Perang Mata Uang dan Posisi Rupiah

Medcom Files telusur rupiah
Hardiat Dani Satria • 29 Agustus 2015 08:46
medcom.id, Jakarta: Nilai tukar mata uang mencerminkan kekuatan perekonomian suatu masyarakat yang menggunakannya. Artinya, pergerakan kurs mata uang suatu negara bisa menjadi ukuran seberapa tangguh bangunan fundamental ekonomi dan industri di negara tersebut.
 
Pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat masih berlangsung. Berdasarkan catatan Bank Indonesia (BI) pelemahan rupiah yang signifikan terjadi pada kurun tahun 2014 – 2015. Bisa dilihat, sejak masa pemilihan presiden 2014 rupiah masih bertengger di angka Rp11.580 per dolar AS. Pelemahan ini terus terjadi sampai bulan September 2014 yang mencapai Rp12.188 per dolar AS.
 
Pada bulan Oktober 2014, rupiah menguat ke level Rp12.085 per dolar AS. Dan setelah itu, kondisinya semakin memburuk di beberapa bulan ke depan, sampai tahun 2015. Pelemahan ini terjadi secara konstan, yang akhirnya rupiah menyentuh angka Rp13.075 per dolar AS di bulan Maret 2015. Sampai saat ini pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih terus terpantau mengalami tekanan.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Bulan Juli 2015, pergerakan rupiah telah menyentuh level Rp13.400 per dolar AS. Rupiah kian terpuruk ketika awal pekan Agustus ini menembus level Rp14.000 per dolar Amerika Serikat (USD). Meskipun begitu, pemerintah masih mengangap pelemahan rupiah yang terjadi tidak akan menyebabkan krisis. Kejatuhan nilai tukar rupiah yang terus menerus langsung memicu kekhawatiran berbagai kalangan, mulai dari para pengusaha besar hingga para ibu rumah tangga. Meski dihadapkan pada problem yang berbeda, mereka sama-sama menghadapi kondisi yang tidak menguntungkan.
 
Para pelaku usaha jelas memandang kemerosotan nilai tukar bakal mengancam kelangsungan usahanya. Terutama para pelaku industri yang memiliki ketergantungan terhadap bahan baku impor ataupun pelaku usaha yang sumber pembiayaannya dari utang luar negeri.
 
Ketika nilai tukar rupiah anjlok, sudah pasti akan semakin memberi tekanan pada membengkaknya biaya produksi. Sebab, pelaku usaha masih menghadapi masalah tekanan ekonomi berbiaya tinggi. Baik dari sisi kian mahalnya biaya energi (naiknya tarif dasar listrik, bahan bakar minyak, elpiji, dsb) juga tingginya biaya logistik dan biaya suku bunga.
 
Memang, secara teoritis peningkatan biaya produksi tersebut dapat ditransfer kepada harga produk yang harus dibayar konsumen. Tetapi, di tengah penurunan daya beli masyarakat tentu bukan barang mudah bagi pengusaha untuk langsung menaikkan harga produknya.
 
Belum lagi persoalan menghadapi kompetisi dari penetrasi barang-barang impor yang harganya lebih murah.
 
Apalagi, ibu-ibu rumah tangga sudah dipusingkan dengan berbagai harga kebutuhan pokok yang terus melambung. Usai perayaan Lebaran pun harga-harga kebutuhan pokok tak kunjung menurun, tapi malah mengalami kenaikan yang tidak rasional.
 
Dengan pemberitaan tentang depresiasi rupiah, ibu-ibu rumah tangga pasti paham bahwa selanjutnya akan terjadi kenaikan harga-harga berbagai barang. Tentu para ibu rumah tangga harus pandai menentukan skala prioritas dalam pemenuhan kebutuhan. Artinya, konsumsi rumah tangga akan menurun lantaran gerakan mengencangkan ikat pinggang harus dilakukan.
 
Padahal, dalam situasi pelambatan pertumbuhan ekonomi, konsumsi rumah tangga sebenarnya harus ditingkatkan. Peningkatan konsumsi yang akan mengembalikan kelangsungan usaha para produsen. Jika masyarakat justru terpaksa mengurangi konsumsi, tentu harapan terjadinya peningkatan investasi tidak akan mungkin terjadi.
 
Sebaliknya, kinerja sektor produksi atau sektor riil justru semakin menurun. Karena itu, ancaman terjadinya pemutusan hubungan kerja atau PHK tentu menjadi pilihan yang akan sulit dihindari.
 
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Enny Sri Hartati, menyatakan bahwa di tengah pelambatan ekonomi global dan perlambatan ekonomi domestik, setiap negara dituntut untuk melakukan berbagai strategi untuk melindungi kepentingan nasionalnya.
 
Terutama memperkuat sektor-sektor yang terkait dan terintegrasi dengan ekonomi global, seperti sektor perdagangan internasional, sektor keuangan, pasar modal termasuk menjaga stabilitas nilai tukar.
 
Dalam menghadapi rencana Federal Reserve selaku bunga bank sentral Amerika Serikat menaikkan suku bunga, beberapa negara seperti Tiongkok, Vietnam, dan sebelumnya Jepang, justru melakukan strategi melemahkan mata uangnya. Kebijakan devaluasi nilai tukar ini dimaksudkan agar barang-barang negara tersebut menjadi relatif lebih murah di pasar global.
 
Dengan demikian, daya saing negara-negara tersebut meningkat dan akan memacu kinerja ekspor. Tentu strategi ini sangat tepat dilakukan, apalagi jika terjadi pelambatan kinerja ekonomi domestik seperti yang dialami Tiongkok.
 
"Untuk kembali memacu sektor produksi dalam negeri, pemerintah harus mampu menerapkan berbagai kebijakan komprehensif agar dapat memacu penetrasi ekspor di pasar global," ujar Enny dalam opininya di Media Indonesia edisi Senin (24/8/2015).
 
Jadi, menurut Enny, strategi devaluasi mata uang ini tidak hanya sekadar perang mata uang (currency war). Untuk dapat meningkatkan daya saing produk dan penetrasi ekspor, tentu butuh persiapan yang matang. Dibutuhkan strategi industrialisasi yang tepat dan iklim usaha yang kondusif untuk investasi.
 
Enny menilai bahwa pemerintah Indonesia seharusnya bisa meniru strategi yang dilakukan Tiongkok. Depresiasi nilai tukar rupiah mestinya, dapat dijadikan momentum untuk memperbaiki struktur ekonomi yang rapuh. Terutama untuk mengurangi ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan baku dan bahan penolong, juga memperbaiki struktur ekspor. Sejak 2012, rupiah terus mengalami depresiasi.
 
Kini rupiah telah melesat jauh dari atas batas psikologis, pemerintah tetap berdalih bahwa ini hanya disebabkan oleh faktor global. Tidak ada upaya yang serius untuk memperbaiki defisit neraca pembayaran yang menjadi faktor fundamental pelemahan rupiah.
 
"Indonesia kehilangan kesempatan untuk mengurangi ketergantungan impor," kata Enny.
 
Ia mengakui bahwa depresiasi rupiah memang telah berdampak pada penurunan impor yang sangat signifikan. Dalam kurun Januari hingga Juli 2015, neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus. Namun, surplus neraca perdagangan tersebut disebabkan karena penurunan impor bahan baku, bukan karena perbaikan kinerja ekspor.
 
Akibatnya, kinerja sektor manufaktur di dalam negeri anjlok dan terpuruk. Industri manufaktur hanya tumbuh 3,81 pada triwulan I 2015, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional.
 
Perang Mata Uang dan Posisi Rupiah
 
Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo menyatakan kondisi perekonomian Indonesia tidak sedang dalam kondisi krisis. Namun, Indonesia memang menghadapi tekanan atas situasi pelambatan ekonomi global.
 
"Kondisi fundamental ekonomi kita membaik, tapi ekonomi dunia terus buruk dan memberikan tekanan kepada kita,” ujar Agus di Jakarta, Kamis (27/8/2015).
 
Perlu disadari, Agus melanjutkan, saat ini Indonesia tengah menghadapi tantangan global yang begitu besar. Tantangan itu semakin berat ketika ada sentimen bahwa AS akan menaikkan suku bunga dan Tiongkok mendevaluasi yuan.
 
Jika dilihat pada tahun 1998, pertumbuhan ekonomi minus 13 persen sampai minus 17 persen. Di tahun 2015 ini, ekonomi Indonesia tumbuh 4,7 persen. Meski disadari nilai Rp14.100 per dolar AS sudah termasuk dalam kategori undervalued.
 
“Itu artinya memang undervalued. Jadi eksportir harusnya terpanggil untuk lepas dolar. Memang ada capital outflow tapi kurs lebih lemah dari nilai fundamental,” kata Agus.
 
Kepala Ekonom Bank Negara Indonesia (BNI), Ryan Kiryanto, menilai langkah BI meminta para eksportir segera melepas atau menjual dolar AS yang mereka miliki untuk meningkatkan likuiditas pasar itu sudah tepat. Namun, itu saja belum cukup.
 
Ryan mengharapkan perangkat pemerintah menyatukan visi, misi, dan persepsi serta langkah tindak sehingga memberikan sinyal positif ke pasar. Dalam hal ini, BI bersama pemerintah harus meyakinkan pasar bahwa pelemahan rupiah hanya bversifat sementara alias tidak akan berlangsung lama.
 
"Potensi pelemahan rupiah lebih lanjut harus bisa diredam. Pemerintah harus mampu menemukan cara untuk menghasilkan pemasukan dalam dolar AS demi memperkuat cadangan devisa," kata Ryan.
 
Demi menyedot lebih banyak investasi asing, ia menambahkan, pemerintah pun harus agresif memangkas berbagai kendala investasi. Untuk jangka panjang, ide besar tentang reformasi struktural harus menjadi pilar utama perbaikan fondasi perekonomian oleh semua lembaga maupun kementerian agar jika terjadi tekanan eksternal, otot rupiah tetap kuat.
 

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan