medcom.id, Jakarta: Presiden RI Soekarno dikabarkan menjalin hubungan persahabatan dengan Amerika Serikat saat kekuasaan politik negara adidaya itu dipegang oleh Presiden John Fitzgerald Kennedy. Soekarno merasakan dukungan Kennedy amat nyata dalam membantu perjuangan Indonesia merebut Irian Barat atau Papua dari cengkeraman Belanda pada tahun 1960.
Soekarno menyambut baik penguatan hubungan dengan AS saat dipimpin oleh Kennedy. Sebab, Soekarno sebenarnya amat menentang dan membenci ideologi kapitalisme yang membawa semangat imperialisme dan kolonialisme, yang notabene merupakan gerakakan Blok Barat dengan AS sebagai kiblatnya. Tawaran bantuan paket ekonomi AS kepada Indonesia pada era Kennedy dipandang oleh Soekarno sebagai peluang hubungan diplomatik yang baru untuk pembangunan Indonesia.
Namun, harapan itu kandas seluruhnya setelah Kennedy tewas dibunuh pada tahun 1963. Soekarno disebut-sebut amat terguncang oleh berita kematian Kennedy. Dengan kematian Kennedy, paket bantuan khusus itu juga batal diberikan. Presiden Johnson yang menggantikan Kennedy mengambil sikap yang bertolak belakang dengan pendahulunya. Johnson malah mengurangi bantuan ekonomi kepada Indonesia.
Soekarno bergerak mendekat ke Tiongkok dan Uni Soviet yang diketahui merupakan negara-negara Blok Timur. Soekarno pun gencar merevisi kontrak pengelolaan minyak dan tambang-tambang asing di Indonesia. Ada yang menarik untuk dicermati terkait negara-negara Blok Barat seperti AS dan Inggris khawatir Indonesia ikut Blok Timur yang mengusung ideologi komunis. Upaya menjatuhkan Soekarno pun dilakukan oleh Barat.
Kebencian Soekarno pada penjajahan terbentuk dari didikan Haji Oemar Said Tjokroaminoto yang menjadi panutan sekaligus mentor politiknya. Tjokroaminoto diketahui merupakan tokoh sentral Sarekat Islam (SI), organisasi yang memperjuangkan hak-hak politik dan ekonomi pribumi melawan kesewenangan penjajahan Belanda dan dominasi pengusaha non-pribumi di Tanah Air dalam jalur perdagangan. Reputasi Tjokroaminoto dikenal sebagai sosok yang amat berpengaruh dan disegani baik kalangan elit maupun kawula.
Islam sebagai agama dengan penganut terbesar di Nusantara menempati peran penting dalam memengaruhi arah kebijakan pemerintah demi meneguhkan kedaulatan Indonesia. Sejak masa pergerakan hingga memasuki masa kemerdekaan, kekuatan politik Islam menjadi garda terdepan dalam menentukan corak sejarah berdirinya bangsa yang menampung banyak ragam identitas budaya ini. Dengan tidak menafikan eksistensi peran dan jasa kelompok lain, Islam memberikan catatan penting sepanjang perjalanan Indonesia dalam meneguhkan kedaulatan, dari soal-soal politik kenegaraan, hingga kekuatan menjaga sumberdaya alam.
Pakar sejarah Nusantara, KH Agus Sunyoto, menceritakan bahwa kelompok Islam sejak masa pemerintahan republik awal mengalami pasang surut yang cukup menarik untuk diperhatikan. Ketua Pengurus Pusat Lembaga Seni Budaya Muslimin Nahdlatul Ulama (PP Lesbumi NU) ini juga mengatakan, kelompok Islam senantiasa berada di posisi sebagai pendukung pemerintahan yang sah guna menjamin wujudnya negara kesatuan Indonesia.
“Secara politis kekuatan Islam jatuh bangun dalam kabinet parlementer yang diwakili Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Namun secara informal di luar politik praktis, kalangan pesantren mendukung semua kebijakan Soekarno. Itu sebabnya, gerakan makar yang mengatas-namakan Islam seperti DI/TII, PRRI/ Permesta yang melibatkan Masyumi, diberantas Soekarno atas dukungan kalangan pesantren yang sejak 1955 keluar dari Masyumi menjadi NU,” kata Agus Sunyoto kepada medcom.id, Senin (4/1/2016).
Penulis buku berjudul Atlas Wali Songo ini juga memaparkan kecenderungan kelompok Islam saat itu yang kerap mendukung kebijakan Soekarno disebabkan pada satu titik kepentingan yang sama, yakni kepentingan melakukan perlawanan kepada dunia barat yang memberikan sinyal melakukan penjajahan dan eksplorasi kekayaan alam Indonesia dengan gaya yang cenderung baru.
“Kelompok Islam, terutama kaum pesantren sangat mendukung Soekarno. Semua keinginan Soekarno untuk membangun Barisan Nasional guna melawan Nekolim (Neo-Kolonialisme dan Neo-Imprealisme) didukung ulama NU mulai pembentukan Nasakom, PMII, Banser sebagai sukarelawan ke Malaysia, juga penganugerahan gelar Amirul Mu’minin bi dlarurati syaukati,” kata Agus.
Politik pecah-belah asing
Hubungan Indonesia – Amerika Serikat (AS) sejak awal kemerdekaan membentuk sebuah diagram dengan frekuensi yang berubah-ubah. Agus mengisahkan hubungan kedua negara ini mengalami pasang surut ditandai dengan kekurang-percayaan Soekarno kepada Amerika Serikat akibat karena keterlibatannya dalam Perjanjian Renville tahun 1948 dan Perjanjian Konferensi Meja Bundar pada tahun 1947 yang sangat merugikan Indonesia.
“Suasana memanas saat Soekarno melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing tahun 1957 yang ditandai pecahnya gerakan makar PRRI/Permesta 1957 - 1960 yang melibatkan Amerika. Hubungan RI – Amerika baru membaik di era Kennedy menjadi presiden Amerika,” kata dia.
Hubungan yang memanas ini tak membuat kelompok Islam tinggal diam. Agus menyebutkan, keberanian Soekarno dalam menolak dan melawan segenap bentuk provokasi dan intervensi asing juga dipengaruhi oleh kelompok tradisionalis Islam.
“Kalangan Islam, terutama pesantren berpandangan sama dengan Soekarno, bahwa Amerika adalah kekuatan Nekolim yang akan ‘menjajah’ Indonesia sebagai Neo-kolonialis Imperialisme. Sampai saat Soekarno mendekati kejatuhan tahun 1966, kalangan ulama NU masih menunjukkan kesetiaan dan dukungannya,” kata Agus.
Menyadari kekuatan politik Islam berada di balik keberanian Soekarno, kata Agus, maka kekuatan asing yang saat itu mulai banyak dipengaruhi AS mulai menjadikan Islam sebagai obyek yang mesti “diselesaikan” sejak awal. Mudahnya melakukan pecah-belah kelompok Islam ini, kata Agus, dengan memanfaatkan teori asosiasi yang dirintis Christian Snouck Hurgronje dalam Politik Etis 1901. Umat Islam pecah menjadi golongan modern yang umumnya lulusan sekolah dan golongan tradisional lulusan pesantren. Paradigma, dogma, doktrin yang dianut masing-masing golongan dalam memaknai agama telah membentangkan jurang yang sangat dalam yang sulit dijembatani.
“Meski sudah diusahakan bersatu dalam payung MIAI (Majelis Islam ‘Ala Indonesia) yang kemudian menjadi Masyumi, golongan modernis sulit disatukan dengan golongan tradisionalis hingga pecah sewaktu NU keluar dari Masyumi untuk saling berebut suara dalam Pemilu 1955,” jelas Agus.
Tidak sampai di situ, penekanan terhadap kelompok Islam juga berlanjut hingga masa peralihan Orde Baru. Pria yang akrab disapa Kiai Agus ini memaparkan, pengalaman pahit terutama sangat dirasakan kelompok Islam tradisional yang diwakili NU, karena sepanjang Soeharto berkuasa golongan ini dipinggirkan dari ranah kekuasaan karena menolak kompromi dengan Orde Baru.
“Sampai saat diberlakukannya Fusi Parpol tahun 1973, warga Islam Tradisional setia mengikuti Parpol PPP dan menolak mendukung Golkar sehingga tidak satu pun jabatan politik setingkat menteri diberikan.. Bahkan, tersebar pandangan stigmatic di kalangan NU, bahwa jangankan menjadi menteri, selama Orde Baru kuasa warga NU-pun tidak akan bisa untuk sekadar menjadi kepala KUA (Kantor Urusan Agama),” kata Kiai Agus.
Maka tak heran, jika terjadi pergolakan politik kenegaraan, terutama yang memiliki kaitan erat dengan kadaulatan sumberdaya alam di Indonesia, kelompok dan segala hal yang terkait “Islam” akan menjadi menarik untuk dijadikan sebagai bahan asing untuk menciptakan kondisi negara yang tidak kondusif.
“Gerakan kelompok-kelompok Islam yang radikal dan mengancam kesatuan NKRI itu sudah ada sejak dulu. Dan ini yang seoalah dijadikan alat pemecah belah kesatuan bangsa melalui isu SARA, padahal di tengah kericuhan, sumberdaya alam kita sedang terancam,” kata Agus.