BATAN Yogyakarta menguji kesiapan Thorium hasil pengolahan limbah penambangan timah sebagai sumber energi alternatif untuk bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). (ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah)
BATAN Yogyakarta menguji kesiapan Thorium hasil pengolahan limbah penambangan timah sebagai sumber energi alternatif untuk bahan bakar Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). (ANTARA FOTO/Hendra Nurdiyansyah)

Demi Produksi Energi yang Lebih Greget

Medcom Files krisis energi
Surya Perkasa • 23 Januari 2017 14:09
medcom.id, Jakarta: Harga listrik naik lagi. Listrik di beberapa daerah masih jadi barang mewah. Bagi sebagian masyarakat listrik hidup-mati juga sudah biasa. Bahkan masih ada yang belum bisa menikmati terangnya lampu pijar seperti orang di kota-kota.
 
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mencatat jumlah rumah tangga yang menikmati listrik di Indonesia baru 91,16%. Jika dikalikan jumlah penduduk, sekitar 22,5 juta warga Indonesia di pelosok belum merasakan listrik.
 
Itu dari sisi akses. Jumlah pasokan listrik berbanding dengan jumlah penduduk juga tak bisa dibilang tinggi. Secara angka dapat dilihat lewat tingkat konsumsi listrik perkepala nasional yang masih berada di kisaran 800-900 kWH dalam beberapa tahun belakangan. Bandingkan dengan konsumsi listrik perkapita Malaysia menurut Bank Dunia yang sudah mencapai 4.512 kilowatt per hour (kwh) pada 2013, Thailand (2.471 kwh), dan Vietnam (1.306 kwh).

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Memang tak mudah bila bicara soal energi listrik walau campur tangan negara sangat nyata. Bijak pandai para pembuat kebijakan dan pemangku kepentingan berperan besar. “Kebijakan energi nasional itu tidak bisa berpikir jangka pendek. Kebijakan energi itu harus bisa melihat 30-40 tahun ke depan,” ujar pakar energi Kurtubi kepada medcom.id di ruangan kerjanya, Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (18/1/2017).
 
Perusahaan Listrik Negara (PLN) sebagai pemasok energi utama untuk rakyat tak bisa dibilang tidak bekerja serius. Mereka mampu terus meningkatkan jumlah pasokan listrik dari pembangkit tahun ke tahun paling sedikit seribu megawatt (MW). Pada tahun 2015 PLN mampu memasok 202 ribu gigawatt per hour (gwh) dan biasanya akan terus tumbuh antara 6-8% tiap tahun.
 
Tapi, pertumbuhan produksi energi nasional masih “kurang greget”. Indonesia yang tengah tumbuh dan berkembang masih membutuhkan pasokan energi yang tidak sedikit. Untuk mengimbangi konsumsi perkapita Malaysia saja, produksi Indonesia masih kekurangan 200 ribu MW.
 
PLN sebagai perusahaan listrik plat merah nasional juga masih membutuhkan sewa hingga membeli listrik dari pihak ketiga. Dari data terakhir PLN pada 2016, total tenaga listrik yang dibeli dan disewa melebihi 77 ribu gwh.
 
Harga biaya produksi listrik di beberapa daerah juga tergolong masih tinggi, sekitar Rp2.500-Rp3.000 per kwh. Padahal masyarakat hanya membayar Rp1.472,72 per kwh. Listrik masih mahal, padahal sangat berpengaruh ke ekonomi.
 
“Ini belum lagi soal ancaman ketersediaan bahan bakar untuk pembangkit yang terancam semakin menipis. Batubara misalnya, cadangannya diperkirakan habis dalam 43 tahun lagi,” ujar Kurtubi yang kini duduk di Komisi VII DPR.
 
Kurtubi menyebut, Indonesia harus terus membangun pembangkit untuk memenuhi kebutuhan industri dan masyarakat yang semakin “haus” dengan energi. Pertanyaan besar yang harus dijawab, dari mana asalnya?
 
Melirik energi baru
 
Kebijakan energi tidak boleh hanya menggunakan kacamata kuda, karena potensi Indonesia untuk memiliki sumber energi lain sangat besar. Teknologi yang terus berkembang juga semakin memungkinkan Indonesia mencari sumber energi baru.
 
Panas matahari, arus air, arus ombak, panas bumi, hembusan angin. Beberapa jenis energi baru dan terbarukan (EBT) tersebut sangat potensial dikelola menjadi sumber listrik. “Barang baru” bagi sektor energi ini pun secara perlahan semakin banyak dipakai.
 
Wakil Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Arcandra Thahar menyebut EBT sudah masuk Rencanan Umum Energi Nasion (RUEN). EBT ditargetkan memberi kontribusi 23% bagi energi nasional pada tahun 2025.
 
Saat ini, baru tenaga air yang telah memberikan kontribusi besar bagi listrik nasional. “Berpotensi besar itu air. Sementara lain seperti tenaga surya, bayu dan beberapa energi lain ada tapi tidak besar,” kata Arcandra saat berbincang dengan medcom.id, Jumat (20/1/2017).
 
Dari 33.794 MW daya terpasang secara nasional, 3.474 MW berasal pembangkit listrik tenaga air (PLTA) jenis hydro. Pembangkit listrik jenis minihydro dan microhydro juga memberikan sumbangan 48 MW.
 
Panas bumi menjadi potensi besar EBT Indonesia yang lain. Saat ini panas bumi (geothermal) masih belum banyak dimanfaatkan. Walau sudah mampu memberi kontribusi 575 MW, masih belum bisa dibilang besar. Padahal Indonesia sebagai negeri cincin api memiliki banyak potensi panas bumi.
 
Matahari, ombak, dan angin juga menjadi beberapa jenis EBT yang saat ini masih belum secara besar-besaran dipakai. Tapi, tegas Arcandra, belum masif bukan berarti tak bermanfaat.
 
“Di beberapa daerah biaya pokok produksinya masih besar karena menggunakan diesel. Kalau bisa EBT masuk ke sana, walau tidak besar, bisa menekan biaya,” katanya.
 
Teknologi, akses, dan sentimen
 
Kurtubi sementara itu megakui, masih banyak kendala yang ditemui dalam membangun pembangkit listrik dengan EBT. Kendala teknologi, ketersedian sumber energi dan akses yang tidak merata, serta sentimen masyarakat dan pembuat kebijakan.
 
Secara teknologi contohnya, Indonesia masih belum dapat dikatakan sebagai barisan terdepan pengembangan teknologi EBT. Dari beberapa model teknologi yang tertinggal dari negara lain, hingga riset yang masih tidak terlalu diperhatikan bisa menjadi contoh.
 
“Mendorong konservasi energi dan penguasaan teknologi dalam bidang pembangunan energi nasional” memang telah menjadi salah satu poin utama dalam RUEN. Tapi Indonesia juga tak bisa dibandingkan dengan negara India dan Tiongkok yang tengah mengembangkan pembangkit listrik tenaga nuklir Generasi IV berbahan bakar torium.
 
Secara ketersediaan sumber daya, Indonesia juga tidak bisa mengembangkan beberapa jenis EBT berskala besar. “Contohnya tenaga surya. Matahari di negara kita itu tidak pernah bersinar 12 jam tiap hari sepanjang tahun,” kata Kurtubi.
 
Panas bumi menjadi contoh lain. Kurtubi menyebut pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) belum banyak dibangun karena kendala akses dan infrastruktur menuju lokasi yang bisa digunakan. Ini menjadi sebuah hambatan yang cukup besar karena jelas akan memakan biaya yang tidak sedikit.
 
Teknologi dan akses sumber daya in akan sangat mempengaruhi harga biaya produksi. Biaya pokok produksi dan investasi awal yang terlalu tinggi akan membuat EBT akan sulit dianggap serius.
 
“Biaya produksi nasional rata-rata kita itu sekitar Rp1.300/kWH. PLTS (pembangkit listrik tenaga surya-red) di Papua itu biaya produksinya sekitar Rp3.000/kWH,” ungkap Kurtubi
 
Walau masih mahal, Arcandra menyebut EBT di beberapa daerah justru dapat lebih murah dibanding PLTU yang menggunakan energi fosil. Jadi EBT masih dapat memberikan kontribusi yang tidak sedikit. Secara ekonomi atau menjaga sumber daya fosil yang menipis.
 
“EBT itu bisa masuk dengan harga 80-90%, lebih rendah dibandingkan dari BPP PLTD. Secara pelan-pelan bisa mengurangi penggunaan diesel fuel, di tempat-tempat yang EBT bisa masuk,” ujar Arcandra.
 
Sentimen masyarakat dan pembuat kebijakan juga memberikan pengaruh yang tidak sedikit dalam mendorong penggunaan EBT. Berkaca ke Amerika bukan sesuatu yang buruk.
 
Pembangkit listrik EBT di Amerika Serikat sangat berkembang dalam delapan tahun belakangan. Sentimen pemerintahan Barrack Obama yang berasal dari Demokrat menjadi salah satu alasan. Demokrat yang pro-gerakan lingkungan dan menjaga sumber daya dalam negeri memilih beralih ke EBT.
 
Namun, Kurtubi menilai dengan naiknya Donald Trump sebagai presiden AS yang diusung Partai Republik akan membuat negara Paman Sam menjauh dari EBT dan kembali ke energi fosil. Salah satu indikasinya lewat pengangkatan mantan gubernur Texas Rick Perry jadi Menteri Energi AS.
 
“Perlu diingat, Texas merupakan pusat energi AS. Terutama minyak dan gas,” kata Kurtubi.
 
Meski begitu, peralihan kebijakan ini membuat AS tidak terpengaruh. Beda halnya dengan Indonesia yang masih “muda” dalam pembangunan industri EBT. Selain kendala teknis di teknologi dan akses, pemerintah belum terlalu fokus mengembangkan EBT.
 
Selain itu, masyarakat Indonesia juga masih belum trauma dengan isu nuklir. Potensi besar energi nuklir yang mampu meningkatkan produksi listrik nasional tergeser penolakan masyarakat. Walau sentimen ini mulai berkurang, bukan berarti menghilang.
 
“Apalagi pemerintah menyatakan ‘nuklir pilihan terakhir’ dalam RUEN,” ucap Kurtubi menyayangkan.
 
Pihak pemerintah sendiri mengaku tidak bisa berbuat banyak karena nuklir sudah disepakati dewan energi nasional sebagai opsi terakhir energi nasional. “Karena RUEN sudah mengatakan itu last resort, kita harus patuhi itu. Nah itu menjadi tugas kita menjadi bentuk energi lainnya. Ada, dan ini tengah kita evaluasi kebijakannya,” kata Arcandra.
 
Walau menjadi jalan terakhir dalam memenuhi kebutuhan energi nasional, nuklir tak sepenuhnya ditinggalkan. Kebijakan Energi Nasional, diterjemahkan dalam RUEN mengarahkan beberapa poin pengembangan nuklir sebagai bagian dari EBT.
 
Poin pertama yaitu membangun reaktor daya riset dan laboratorium reaktor sebagai tempat untuk pendidikan ahli nuklir, serta memberikan dukungan ke riset-riset terkait nuklir supaya apa yang sudah dikuasai tidak hilang dan dapat dipertahankan. Poin kedua, mendorong kerja sama internasional agar selalu termutakhirkan dengan kemajuan teknologi.
 
Semua harus diterima
 
Tantangan yang dihadapi Indonesia untuk mengembangkan energi baru terbarukan sekaligus menjaga produksi listrik dari energi fosil tidaklah kecil. Namun dua jenis sumber energi ini disepakati tidak boleh dipertentangkan.
 
“Jangan dipertentangkan EBT dengan energi fosil. Karena kebutuhan masih banyak. Dia harus jalan beiringan,” tegas Arcandra.
 
Hal senada juga disampaikan Kurtubi. Penolakan ke investasi dari beberapa negara atau ke sektor tertentu seharusnya tidak dilakukan. Sebab, kata Kurtubi, Indonesia tengah membutuhkan stimulasi yang tidak sedikit untuk memenuhi kebutuhan nasional.
 
“Jangan ditolak! Siapa yang mau masuk investasi, silahkan. Kita mau berinvestasi dimana, juga tidak masalah. Saat ini kita tidak sedikit membutuhkan energi untuk lepas dari status negara berkembang. Apalagi kalau berpikir 30-40 tahun ke depan,” pungkas Kurtubi.
 
Tidak ada energi yang merusak lingkungan atau energi yang menguras sumber daya. Tidak ada pula energi usang atau energi baru. Yang harus dipikirkan saat ini adalah memberikan kesejahteraan energi bagi seluruh masyarakat Indonesia secara adil dan merata.
 
Buka mata, buka hati, untuk segala sumber energi.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan