Saat Presiden Soeharto berkuasa selama 32 tahun, salah satu yang menjadi pekerjaan rumah pemerintahannya adalah membentuk perusahaan-perusahaan plat merah untuk menjamin mimpi itu terlaksana. “Saat itu, perusahaan umum milik negara dibuat dengan peran masing-masing,” ungkap pengamat Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Muhammad Said Didu saat berbincang dengan metrotvnews.com, Jakarta, Kamis (2/6/2016).
Setiap Perum, sebutan BUMN kala itu, dibentuk dengan tugas dan tujuan berbeda. Jarang ada persinggungan ‘lapak’ walau ada beberapa perusahaan yang bekerja di sektor yang sama.
Untuk sektor pelayaran, pemerintah mendirikan beberapa perusahaan. Sebut saja PT PAL yang fokus membuat armada laut, PT Pelni yang mengurus angkutan pelayaran penumpang, dan Jakarta Loyd yang berkecimpung di bidang angkutan laut untuk barang. Begitu juga untuk sektor telekomunikasi. Beberapa perusahaan Perum didirikan pada era Orde Baru. Tak hanya perusahaan yang berlabel lokal, beberapa perusahaan dengan modal bentukan asing juga dibentuk untuk membangun jaringan telekomunikasi di Indonesia.
Peran dunia telekomunikasi akhirnya tidak bisa lepas jua dari perkembangan dunia antariksa nasional. Sebab, satelit pertama yang dimiliki Indonesia justru dibeli untuk kebutuhan dan dikelola perusahaan telekomunikasi.
“Kehidupan manusia era sekarang tidak bisa dilepaskan dari satelit. Bisa digunakan untuk penelitian, penginderaan jauh dan pertahanaan, tapi satelit komersil lebih banyak digunakan untuk telekomunikasi, lalu lintas data dan broadcast (penyiaran),” terang Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Thomas Djamaludin, Kamis (2/6/2016).
Mampukah Indonesia merealisasikan satu lagi misi barunya, berjaya di antariksa?
Satelit Palapa
Sejarah satelit di Indonesia banyak terkait dengan Perusahaan umum telekomunikasi (Perumtel). Perumtel sendiri telah lama berdiri di Indonesia dan bertugas menyediakan jasa telekomunikasi. Dalam perjalanannya, beberapa perusahaan plat merah dibentuk untuk fokus mengelola beberapa jenis layanan telekomunikasi.
“Telkom fokus untuk layanan telepon domestik. Kemudian ada yang fokus mengelola jaringan internasional yang memerlukan satelit. Itu Indosat,” kata Said Didu.
Dalam sejarahnya, Indosat didirikan pada tahun 1967 sebagai sebuah perusahaan penanaman modal asing pertama di Indonesia. Selang dua tahun setelah Presiden Soekarno lengser dan digantikan Soeharto.
Indosat yang didirikan dengan bisnis utama menyediakan layanan telekomunikasi internasional lewat satelit intenasional. Namun dalam perjalanannya, menjadi perusahaan asing pertama yang akhirnya dimiliki nasional.
Hampir sepuluh tahun lamanya Indonesia masih meminjam jasa satelit dari asing. Namun bersama pertumbuhan ekonomi, Indonesia pun membeli satelit dari Hughes (kini bernama Boeing) pada 1976.
Satelit Palapa A1 yang diluncurkan pada 8 Juli 1976 menjadi garis awal Indonesia memasuki dunia antariksa. Bahkan ini menjadi sejarah dan kebanggaan tersendiri bagi bangsa Indonesia.
“Indonesia jadi negara ketiga yang memiliki satelit di dunia. Setelah Amerika Serikat dan Kanada,” ungkap Djamaluddin.
Satelit dengan tipe HS-333 dan bermassa 574 kg tersebut menumpang roket Delta-2914 milik Amerika Serikat (AS) yang diluncurkan dari Kennedy Space Center, Tanjung Canaveral, AS. Satelit diterbangkan dan dilepas di atas Samudera Hindia untuk mengisi slot Orbit Geostasioner 83° BT.
Setahun setelah Palapa A1 diluncurkan, Palapa A2 diluncurkan dan ditempatkan di orbit 77° BT. Dua satelit Palapa generasi pertama nan kembar ini adalah program satelit yang menjadi kebanggaan Indonesia era 70an.
Program Satelit Komunikasi Palapa ini masih dilanjutkan hingga kini. Setidaknya sudah ada 11 satelit Palapa yang diterbangkan, walau beberapa diantaranya sempat ada yang bermasalah.
Salah satunya adalah Palapa B2. Satelit ini diluncurkan oleh pemerintah Indonesia menggunakan wahana luncur Challenger F4 bernomor STS-41B pada bulan Februari 1984. Namun satelit ini gagal mencapai orbit karena kerusakan roket. Satelit Palapa B2 dibeli dan didaur ulang oleh Sattel Technologies dan dibeli kembali oleh Perumtel dengan nama Palapa B2R.
Satelit lain yang sempat bermasalah adalah Palapa C1. Satelit ini sempat mengorbit dan berkontribusi untuk negeri namun gagal beroperasi. Pada Januari 1999, satelit beralih kepemilikan ke Hughes (pembuat satelit) dan berganti nama menjadi HGS3 dan disewa Kalitel dari AS pada tahun 2000. Satelit ini kembali berpindah tangan ke Pakistan pada Agustus 2002.
Pada perjalanannya, Satelit Palapa dikelola oleh perusahaan umum telekomunikasi yang dimiliki Nusantara. Namun polemik muncul saat Indosat mulai lepas dari tangan Indonesia. Dimulai sejak Satelindo dibentuk, dilanjutkan Indosat melantai di Bursa Efek Indonesia dan New York Stock Exchange pada 1994, dan puncaknya saat Indonesia dijual pada 2002.
Siapa pegang satelit?
Indosat, dan juga Satelindo yang didirikan 1993 dan dibeli Indosat, memonopoli pengelolaan satelit selama puluhan tahun. Bahkan hingga kini Indosat masih terus mengelola satelit walau kini lebih dikenal sebagai operator seluler.
Monopoli pengelolaan soal satelit komunikasi ini menjadi runyam saat krisis moneter menerjang Indonesia. Perdebatan akan kepemilikan dan hak pengelolaan satelit ini deras terdengar saat Indonesia berniat menjual Indosat saat krisis ekonomi.
“Kita tidak bisa tutup mata, memang perdebatan penjualan beberapa BUMN saat itu sangat deras,” kata Said Didu.
Kritikan dilayangkan paling keras saat Presiden Megawati Soekarnoputri memutuskan menjual Indosat pada 15 Desember 2002. Indosat saat itu dijual kepada Temasek Holding Company lewat Singapore Technologies Telemedia (STT).
Dengan menguasai Indosat, Temasek juga menguasai beberapa perusahaan di bawahnya. Bahkan beberapa diantaranya memiliki bisnis di sektor bernilai strategis. Sebut saja PT. Satelindo yang menguasai kepemilikan satelit Palapa dan operator SLI dan PT. Lintasarta yang menjadi penyedia jaringan antar bank.
Walau demikian Said Didu menyebut, Indonesia saat itu tidak memiliki pilihan banyak. Kondisi anggaran negara yang kosong memaksa Pemerintahan Indonesia di era paska krisis terpaksa mengambil langkah drastis yang dinilai banyak orang sangat tragis.
“Pilihannya yang saat itu mungkin bisa membantu, melakukan privatisasi dan menjual perusahaan negara yang dinilai sehat. Nah, yang saat itu memiliki nilai ya PT JICT (Pelabuhan peti kemas Tanjung Priok) yang sekarang, Semen Gresik, dan Indosat,” papar pria yang kini menjadi Staff Ahli Kementerian ESDM tersebut.
Namun sebenarnya, tambah Said, ketakutan akan kehilangan satelit yang bernilai vital tersebut seharusnya tak terlalu berlebihan. Sebab Indosat bukan satu-satunya pemilik dan yang berhak mengelola satelit Indonesia.
Sementara itu Djamaluddin menyebut, dari beberapa slot orbit yang dimiliki Indonesia, tak semuanya digunakan oleh Indosat. Beberapa di antaranya diisi oleh Telkom, Indovision dan perusahaan seluler.
“Semua slot orbit dan regulasi satelit itu diatur oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi. Lapan fokus ke barangnya. Dalam hal ini satelit,” kata Djamalludin.
Terlepas dari pro-kontra Indosat dan satelit nasional, pria yang lebih akrab disapa Djamal ini menyebut, Indonesia masih dapat dikatakan tertinggal dibanding Korea Selatan dan India di bidang antariksa.
Hitung mundur peluncuran mimpi kedaulatan antariksa
Perkembangan teknologi antariksa Indonesia mungkin tak sepesat negara maju lain. Bahkan posisi Indonesia yang memulai lebih awal dengan kepemilikan satelit ternyata dapat diambil alih negara lain seperti Korea Selatan dan India.
Namun bangsa Indonesia tak bisa terlalu pesimistis. Soal teknologi roket, dan satelit nasional mungkin Indonesia kalah dengan negara maju. Tetapi di anatara negara -negara berkembang, hanya Indonesia yang menguasai teknologi roket di kawasan ASEAN.
“Kalau satelit, saingan kita di ASEAN itu cuma Singapura, Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Tapi bisa dibilang kita terdepan,” kata Djamaluddin.
Walau teknologi antariksa dimulai dari tahun era-60an dan ditandai pembentukan LAPAN pada 1963, pengembangan teknologi antariksa Indonesia sendiri baru dikebut pada era pasca-reformasi. Beberapa hasil yang dibanggakan seperti program uji coba satelit mikro yang berhasil rampung September lalu.
Sebenarnya LAPAN, Satelit LAPAN A1 atau X1 yang menjadi eksperimen telah diluncurkan di India pada 10 Januari 2010. Satelit berbobot 57 kg dan bernilai Rp35 miliar ini masih tahap percobaan.
Satelit generasi berikutnya mulai dikerjakan di Jerman. LAPAN A2 yang merupakan hasil kerjasama dengan Organisasi Amatir Radio Indonesia (ORARI) berhasil dilincurkan September lalu. Satelit berbobot 70 kg dan memakan biaya Rp50 miliar ini sudah mulai digunakan untuk operasional walau masih menjadi percobaan.
“Indonesia sedang menyiapkan LAPAN A3 yang bekerjasama dengan IPB. Ini untuk memantau pertanian dan kapal laut. Bobotnya hampir 100 kg dan rencananya bisa diluncurkan pertengahan 2016 ke antariksa,” ujar dia.
Selain program pengembangan satelit, Indonesia bahkan berencana memiliki space port (stasiun roket) pada 2030-2035. Bisa dikatakan, program kedaulatan antariksa Indonesia sudah mulai menghitung mundur. Namun apa sebenarnya permasalahan yang dihadapi Lapan untuk mempercepat pertumbuhan industri antariksa nusantara?
“Klise. Anggaran dan sumber daya manusia,” ungkap Djamaluddin.
Anggaran LAPAN selalu dikaitkan dengan program. Tahun 2015 LAPAN ‘hanya’ mendapat Rp600 miliar, di 2016 sebesar Rp777 miliar. Sangat jauh jika dibandingankan negara-negara lain.
Jauh dari ideal kalau berbicara anggaran karena satu program pengembangan bisa memakan biaya puluhan hingga ratusan miliar. Bahkan tidak jarang terdengar anggaran pengembangan antariksa di negara lain mencapi triliunan rupiah.
Secara SDM, jumlah pakar antariksa yang mengabdi pun tak sampai ratusan orang. Hanya sekitar 50an. Masalah anggaran dan SDM ini terang sangat mempengaruhi perkembangan industri antariksa Indonesia. Djamaluddin berharap teknologi yang dapat bermanfaat bagi hajat hidup orang banyak ini semakin diperhatikan.
“Kalau memang ada rencana menyisihkan uang untuk memiliki untuk membeli Indosat, kenapa tidak diberikan saja untuk mengembangkan yang sudah jelas ada. Untuk Telkom atau membeli saham Telkomsel dari Singtel misalnya. Sekarang ini masih banyak jalan yang bisa dimanfaatkan,” pungkas Said Didu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News