Penulis Buku
Penulis Buku "Bung Karno & Kemeja Arrow" Asvi Warman Adam memaparkan karyanya dalam peluncuran dan bedah buku tentang sejarah Soekarno, di Jakarta. (FOTO ANTARA/Yudhi Mahatma)

Soal Memusuhi Komunisme

Medcom Files komunisme
Surya Perkasa • 16 Mei 2016 23:57
medcom.id, Jakarta: Elemen militer, kepolisian, organisasi masyarakat bekerja sama selama sebulan ke belakang untuk memberantas gerakan komunisme. Walau demikian sinergi ini justru memunculkan polemik karena keberadaan komunisme yang berusaha diberantas masih tak jelas keberadaannya. Bagai hantu.
 
Gerakan antikomunis gencar dilakukan di beberapa daerah. Bahkan setelah Simposium Tragedi 1965 dilaksanakan April lalu, masyarakat dan lembaga keamanan negara semakin reaktif dan tak jarang dinilai kebablasan oleh sebagian kelompok masyarakat.
 
Beragam aksi penyisiran (sweeping), razia, penyitaan dan penangkapan acapkali terjadi sejak April lalu. Bahkan tak jarang dugaan pelanggaran hak warga negara justru dilanggar karena tuduhan “komunis”.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


 
Polres Grobogan, Jawa Tengah pada Rabu 11 Mei mengamankan sejumlah buku yang diduga berisi ajaran paham komunis. Buku tersebut disita dari sebuah swalayan di Grobogan. Pada 8 Mei lalu, polisi memeriksa pemilik toko yang berinisial IM, di Polsek Metro Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. IM diperiksa lantaran menjual baju berlambang palu arit di bilangan Blok M Square.
 
Sebelumnya pada 24 Februari, ditemukan empat baju bergambar palu arit di Desa Rejoagung, Kecamatan Ploso, Jombang, Jawa Timur. Baju tersebut disita tim gabungan Kodim 0814 dan Polres.
 
Sebuah band asal Mojokerto, Jawa Timur diamankan petugas karena menyakikan tembang Genjer-genjer yang distigma sebagai lagu Partai Komunis Indonesia. Polres Mojokerto pun membubarkan pentas musik raggae yang berlangsung pada Minggu (8/5/2016) tersebut.
 
Beberapa komunitas yang tidak tersangkut paut dengan komunis pun dituding sebagai antek-antek PKI. Dua diantaranya adalah Pecinta Kopi Indonesia dan PapaKilo Indonesia (komunitas pilot asal Indonesia) karena memiliki singkatan P-K-I.
 
Beberapa tokoh, pejabat negara, pakar, dan ormas menilai aksi yang dilakukan oleh militer, polisi dan ormas ini rentan melanggar hak warga negara bila tak segera dikontrol.
 
“Ini menunjukan ada fobia kepada komunis,” ujar pakar sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam kepada medcom.id.
 
Sumber fobia
 
Asvi memaparkan, setidaknya ada lima teori yang menyebabkan fobia terhadap simbol dan hal berbau komunis atau PKI terjadi di Indonesia belakangan ini. Pertama, karena memang ada kebangkitan komunisme di Indonesia.
 
Kemungkinan akan kembali hadirnya komunis secara masif dan ingin menguasai kembali sendi-sendi berbangsa dan bernegara mendorong fobia. Namun teori ini dinilai Asvi sangat mustahil terjadi. “Kan sebenarnya komunisme ini kan sudah runtuh. Dan tidak ada satu partai pun yang menggunakan ideologi komunis di Indonesia,” kata Asvi yakin.
 
Pada kenyataannya memang belum ditemukan kelompok atau golongan yang benar-benar berserikat dan menganut paham komunis di Indonesia. Sebab, pembentukan kelompok komunis masih dianggap sebagai makar karena dalam Ketetapan Majelis Permusyawarakatan Rakyat Sementara (TAP MPRS) nomor XXV/MPRS/1996 yang dilanjutkan oleh TAP MPR bernomor I/MPR/2003 menegaskan, “setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme.
 
Kedua, kemunculan fobia ini disebabkan oleh kelemahan intelijen kita. Beragam bentuk penemuan simbol-simbol Palu dan Arit terjadi secara berulang sebelum 30 September. Bisa jadi ada kelompok atau keluarga PKI yang merasa terisolir karena penghilangan hak warga negaranya.
 
Secara kebetulan atau tidak, fenomena kemunculan “hantu komunis” nan musiman ini bukan menjelang 30 September. Tetapi sesudah Simposium 65 diadakan dan Presiden Joko Widodo berencana melakukan rekonsiliasi kepada korban peristiwa 65.
 
“Ini menunjukkan kelemahan Intelijen Indonesia. Kenapa? Karena seharusnya kalau ini ditutantaskan, tidak terulang lagi,” kata Asvi
 
Ketiga, fobia ini hanya sebagai cara untuk beberapa kelompok megalihkan isu yang tengah panas di Indonesia. Asvi menyebut tidak aneh pengalihan isu muncul di permukaan beberapa waktu belakangan. Apalagi ada beberapa isu besar yang menciptakan polemik.
 
Mulai dari reklamasi di pantai Jakarta yang menyeret beberapa tokoh dan Gubernur DKI Jakarta Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, isu tentang kontrak PT Freeport, blok Masela, serta isu kedekatan Indonesia dengan Tiongkok.
 
“Apakah ini sebenarnya sedang pengalihan isu dari masalah tersebut, sehingga masyarakat lebih fokus ke soal hantu tidak jelas ini? Kita lihat saja kemana akhirnya nanti. Selesai atau tidak,” kata Asvi.
 
Keempat, ini adalah pengaturan agenda (agenda setting) oleh beberapa golongan untuk menyatu menjadi satu kelompok kepentingan. Bisa jadi upaya untuk mengulangi dari peristiwa 65, dimana militer dan kelompok agama bersatu melawan satu musuh bernama komunis berbendera PKI.
 
Bisa pula ada kelompok aliansi lama, antara tentara dengan sebagian kelompok agama yang ingin kembali membentuk aliansi lama. “Terlepas apa tujuan akhirnya,” kata dia.
 
Teori kelima atau terakhir, fobia ini sengaja dimunculkan untuk menghadang rekonsiliasi korban peristiwa 65 berjalan. Ada pihak, ungkap Asvi, yang tidak ingin rekonsiliasi akan menunjukkan kebenaran. Bila rekonsiliasi terjadi, mereka yang terlibat akan menjadi pelaku kejahatan HAM.
 
Terbelah
 
Presiden Joko Widodo sendiri sempat resah karena instruksinya menangani kemunculan atribut justruk menjadi polemik. Presiden pun meminta penertiban paham komunis di Indonesia tidak boleh dilakukan dengan cara menyisir atau sweeping dan lewat cara semena-mena. Wajar saja, tudingan pemerintah Jokowi sudah mirip dengan era Orde Bari dilontarkan segelintir orang.
 
"Zaman demokrasi tidak adalah sweeping-sweepingseperti itu," kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung di Kompleks Istana Kepresidenan, Jumat (13/5/2016).
 
Hal itu sudah diperintahkan Presiden Joko Widodo kepada Kapolri Jenderal Badrodin Haiti dan Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Pramono menjelaskan, perintah tersebut dimaksudkan agar kepolisian maupun TNI menghormati kebebasan pers atau hak asasi manusia.
 
Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) Luhut Binsar Pandjaitan pun meminta jajaran keamanan, polisi dan aparat TNI, tidak berlebihan dalam bertindak (over-acting). Sesuai dengan arahan Jokowi.
 
Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti pun juga mengeluarkan surat telegram bernomor STR/337/V/2016 pada hari yang sama setelah Presiden mengeluarkan instruksi. Salah satu poinnya adalah hanya mengambil sampel buku-buku “berbau” komunis untuk diserahkan ke Kejaksaan untuk diproses.
 
Kegiatan sweeping dan razia pun diperintahkan agar tidak keluar jalur. Badrodin juga mengarahkan jajaran kepolisian melarang dan tak memberi toleransi bagi ormas yang bertindak tanpa mengikuti jalan hukum
 
Wajar saja, selama dua minggu sebelumnya beragama sweeping dilakukan oleh pihak keamanan. Penyitaan demi penyitaan, penangkapan demi penangkapan dilakukan oleh militer dan polisi di tingkat daerah-daerah. Bahkan ormas-ormas turut serta melakukan “pemberantasan hantu” komunis.
 
Sebelumnya pihak pemerintah sempat terkesan terbelah dua. Melakukan penanganan dengan cara perlahan dan menilai masalah bermunculaannya simbol komunis ini tak ditanggapi berlebihan. Kelompok yang didorong oleh Presiden Joko Widodo ini juga mendorong rekonsiliasi dan pengungkapan Peristiwa 65 yang diduga menewaskan lebih dari satu juta warga Indonesia.
 
Sementara itu di pihak lain, beberapa kelompok militer, kelompok agama dan golongan yang menolak keberadaan PKI dan Komunisme secara tegas dan keras didukung oleh Menteri Pertahanan Jenderal TNI (Purn) Ryamizard Ryacudu. Dalam sebuah acara tatap muka di tanggal 13 Mei lalu ini Ryamizard mengeluarkan pernyataan yang keras soal komunis.
 
“Acara ini sangat penting bagi kita sebagai komponen bangsa yang setia Pancasila dan senantiasa waspada terhadap bahaya laten komunis. Dulu kalau bilang bahaya laten komunis diketawain, tidak ada itu katanya. Nyatanya sekarang laten itu muncul lagi, berarti yang bilang itu komunis juga,” kata Ryamizard dalam acara pertemuan Menteri Pertahanan dengan Purnawirawan TNI, ormas kepemudaan dan ormas keagamaan bertajuk Mengantisipasi Bangkitnya Gerakan PKI di Jakarta, Jumat (13/5/2016).
 
Baca: Dulu Ditertawakan, Kini Bahaya Laten Komunis Ternyata Muncul
 
Menangkal komunisme
 
Sebagian kelompok menilai masalah PKI dan komunisme yang terkesan musiman ini sebenarnya bisa diselesaikan bila akarnya, Peristiwa 65, diselesaikan. Menurut Asvi, salah satu caranya bisa dengan memberikan rehablitasi kepada para korban..
 
Langkah tersebut dapat dipermudah dengan membentuk komite untuk mengusut kebenaran tentang masalah ini. Komite ini pula yang juga mengurus rehabilitasi korban. “Selain aspek itu, yang kemudian perlu diadili ya diadili,” kata Asvi.
 
Sebenarnya Indonesia juga bisa belajar ke Korea Selatan. Negara di bagian selatan Semenanjung Korea ini secara umum diketahui berpihak pada kapitalisme dan selalu berseteru dengan tetangganya, yaitu Korea Utara yang merupakan negara berideologi komunisme, semenjak 1948.
 
Setidaknya, bisa dibilang Korsel adalah potret yang paling pas tentang masyarakat modern yang lebih dewasa dalam memusuhi komunisme. Korsel tidak terjebak pada cara-cara tradisional dalam konflik berkepanjangan dengan Korut.
 
Karena, generasi muda Korsel memandang komunisme sebagai suatu aliran politik yang tak perlu ditakutkan. Meski menyadari bahwa negaranya bermusuhan dengan Korut, namun mahasiswa sebagai representasi anak-anak muda di Korsel cenderung pro pada upaya melawan isu komunisme melalui melalui jalur budaya dan ekonomi yang penuh kelembutan.
 
Walaupun ada kebijakan wajib militer, tetapi mahasiswa di Korsel tak mau terlalu pusing memikirkan komunisme atau paham-paham semacam itu. Bukan berarti tak ada aktivis yang kritis. Tentunya ada. Tapi tujuan mereka adalah lulus dengan kualifikasi unggul. Kesibukan belajar meraih prestasi (misal: bahasa Inggris, TOEFL, TOEIC, dan kecakapan lainnya) saja sudah menyita waktu mereka, sehingga enggan untuk memikirkan komunisme.
 
“Saya justru melihat mahasiswa Korsel lebih pragmatis. Mereka lebih cenderung memikirkan masa depan mereka bagaimana bisa kerja di negaranya sendiri mengingat persaingan sangat tinggi,” ujar pengamat kebudayaan Korea, Suray Agung Nugroho, kepada medcom.id, Senin (16/5/2016).
 
Korea Selatan memiliki Undang-Undang Keamanan Nasional sebagai hukum untuk mengamankan keamanan Negara dan subsisten dan kebebasan warga negara, dengan mengatur setiap kegiatan diantisipasi mengorbankan keamanan negara. Aturan yang telah dipakai sejak 1948 ini juga memuat persoalan komunis yang sangat ditentang dan dilarang.
 
“Anak-anak SD sampai SMA dilarang belajar tentang komunisme karena komunisme tetap identik dengan Korea Utara. Saya melihat larangan ini karena usia anak-anak belum bisa membedakan dan memilah apalagi memahami apa itu ideologi,” kata Suray.
 
Sejak zaman terpisah akibat perang Korea, paham anti komunis bernama bankong ini dianut kuat. Walau demikian paham ini semakin lama mengalami dualisme. Sebagai paham, Komunis sangat dibenci dan diidentikan dengan Korea Utara. Tapi paham ini tidak berlaku untuk Tiongkok.
 
“Untuk urusan ekonomi dibiarkan karena tidak mungkin Korea lepas dari Tiongkok. Ekspor dan investasi di Tiongkon lumayan besar,” kata Suray.
 
Seperti Indonesia, paham komunisme dilarang bahkan diatur ketat. Bahkan warga negara yang terindikasi menganut atau membantu pengembangan komunisme ini akan diproses secara hukum.
 
Suray menyebut masyarakat secara umum dan usia muda akan tetap membaca dan mendapatkan literatur marxisme, komunisme dan aliran ideologi kiri lainnya. Tapi tidak untuk kepentingan keilmuan dan pengetahuan.
 
Korea Selatan pun memiliki lembaga intelijen yang bekerja secara terang-terangan mengawasi penyebaran komunisme. Namun proses hukum dijalankan dengan semestinya. Bahkan Badan Intelijen Nasional Korea Selatan memiliki program khusus bagi warga komunis dari Korea Selatan yang mengungsi.
 
Suray menilai terjadi perubahan arah bagaimana masyarakat Korsel menanggapi komunisme yang menjadi musuh nyata. Terutama perbedaan cara berpikir kaum berusia lanjut (60 tahun ke atas) yang hidup di jaman Park Chung Hee yang terkenal sebagai bapak pembangunan Korea dengan masyarakat generasi muda yang hidup di era Kim Dae-Jung dengan sunshine policy.
 
Adapun sunshine policy ini berupaya untuk merangkul Korea Utara untuk unifikasi. Namun gagal walau sudah bejalan hampir satu dekade karena masih ada kelompok tua yang menganggap komunisme sebagai musuh.
 
Ada perbedaan yang amat mencolok antara generasi tua dan generasi muda dalam masyarakat Korsel dalam memandang komunisme. Bagi generasi tua komunisme sama dengan Tiongkok dan Korut. Sampai sekarang generasi tua ini tetap memusuhi komunisme. .
 
Adapun generasi muda Korsel hanya ingin memandang bahwa komunisme itu sama dengan Korut, sementara Tiongkok lebih terkesan abu-abu. Meski, Korut dan Tiongkok posisi politiknya berseberangan, tapi mereka adalah pangsa pasar secara ekonomi.
 
Jadi, menurut Suray, bagi generasi muda Korsel hanya tahu bahwa paham komunisme biarlah urusan ranah politik. Tak perlu ikut campur urusan satu partai di negara Tiongkok asalkan bisnis dan investasi Korea di Tiongkok tetap jalan dan tak diusik. Asalkan turis Tiongkok tetap bisa dipertahankan di atas 50 persen dari total 12 juta turis asing ke Korsel.
 
UU Keamanan Nasional di Korea Selatan yang dulu digunakan untuk melawan komunisme pun kini tak digunakan semata-mata untuk itu, tetapi juga untuk menjaga ketertiban umum.
 
“Anak muda yang lahir di tahun 2000 atau generasi millennium tidak bisa merasakan masa-masa ketakutan itu. Apalagi mereka tahunya Tiongkok adalah mitra dagang, Korea utara terpisah namun serumpun. Jadi ada perubahan cara pandang yang turut membentuk Korea Selatan kini,” kata Suray.

 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ADM)
LEAVE A COMMENT
LOADING
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan