh di depan," ucapnya.
 
Namun, ada beberapa Kepala TPU yang menyangkal dugaan Ahok. Salah satunya Kepala TPU Karet Bivak, Saiman, mengaku tidak mengetahui adanya makam fiktif di wilayah makam pengelolaannya. Ia pun mengatakan makam fiktif yang dituduhkan Ahok terlalu mengada-ada.
 
Baca: Kepala TPU Karet Bivak Akan Telusuri Dugaan Makam Fiktif
 
Modus ini tampaknya semakin membuat Ahok geram dan mengungkapkan rencananya untuk “cuci gudang” di Distankam, mencopot PNS bahkan pejabat-pejabatnya yang terlibat dalam permainan makam ini.
 
Benar saja, Jumat, 17 juni 2016 pagi, Ratna Diah Kurniati resmi dicopot dari jabatannya. Posisi Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman yang baru diisi oleh Djafar Muhlisin, yang sebelumnya adalah Kepala Suku Dinas Kebersihan Jakarta Barat.
 
Cemas
 
Dua hari sebelum pencopotan Ratna dari Kepala Dinas Pertamanan dan Pemakaman, tim medcom.id sempat sambangi sejumlah makam di Jakarta. Pada Jumat 10 Juni 2016, kabar bahwa Ahok bakal merombak pejabat Distamkam DKI menjadi salah satu isu utama pemberitaan.
 
Berangkat dari sini, penelusuran pun dilakukamn untuk mengecek apakah memang ada permainan curang terkait makam fiktif dan pungli di lingkungan TPU. Pada Rabu 15 Juni 2016, tim medcom.id mendatangi TPU Pondok Kelapa, Jakarta Timur.
 
Di siang yang cerah itu tak ada kegiatan pemakaman, tak terlihat pula para penggali makam, yang ada hanya petugas kebersihan yang sedang menyapu area pemakaman. Sementara di kantor TPU hanya ada seorang staf di meja depan kantor dan dua orang staf yang masing-masing sedang melayani warga. Tampak pula sebuah spanduk besar berwarna kuning bernada menolak calo.
 
Masuk ke dalam ruangan kantor, kami mendekat ke seorang staf di meja depan, yang kami perkirakan meja tersebut adalah meja layanan informasi. Saat kami memperkenalan diri, tanpa balik memperkenalkan diri, petugas itu langsung bertanya alasan kami mendatanginya. Kami pun bertanya perihal pengurusan pemakaman, dan pilihan kami adalah pemakaman blok Agama Islam.
 
Petugas tersebut langsung menjelaskan bahwa untuk blok pemakaman Agama Islam sudah penuh. Ia menyarankan agar menggunakan pemakaman tumpang atau dimakamkan di atas makam lainnya. "Lebih baik lagi bila ada makam keluarga di sini, kalau dizinkan keluarga, bisa (dimakamkan) tumpang, biayanya sesuai retribusi yang ditetapkan," ucapnya.
 
Selanjutnya kami coba meyakinkan kembali petugas itu apakah benar sudah tidak ada lahan untuk pemakaman baru, dengan alasan kami menginginkan pemakaman baru, bukan tumpang. Tampak ragu, petugas itu kemudian menanyakan ke petugas lain soal ada atau tidaknya petak kosong untuk pemakaman baru.
 
Petugas yang ditanya itupun mengatakan, "Penuh, tidak ada," sambil berjalan dan melihat ke arah kami. Tak lama, kami disarankan untuk ke TPU Pondok Rangon, yang mereka perkirakan masih ada petak untuk pemakaman baru.
 
Setelah dari TPU Pondok Kelapa, kami sambangi TPU Menteng Pulo, Jakarta Selatan. Seorang staf bernama Amir menyambut kami di kantor TPU. Kami ditawarkan pemakaman tumpang, alasannya, di TPU Menteng Pulo sudah penuh untuk pemakaman Islam. Yang ditumpangi adalah makam yang sudah kedaluwarsa, alias sudah tidak dikunjungi keluarganya atau belum membayar retribusi tiga tahunan.
 
"Soal biaya sekarang sudah tidak ada, nol persen istilahnya. Paling kalau mau kasih ya ke tukang galinya saja, seikhlasnya. Retribusinya sendiri paling mahal seratus ribu, itu dibayar melalui Bank DKI dan buktinya diberikan ke Kelurahan agar ada surat pengantar kesini," ucap Amir.
 
Amir pun menawarkan kami untuk melihat lokasi makam, dan ia mendelegasikannya ke petugas keamanan bernama Yuliardi untuk mengantar kami. Namun, informasi baru kami terima dari Yuliardi bahwa ternyata makam yang dapat ditumpang tidak ada. Yang ada justru petak kosong untuk pemakaman baru.
 
Kami pun diantar ke lokasi untuk pemakaman baru itu oleh Yuliardi. Sepanjang perjalanan, kami berbincang dan ia mengatakan agar sebaiknya memberi uang kepada penggali. Besarannya, umumnya Rp 100ribu per-orang, untuk enam orang penggali.
 
"Sebaiknya tukang gali dikasih. Kasihan, mereka kan lelah. Ya, kalau kita ikuti Pak Ahok, kasihan mereka, tidak ada uang makan hariannya," kata Yuliardi.
 
Soal gaji, kata Yuliardi, kurang bisa diharapkan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Alasannya, gaji bulanan dirasa kurang mencukupi dan tidak sebanding dengan lelahnya. Yuliardi mengungkapkan, di TPU Menteng Pulo rata-rata sehari ada dua atau tiga prosesi pemakaman.
 
Pada kesempatan itu Yuliardi juga mengaku bahwa sebelum kebijakan retribusi pemakaman dipertegas oleh Ahok, biaya pemakaman itu seharga tiga sampai empat juta rupiah. "Tapi kalau sekarang sudah dikasih harga pasti, sudah tidak berani kita, takut dipecat," katanya.
 
Ia juga mengatakan uang tambahan yang diberikan kepada penggali itu juga difungsikan untuk operasional TPU, seperti bensin untuk mesin pemotong rumput atau pisau rumput yang rusak dan perlu diganti. "Sebenarnya sudah ada (anggarannya), tapi kita buat jaga-jaga saja," katanya.
 
Setibanya di lokasi lahan kosong, tampak tiga orang penggali makam tampak kelelahan sedang membereskan lebih dari tujuh buah makam yang semuanya terlihat masih baru, dengan jarak yang saling berdekatan. Bentuknya masih tanah merah, terpasang nisan kayu, bentuk tulisan di nisan hampir mirip semua, namun ada juga yang tanpa tulisan. Lucunya, kesemua makam itu tidak ada taburan bunga selayaknya makam yang baru saja selesai prosesi.
 
Saat kami bertanya apakah ini makam baru? Mereka pun serentak mengiyakan. “Ya, ini kuburan baru semua, baru saja ada pemakaman,” kata Bang Dul, koordinator penggali makam di TPU Menteng Pulo yang saat itu ada ditengah para penggali makam.
 
Kami pun teringat ucapan Yuliardi sebelumnya yang mengatakan bahwa rata-rata per-hari ada dua prosesi pemakaman di TPU Menteng Pulo, bahkan kadang tidak ada pemakaman. Artinya, hari itu tampak istimewa, ada lebih dari tujuh pemakaman saling bersebelahan.
 
Sementara disekitarnya masih ada lahan kosong yang cukup luas, perkiraan kami masih bisa digunakan sekitar sepuluh petak makam lagi, bahkan lebih.
 
Pungli
 
Bila petugas TPU Menteng Pulo ungkapkan ketakutannya untuk "main belakang", beda hal dengan TPU Kemiri Rawamangun, Jakarta Timur, yang petugasnya lebih berani buka-bukaan. Saat kami menyambanginya, kali ini kami tidak langsung ke kantor TPU, melainkan langsung menghampiri sejumlah pria di area pemakaman. Kami disambut oleh seorang yang mengaku koordinator penggali makam dan mulai berbincang soal pemakaman baru.
 
Sayangnya, kondisi makam penuh, tak ada lagi petak kosong untuk pemakaman baru di TPU Rawamangun ini. Namun, bila ingin makam tumpang, pria yang disapa Bang Pri ini mengaku bisa melayani jenazah tanpa melalui ruwetnya birokrasi pemakaman.
 
"Kami tidak mungkin menolak kalau ada jenazah yang mau masuk. Kalau misalnya mau, bisa lewat kami. Tidak lewat dalam. Nanti kami cari yang bisa ditumpang. Yang penting syarat-syarat administrasi lengkap," kata Bang Pri. Syarat administrasi yang dimaksud adalah surat kematian dari Rumah Sakit atau lingkungan (RT/RW).
 
Dalam perbincangan ini Bang Pri pun tak segan menyebut biayanya, yakni Rp 2,5juta untuk satu jenazah.
 
Ya, inilah potret situasi TPU di DKI Jakarta, dua hari sebelum Kepala Dinasnya dicopot Ahok. Ada kecemasan soal cuci gudang pejabat pemakaman, ada petugas yang khawatir soal berkurangnya penghasilan, ada pula yang masih berani "main belakang".

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan