Warga korban penggusuran dan penyerobotan lahan oleh oknum pengusaha mendesak pihak pengadilan agar segera menangkap para mafia tanah. (FOTO ANTARA/Basrul Haq/)
Warga korban penggusuran dan penyerobotan lahan oleh oknum pengusaha mendesak pihak pengadilan agar segera menangkap para mafia tanah. (FOTO ANTARA/Basrul Haq/)

Syahwat Besar Mafia Tanah

Medcom Files pertanahan
Coki Lubis • 30 Mei 2016 17:49
medcom.id, Jakarta: Keterbatasan lahan hingga tidak terkontrolnya kenaikan harga tanah menjadi persoalan mendasar yang cukup senyap. Padahal, persoalan tanah dinilai sebagai hambatan utama pembangunan infrastruktur dan investasi yang menjadi prioritas pemerintahan saat ini. Selain itu, lahan yang semakin sempit juga akan menjadi masalah pelik saat dipertemukan dengan gelombang pertambahan jumlah penduduk. Sementara masih ada konglomerasi tanah yang senang mengakali pembatasan tanah yang diatur dalam UU Pokok Agraria, bukan untuk kepentingan umum.
 
Melihat kondisi ini, pakar pertanahan Bernhard Limbong menegaskan pentingnya rencana tata ruang dan wilayah atau masterplan pembangunan jangka panjang dan lembaga khusus yang menyiapkan lahan untuk implementasinya. Tanpa itu, terlebih tanpa regulasi yang ketat, boleh jadi Indonesia akan terpuruk dalam krisis lahan, yang mungkin berdampak pada krisis pangan, krisis perumahan rakyat, tidak terpenuhinya kebutuhan infrastruktur, fasilitas umum dan lain-lain yang memerlukan lahan.
 
Bank tanah, yang sempat diwacanakan sejak lama, menurut Bernhard bisa diandalkan sebagai jalan keluar.
"Kita perlu penghimpun tanah, pengaman, pengendali penguasaan tanah, pengelola, penilai hingga penyalur, dalam satu bank tanah," ucap Doktor Hukum Pertanahan Universitas Padjajaran itu kepada medcom.id, Rabu (25/5/2016).

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Urgensi Bank Tanah Bank Tanah sebenarnya bukan wacana baru. Konsep ini sudah diterapkan di berbagai negara sejak lama, di antaranya Prancis, Swedia, Belanda termasuk Amerika Serikat. Di Indonesia sendiri, sejak 1980-an wacana ini sudah muncul, namun hingga kini belum terealisasi.
 
Secara prinsip, konsepnya tidak jauh berbeda dengan bank konvensional. Bila bank konvensional menghimpun dana dari masyarakat dan mengembalikan kembali kepada masyarakat yang membutuhkan dana melalui penjualan jasa keuangan. Begitupula bank tanah, menghimpun tanah dari masyarakat terutama yang ditelantarkan dan tanah negara yang belum digunakan. Selanjutnya, tanah yang dihimpun tersebut dikembangkan dan didistribusikan kembali sesuai rencana penggunaan tanah.
 
"Jadi, pemerintah pusat, daerah, lembaga, swasta ataupun individu yang membutuhkan lahan, cukup datang ke bank tanah, maka akan diarahkan sesuai peruntukan atau rencana infrastruktur, termasuk pembangunan pemukiman atau perumahan untuk rakyat," ujar Bernhard yang juga penulis buku Bank Tanah diterbitkan pada 2012 silam.
 
Perencanaan tata ruang dan tata guna lahan, lanjutnya, sebagai panglima pemanfaatan lahannya. Dengan begitu, distribusi ruang dan tanah melalui bank tanah dapat terjadi untuk mencapai sasaran negara dalam pemerataan kemakmuran.
 
Untuk masyarakat umum, bila ingin menjual tanah pun tak perlu mencari-cari pembelinya lagi. Menurut Bernhard, masyarakat atau pemilik tanah dapat menjualnya ke bank tanah. Sama halnya bila ingin membeli, bisa ke Bank Tanah.
 
Bedanya dengan konsep land banking yang biasa diterapkan pengembang-pengembang swasta, sambung Bernhard, bank tanah dan regulasinya nanti tidak bermotif profitabilitas. "Malah nantinya pengembang swasta harus membeli lahan atau tanah untuk keperluan bisnisnya melalui bank tanah, tujuannya agar terarah dan tidak merugikan berbagai pihak atau kepentingan umum," ucapnya.
 
Pembebasan lahan
 
Urusan pembebasan lahan untuk infrastruktur kerap menjadi masalah meski sudah ada regulasi-regulasi baru yang mengaturnya. Rata-rata, hambatannya ada pada spekulasi tentang harga. Nantinya, dengan mengacu pada masterplan pembangunan, bank tanah sudah mulai menyiapkan pengadaan lahannya. "Satu pintu, bank tanah lah yang akan menyiapkannya jauh sebelum proyek-proyek dimulai, agar harganya tertib dan tidak menjadi beban pemerintah," ucap Bernhard.
 
Bila dalam proses pembebasan lahan pemilik tanah enggan menjualnya, melalui bank tanah pemilik bisa menyewakannya atau di ganti dengan skema pemberian saham atau kesepakan kontrak bagi hasil, tentunya tidak perlu anggaran ganti rugi.
 
Hal senada diungkapkan Anggota Komisi V DPR RI, Nizar Zahro, yang mengatakan perlunya dibentuk Badan Layanan Usaha (BLU) semacam bank tanah. Diakuinya, pembangunan kerap terbentur masalah pembebasan lahan yang mengakibatkan pembangunan molor.
 
"Skemanya selalu perencanaan, lelang, bebaskan lahan, bangun. Padahal seharusnya perencanaan, bebaskan lahan, lelang, bangun," ucap Nizar kepada medcom.id, Kamis (26/5/2016) lalu di Gedung DPR, Jakarta.
Ia menambahkan, seharusnya konsep ini bisa memberi keuntungan untuk negara dan dapat memperbaiki manajemen aset negara.
 
"Ini (BLU/Bank Tanah) juga menekan mafia tanah yang berlomba mengumpulkan tanah dengan negara kalau ada proyek pembangunan," tutur Nizar.
 
Pangkas mafia tanah
 
Keberadaan bank tanah ditengarai bakal efektif mematikan peran makelar tanah. Istilah makelar merupakan penghalusan, sengaja digunakan untuk tidak menyebut mafia. Namun, menurut Berhard, sebutan mafia tanah pun sebenarnya masih kurang pas untuk disematkan kepada para pihak yang punya syahwat besar dalam penguasaan lahan.
 
"Bila ada bahasa yang pas untuk menerangkan tentang lebih mafia dari mafia, itulah kira-kira sosok yang mendominasi persoalan-persoalan pertanahan di Indonesia. Mungkin bisa disebut konglomerasi tanah," kata Bernhard.
 
Pasalnya, ekspansi dan penguasaan lahan besar-besaran yang dilakukan beberapa pengembang dan pemilik modal lainnya masih tampak jelas di mata. Penataan ruang dan wilayah oleh negara belum memperlihatkan taringnya.
 
Pemerintah harus berpikir bahwa dengan dikuasainya lahan oleh pengembang, harganya bakal melonjak tak wajar. Kalau sudah demikian, sambung Bernhard, harapan mengatasi ketimpangan perumahan rakyat sulit terwujud.
 
"Diharapkan konsep bank tanah dapat mencegah ekspansi pengembang dalam menguasai lahan secara besar-besaran," katanya.
 
Lain lagi soal pembangunan dan infrastruktur, kasus yang sering ditemukan dalam pembebasan tanah adalah calo dan spekulan. Ketika ada informasi tentang rencana proyek infrastruktur di lokasi tertentu, calo dan spekulan tanah kerap membelinya jauh-jauh hari.
 
Taksiran harga tanah berdasarkan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) sebagai ukuran normatif tanah kerap dinegasikan, bahkan tak berlaku. Yang berlaku kini adalah harga pasar yang dihasilkan dari persaingan yang tidak sempurna.
 
"Taksiran harga tanah bisa melonjak jauh dari yang semula direncanakan oleh pemilik proyek, yaitu pemerintah, baik yang didanai APBN atau APBD maupun swasta yang menjadi mitra kerjasama. Pemilik tanah menuntut nilai ganti rugi yang sangat tinggi, sesuai pasar yang terbentuk, sehingga proses pembangunan terkendala," kata Bernhard.
 
Yang lebih merugikan lagi, lanjutnya, bila proyek itu berjalan bertahap. Pada pengerjaan proyek tahap kedua, harga tanah yang akan dibebaskan bisa lebih tinggi dari tahap pertama, dan begitu seterusnya.
Konsep bank tanah diklaim dapat mengurangi bahkan memberantas persoalan mafia atau calo tanah dalam pembebasan lahan. Alasannya, bila ada bank tanah, maka semua urusan jual beli ataupun sewa tanah ada dalam pengelolaan bank tanah.
 
"Dengan begitu, bank tanah juga berfungsi sebagai pengendali harga tanah di Indonesia," ujar Bernhard.
 
Masalah baru
 
Bank tanah yang diwacanakan sebagai solusi pengelolaan lahan dan pengendali pasar tanah bukan berarti tidak memiliki kelemahan. Bila salah terap bank tanah bisa menjadi masalah baru akibat kekuasaan pengelolaan tanah yang dimiliki.
 
Menurut Bernhard, bank tanah bisa beresiko menjadi masalah baru dalam pertanahan di Indonesia, bila tidak ada kemauan politik soal reformasi agraria.
 
"Political will dan political action, seperti regulasi yang ketat, ini mutlak dibutuhkan. Juga terkait sumber daya manusianya, harus profesional," kata Bernhard. Tanpa itu, lanjutnya, bank tanah akan menjadi mafia baru dalam pertanahan di Indonesia.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan