medcom.id, Jakarta: Negara-negara di dunia kini seakan berlomba membangun infrastruktur kereta cepat atau juga dikenal dengan sebutan "kereta peluru". Antara lain seperti Jepang, Jerman, Perancis, dan Tiongkok.
Beberapa negara lainnya seperti Rusia, Malaysia, Singapura, dan India juga berambisi punya jaringan kereta cepat. Indonesia pun tak mau ketinggalan. Sebagian masyarakat Indonesia sangat mendambakan kereta cepat segera terwujud di Indonesia.
Namun, mimpi Indonesia untuk memiliki kereta cepat ternyata harus diurungkan. Pemerintah menolak tawaran yang diajukan Jepang dan Tiongkok untuk kerja sama dalam proyek pembangunan kereta cepat jalur Jakarta-Bandung.
Alasannya, jalur Jakarta-Bandung tak membutuhkan kereta berkecepatan tinggi (350 km/jam) mengingat jarak kedua kota itu tak terlalu jauh (kurang lebih 150 km). Apalagi, dengan adanya delapan stasiun pemberhentian yang didesain di sepanjang trayek, jelas tak memungkinkan kereta bisa melaju dengan kecepatan super tinggi.
Butuh waktu sekitar 14 menit bagi kereta cepat untuk melesat hingga level 350 km/jam. Jadi, bisa dibayangkan jika kereta cepat digunakan untuk menghubungkan Jakarta-Bandung, dengan delapan titik pemberhentian pula, maka kereta canggih ini tak akan pernah bisa mencapai kecepatan maksimumnya.
Maka penerapan kereta cepat untuk rute ini jelas bakal mubazir. Ini yang menjadi pertimbangan Presiden RI Joko Widodo untuk membatalkan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Pemerintah berencana mengalihkan proyek kereta cepat pada kereta dengan kecepatan menengah. "Jadi, kecepatannya mungkin 250 kilometer per jam," ujar Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution, di Jakarta, Kamis (3/9/2015).
Jika dibandingkan antara kereta berkecepatan tinggi dan kereta berkecepatan menengah untuk rute Jakarta-Bandung, perbedaan waktu tempuhnya diperkirakan hanya 10-15 menit. Selain itu, dengan kereta kecepatan menengah, estimasi biayanya pun lebih murah 30-40 persen dibanding kereta cepat.
Darmin mengungkapkan, dari penilaian konsultan menyebutkan banyak hal yang belum detail di dalam kedua proposal yang diajukan Jepang dan Tiongkok. Mulai menyangkut masalah standar pemeliharaan kereta, standar pelayanan, dan seterusnya.
Oleh karena itu, Presiden Jokowi -sapaan Joko Widodo- juga membentuk sebuah tim untuk menyusun kerangka acuan tersebut agar lebih layak (feasible). Pemerintah meminta Jepang dan Tiongkok untuk membuat kajian baru dengan kerangka acuan yang ditentukan dan dirumuskan Indonesia.
"Tim nanti akan berunding dengan bidder (investor) unggulan. Sehingga bisa dicapai harga yang paling efisien dan kualitas yang terbaik," kata Darmin.
Presiden Jokowi juga tak ingin pembiayaan proyek ini menggunakan anggaran negara. Menurut Menteri Perhubungan RI, Ignasius Jonan, pemerintah akan mendorong pembiayaan sepenuhnya dari swasta, sehingga tidak membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pemerintah memilih untuk menggunakan skema business to business (B-to-B) antara swasta dengan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) sebagai pemegang proyek. BUMN bebas untuk menentukan akan ber-partner dengan siapapun, asal tidak menggunakan dana APBN, termasuk menggunakan penyertaan modal negara (PMN). Pemerintah kata Jonan, hanya bertugas sebagai regulator. BUMN diklasifikasikan sebagai badan usaha bukan pemerintah.
Dengan demikian, sama seperti pembatalan proyek kereta cepat sebelumnya untuk rute Jakarta-Surabaya, pemerintah tidak akan menggunakan dana APBN dalam pembangunan infrastruktur kereta Jakarta-Bandung. Sebab, pada dasarnya pemerintah tak bersedia mengeluarkan dana dari APBN untuk membangun kereta di pulau Jawa.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas, Sofyan Djalil, menyatakan proyek kereta cepat, -yang akhirnya diputuskan menjadi kereta kecepatan menengah-, dibutuhkan sebagai pelengkap sarana konektivitas dalam rencana pengembangan wilayah antara Jakarta, dan kota pusat industri tekstil, Bandung.
"Filosofi pembangunan kereta itu adalah pembangunan wilayah. Wilayah akan berkembang jika stasiun dibuka," ujar Sofyan, di Jakarta, Jumat (4/9/2015).
Sofyan menjelaskan, transportasi kereta dipilih untuk melengkapi konektivitas, karena sistem perkeretaapian lebih mendukung rencana pengembangan kawasan pada rute yang sebagian besar melintasi kawasan pertanian dan hutan itu.
Misalnya, dengan membangun kereta, pemerintah sebagai regulator, dapat menentukan titik-titik yang akan menjadi pemberhentian penumpang. Dengan begitu, pembangunan transportasi Jakarta-Bandung akan lebih terpadu dan saling mendukung dengan pembangunan sektor lain, misalnya sektor pertanian dan industri.
Sedangkan sarana transporasi lain, seperti jalan raya atau jalan tol/berbayar misalnya, kata Sofyan, cenderung akan menghabiskan sisa lahan yang tersedia sehingga tidak efisien. Jika membangun jalan raya, pemerintah pun akan lebih sulit mengatur mobilitas penumpang pada rute "gemuk".
"Misalnya sekarang ada kebun teh di Cipularang yang tidak produktif. Karena di samping kebun teh itu ada jalan tol yang setiap hari dilewati ribuan manusia dan mobil. Suhu dan temperatur di sana jadi meningkat. Tidak cocok dengan kebun teh yang butuh temperatur dingin," kata dia.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno, di Jakarta, Jumat (4/9/2015), menyatakan proyek kereta cepat di atas rata-rata yang menghubungkan Jakarta-Bandung akan tetap dibangun untuk mengembangkan perekonomian kawasan yang dilalui trayek tersebut.
Bandung Barat, menurut Rini, memiliki prospek untuk dikembangkan menjadi pusat pendidikan, wisata alam, dan lainnya. Maka proyek kereta kecepatan menengah ini perlu dilaksanakan. Dan karena skemanya kerja sama BUMN dengan swasta dengan pendekatan b to b, maka wajar jika proyek ini berorientasi profit layaknya proyek lain yang digarap oleh BUMN.
Rini menyebut akan meminta empat BUMN membentuk konsorsium dan bermitra dengan salah satu perusahaan dari dua negara yang mengajukan proposal tersebut.
Empat BUMN yang ditunjuk Rini adalah PT Wijaya Karya Tbk (Wika), PT Jasa Marga Tbk, PT Perkebunan Nasional (PTPN) VIII, dan PT Kereta Api Indonesia, di mana Wika akan menjadi pemimpin konsorsium.
Nantinya ke-empat BUMN ini akan melakukan kalkulasi terkait jumlah stasiun yang akan dibangun sepanjang trayek, sehingga dari angka tersebut bisa ditentukan seberapa cepat kereta yang dibutuhkan. Rini sekaligus menjamin BUMN-BUMN tersebut tidak akan menggunakan Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk mengerjakan proyek tersebut.
Tujuan lain pembangunan kereta kecepatan menengah ini, menurut Rini, adalah untuk mengoptimalkan penerimaan PTPN VIII setelah perkebunan teh Walini tidak mampu berproduksi lagi karena tingkat polusi yang tinggi. Bahkan rencananya, di lahan seluas 2.952 hektare tersebut akan dibangun convention center dan juga sarana pariwisata lainnya yang tidak disebutkan secara rinci.
"Karena kalau dilihat dari sisi BUMN, PTPN VIII perlu memperbanyak pendapatan dari sisi real estate," imbuh Rini.
Lebih lanjut, ia berharap pembangunan kereta cepat ini bisa dimulai tahun ini karena menurutnya pembangunan proyek sepanjang 150 kilometer (km) ini tak bisa ditunda-tunda lagi. Di dalam pembangunan itu, keempat perusahaan BUMN itu diminta membuka kesempatan selebar-lebarnya jika ada mitra yang mau bergabung.
"Operasinya tentu bersifat joint venture. Jika ada mitra yang mau bergabung dipersilahkan saja. Selain itu tentunya kami juga butuh pendanaan," kata Rini.
Menurut Rini, sudah ada pihak di luar pemerintah yang berani menjamin pembiayaan. "Ada satu lembaga yang bersedia memberikan pinjaman kepada kami untuk melaksanakan proyek itu," kata Rini.
Namun, ia tak memberikan penjelasan lebih rinci mengenai nama lembaga pembiayaan tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News