Inti nuklir berwarna biru. Kawasan Nuklir Serpong merupakan kawasan pusat Litbangyasa iptek nuklir yang dibangun dengan tujuan untuk mendukung usaha pengembangan industri nuklir dan persiapan pembangunan serta pengoperasian PLTN di Indonesia. (MI/Susanto)
Inti nuklir berwarna biru. Kawasan Nuklir Serpong merupakan kawasan pusat Litbangyasa iptek nuklir yang dibangun dengan tujuan untuk mendukung usaha pengembangan industri nuklir dan persiapan pembangunan serta pengoperasian PLTN di Indonesia. (MI/Susanto)

Inovasi di Lorong Sunyi

Medcom Files krisis energi
Sobih AW Adnan • 23 Januari 2017 14:46
medcom.id, Jakarta: Pepatah bilang, orang mau seribu daya, bukan seribu dalih. Ketika persaingan global menantang negara-negara memacu inovasi energi dan teknologi, di negeri ini, peneliti justru serupa barang langka. Mereka bak berjalan di lorong-lorong sunyi.
 
Mengutip data dari Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan Peneliti (Pusbindiklat) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) per Oktober 2016, jumlah peneliti di Indonesia cuma 9.537 orang. Dalam tradisi penelitian, jumlah itu hanya setara dengan rasio 40 peneliti per sejuta penduduk.
 
Jika menengok beberapa negara lain, kebanyakan dari mereka sudah mampu mengidealkan dirinya dengan jumlah di atas 200 peneliti per sejuta penduduk. Sebut saja, Brazil memiliki 700 peneliti per sejuta penduduk. Terlebih Rusia, rasionya sampai 2.000 peneliti per sejuta penduduk.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Data ini berbanding terbalik dengan pekerjaan rumah dan peluang yang dimiliki Indonesia. Semisal di bidang energi, beredar isu thorium sebagai pembangkit listrik murah mencuat pada 2015 lalu. Lagi-lagi, Indonesia dianggap tidak siap dalam menyambut potensi energi baru itu. Padahal, unsur yang tengah menjadi buruan peneliti dunia itu ditemukan juga di Bangka Belitung. Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), ada sekitar 121.500 ton cadangan thorium yang bisa memberikan daya 121 gigawatt selama 1.000 tahun.
 
Lantas, apakah Indonesia akan kembali pasrah menjelma tamu di negeri sendiri?
 
Kurang bergengsi
 
Di bangku-bangku sekolah dasar (SD) misalnya, nyaris tak terdengar kata "peneliti" dari mulut siswa kala menjawab pertanyaan ihwal cita-cita di masa depan. Berbeda dengan guru dan dokter, kedua profesi itu lebih lazim dan banyak diidam-idamkan. Profesi peneliti, cenderung tidak dikenal.
 
Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek dikti), Muhammad Dimyati, mengatakan, ketidak-tenaran status peneliti berkaitan erat dengan anggapan rendahnya kesejahteraan yang bisa diperoleh. Selain itu, mereka pun memang tidak memiliki pamor sekuat profesi lainnya.
 
"Peneliti berada pada dunia sepi. Ketika seseorang memilih sebagai peneliti, maka bersiaplah ia berjalan di lorong sunyi," kaya Dimyati ketika ditemui medcom.id di ruang kerjanya, di Jalan MH. Thamrin, Jakarta, Jumat (20/1/2017).
 
Oleh sebab itu, profesi peneliti dianggap tidak bergengsi.
 
"Ia tidak kaya, bukan pengusaha, bukan pula sebagai publik figur. Jika ketiga profil itu dikiaskan garis x ke atas, orang kaya, y ke kanan, pengusaha, dan z ke kiri, orang terkenal. Maka peneliti menarik garis ke bawah," ujar dia.
 
Tidak bergengsi, maka minat menjadi peneliti pun rendah. Dimyati menyebutkan, kandidat peneliti di Indonesia hingga pengujung 2016 tidak lebih dari separuh jumlah peneliti yang ada hari ini.
 
"Kandidat peneliti jumlahnya adalah total jumlah lulusan S2 dan S3 dibagi jumlah S1. Cuma 5,6 persen. Sangat rendah," kata Dimyati.
 
Saat ini, Pemerintah mengklaim memahami betul hambatan yang dialami dalam dunia penelitian di Indonesia. Oleh karenanya, Kemenristek dikti tengah menggenjot kesejahteraan peneliti, terutama dukungan anggaran dan akses.
 
Dukungan lemah
 
Dimyati mengakui, dukungan negara terhadap kesejahteraan peneliti di Indonesia sangat rendah. Belanja penelitian dan pengembangan (Litbang) nasional cuma 0,20% per produk domestik bruto (PDB). Meski nilai itu, bertambah dari tahun-tahun sebelumnya yang hanya 0,09 per PDB atau tidak lebih dari Rp2 miliar per tahun.
 
"Jumlah itu, 75 persen berasal dari Pemerintah. Swasta belum banyak terlibat," ujar dia.
 
Berbeda dengan kucuran dana di negeri tetangga. Malaysia saja, belanja litbang nasional sudah mencapai 1% per PDB. Singapura, di atas 2%, serta Korea Selatan sebanyak 4,2% per PDB.
 
Rendahnya dukungan tentu menghasilkan diperparah dengan kondisi Multi Factor Productifity (MFP) alias peran ilmu pengetahuan teknologi dalam pembangunan nasioal. Di Indonesia nilainya cuma 16,7%. Sementara Korea Selatan sudah 60%, dalam arti, semua kebijakan dan produk pembangunan telah dikaitkan dari hasil riset para peneliti setempat.
 
"Sementara di Indonesia, tidak. Ini memprihatinkan," kata dia.
 
Kabar baiknya, meski dalam kondisi terbatas namun perkembangan tradisi riset di Indonesia cukup menggembirakan. Dari publikasi internasional yang dalam rencana strategis nasional ditarget 6.229, per 31 Desember kemarin mampu melampaui hingga 9.989 buah publikasi riset dari berbagai bidang.
 
"Meskipun itu masih di bawah Malaysia yang mampu memiliki angka publikasi sebanyak 24.910, Singapura (18.950), dan Thailand (13.142)," kata Dimyati.
 
Inovasi di Lorong Sunyi
 
Langkah pemerintah
 
Menyadari kelemahan itu, Pemrintah melalui Kemenristekdikti mengklaim tengah membenahi kebijakan yang berkait-paut dengan dunia penelitian. Jelang 2017, ditetapkan 7 prioritas riset yang akan difokuskan hingga 2045, tepat di 100 tahun Indonesia merdeka.
 
Tujuh fokus itu adalah di bidang pangan, energi, kesehatan, transportasi, teknologi rekayasa, pertahanan dan keamanan, serta bidang sosial dan humaniora.
 
"Fokus di bidang energi meliputi empat tema, yakni teknologi substitusi bahan bakar, kemandirian teknologi pembangkit listrik, teknologi konvervasi energi, teknologi ketahanan diversifikasi energi dan penguatan komunitas sosial," kata Dimyati.
 
Soal kesejahteraan peneliti, Kemenristek dikti mengaku berhasil mendorong Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk mengeluarkan peraturan PMK Nomor 72 tahun 2015 tentang Royalti Paten untuk Inventor. Peraturan itu memberikan napas baru dalam pembagian royalti di bidang paten. "Karya yang dipatenkan bisa menghasilkan royalti sampai 40 persen. Kalau dulu, royalti itu hanya bisa diserap institusi yang kemudian masuk ke kas negara. Sekarang untuk institusi sekaligus penelitinya," kata Dimyati.
 
"Royalti paten juga sekarang bisa diagunkan atau diwakafkan," tambah dia.
 
Pemerintah menyediakan insentif. Bagi yang berprestasi, sebut saja peneliti dengan karya yang mampu menembus jurnal internasional maka bisa mendapat kucuran dari Pemerintah hingga Rp100 juta. Sepanjang 2016, gelombang pertama program ini mampu menyedot minat sebanyak 4.000 peneliti. Namun yang dianggap memenuhi kelayakan nilai hanya 375 orang.
 
"Sebanyak 75 peneliti mendapat Rp 100 juta. Selebihnya sesuai dengan kualifikasi," ujar Dimyati.
 
Peran swasta turut diperbesar. Dunia industri tengah didorong untuk turut andil dalam penelitian sejak proyek digelar. Harapannya, tahun ini dukungan swasta dalam penelitian bisa mencapai 43,6%. Untuk sementara, kontribusi swasta dalam dunia penelitian di Indonesia disebut Dimyati baru 42%. Selebihnya masih memilih membeli jadi, bahkan untuk inovasi dari luar negeri.
 
"Kami juga mendorong penerbitan PMK Nomor 106 tahun 2016 tentang Standar Biaya Keluaran Tahun Anggaran 2017. Melalui regulasi tersebut, peneliti tidak lagi dibebani laporan yang rumit. Mereka cukup berkonsentrasi penuh pada inovasi yang dihasilkan," Kata Dimyati.
 
Belum berdampak
 
Langkah yang ditempuh Kemenristek dikti dinilai belum berdampak banyak. Kepala Pusbindiklat Peneliti LIPI, Dwi Eny Djoko Setyono bahkan menyebut anggaran dari Pemerintah untuk belanja litbang di setiap tahunnya justru terpangkas.
 
Inovasi di Lorong Sunyi
 
Anggaran indikatif Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) disebut turun dari Rp1,1783 triliun untuk alokasi 2016 menjadi Rp1,1662 triliun rupiah untuk tahun 2017.
 
"Kalau yang dihitung Kemenristek dikti itu ada alokasi untuk pendidikan dan penelitian dosen. Kalau untuk peneliti murni itu justru menurun," kata Dwi kepada medcom.id, Minggu (22/1/2017).
 
Komitmen Pemerintah dalam mengembangkan penelitian dianggap terlalu kuat. Yang ada, kata Dwi, peneliti yang diminta untuk terus mendukung program nasional.
 
"Kita nyaris tidak memiliki dukungan anggaran riset di lapangan, apalai soal energi baru terbarukan. Itu mahal sekali. Semua alokasi sesuai hitungan gaji dan honor," kata Dwi.
 
Aneka langkah yang disebutkan Kemenristek dikti itu terkesan percuma. Pasalnya, sebut Dwi, dunia penelitian di Indonesia mengalami hambatan di sisi rekruitmen dan pengisian pos-pos baru. "Kan kita yang ASN (Aparatur Sipil Negarea) masih terkena imbas peraturan bersama tentang moratorium pengangkatan. Jadi, personel yang kosong karena ditinggal pensiun belum bisa digenapi dengan peneliti baru," kata dia.
 
"Ini yang juga menghambat rasio peneliti. Padahal kita sangat mampu mencapai 200 peneliti per sejuta penduduk. Itu yang diinginkan Kepala LIPI," tambah Dwi.
 
Sementara itu, Kepala Biro Organisasi dan SDM LIPI, Heru Santoso, mengatakan para peneliti merasa bingung lantaran berada dalam keterbatasan dukungan. Sebab di sisi lain, ia tetap didorong untuk melahirkan inovasi guna mendukung pembangunan nasional.
 
"Peneliti harus tetap berpikir kreatif. Sementara keberpihakan pemerintah belum berdampak," kata Heru kepada medcom.id, Minggu (22/1/2017).
 
Pemerintah semestinya menyadari, kata Heru. Persaingan global menuntut peningkatan peran para peneliti. Jika Indonesia ingin tampil di muka dunia, maka perlu ada semangat perbaikan tradisi penelitian secara serius. Apalagi, bidang energi.
 
"Penelitian adalah kunci," kata dia.
 


 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan