Perjalanan ke Lombok kita mulai dengan mengunjungi sentra kerajinan tenun di Desa Sukarara, Lombok Tengah. Kecantikan kain-kain tenun benar-benar membuat lapar mata dan rasa ingin memiliki kain tradisional ini.
Ada salah satu motif klasik yang terkenal adalah subahnale. Motif ini adalah yang pertama sebelum motif lain dan memiliki makna yang sangat religius.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
"Nah subahnale ini asal katanya dari kata 'Subhanallah," kata Samsul, pengelola sentra tenun Bahri Weaving Group Desa Sukarara, Lombok Tengah.
Selain motif klasik, kita juga bisa temui motif yang kini tengah populer yakni rangrang. Ada yang berpendapat motif ini berasal dari Bali, namun ada juga yang menyakininya asli Lombok.
"Kalau yang mempopulerkan motif rangrang memang Bali. Tapi sebenarnnya kita punya motif yang lebih sederhana, namanya ajog-ajog. Cuma karena di Bali itu rangrang populer, permintaan dari konsumen tinggi dan harganya juga tinggi, dan kita di sini bikin dengan harga yang lebih bersaing, jadi ini motif baru yang booming," terangnya.
Bapak Samsul kemudian mengajak kita menemui perajin tenun tak jauh dari kediamannya. Di sini kita bisa belajar menenun dari mereka.
"Setiap penenun punya motif yang berbeda-beda, rata-rata mereka menyelesaikan satu helai kain dengan waktu satu bulan dengan motif yang tidak terlalu rumit tapi juga tidak sederhana," sambung pria yang memakai sarung adat Lombok ini.
Kain tenun made in desa Sukarara sudah banyak dibeli oleh wisatawan yang datang. Untuk memperluas pasar, Samsul rajin menyertakan hasil karyanya dalam pameran-pameran serta menggunakan media sosial.
Puas berbelanja kain tenun, kita berlanjut ke desa Sambalun di kaki Gunung Rinjani. Di sana, kita disambut tari Tandang Pendet. Tarian ini sebenarnya tarian perang, namun kini beralih fungsi sebagai tarian untuk menyambut tamu.
Menurut hikayat, Sembalun sudah ada sejak sebelum Rinjani meletus hebat pada abad ke-13. Pada saat itu namanya adalah Gunung Samalas.
"Warga saat itu mengungsi ke timur. Setelah letusan reda, ada tujuh keluarga yang kembali ke Sembalun. Tapi ada saja halangannya sehingga mereka berpikir Sembalun memang tidak untuk ditinggali lagi lalu pindah ke tempat lain," papar Mertawi, pemangku adat Sembalun.
Di dalam perjalanan, rombongan warga dengan seseorang yang mengaku bernama Raden Aryamangunjaya dari Majapahit. Bersama-sama mereka mencari tempat tinggal baru dan dipilihlah lahan yang penuh dengan batu-batu vulkanik.
"Desa baru itu juga dinamakan Sembalun, artinya patuh kepada pemimpin," sambung Mertawi.
Selain kearifan lokalnya, ada hal yang sayang jika dilewatkan saat berkunjung ke desa ini. Kita bisa menyaksikan tarian Gendang Blek dan Baca Lontar, yakni sebuah ritual yang dilakukan masyarakat setempat saat akan bercocok tanam di sawah maupun ladang.
Seharian berjalan-jalan, tak terasa perut sudah keroncongan dan waktunya santap siang. Tak afdol juga rasanya jika tak mencicipi sajian kuliner khas Lombok, di Lesehan Green Asri ini lah, kita bisa memuaskan hasrat menyantap kudapan khas.
Di hadapan mata sudah tersaji sambal bebedok, sayur lebui, ayam bakar taliwang yang pedasnya nendang, sambal bawang teri dan tentunya plecing kangkung. Semuanya benar-benar menggugah selera, ditambah dengan suasana resto yang benar-benar asri dengan pepohonan di sekitar.
Penasaran dengan kelanjutan perjalanan ini? Simak perjalanan Yovie Widianto dan Renitasari Adrian dalam IDEnesia di Metro TV pada Kamis (16/4/2015) pukul 22.30 WIB. Jangan lupa, ikuti kuis IDEnesia dan Galeri Indonesia Kaya dengan follow twitter @IDEnesiaTwit atau @IndonesiaKaya.
Ingat, ada bingkisan menarik bagi pemenangnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News(LHE)