Sebanyak 4 persen hingga 10 persen orang dewasa mengalami batuk kronis yang merepotkan. (Ilustrasi/Pexels)
Sebanyak 4 persen hingga 10 persen orang dewasa mengalami batuk kronis yang merepotkan. (Ilustrasi/Pexels)

Obat Baru untuk Batuk Kronis yang Sulit Diobati

Rona obat batuk batuk
Sunnaholomi Halakrispen • 02 Mei 2020 16:05
Jakarta: Sebanyak 4 persen hingga 10 persen orang dewasa mengalami batuk kronis yang merepotkan, definisi dari batuk yang berlangsung lebih dari delapan minggu. Tetapi, obat baru mungkin menawarkan bantuan yang sudah lama dicari.
 
Dilaporkan pada 25 Februari 2020 di The Lancet Respiratory Medicine, peneliti Inggris mengatakan obat eksperimental, yang disebut gefapixant, mampu memblokir reseptor seluler. Reseptor itu yang merupakan kunci refleks batuk.
 
"Banyak pasien dengan batuk kronis terdorong untuk mencari pengobatan karena dampak negatifnya yang signifikan terhadap kualitas hidup mereka, tetapi saat ini dokter tidak dapat membantu," ujar pemimpin studi Jacky Smith, seorang profesor di Universitas Manchester, di Inggris, dikutip dari WebMD.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


"Ini adalah studi pertama yang melaporkan pengobatan yang aman dan efektif untuk jangka panjang," tambahnya. 
 
Dia menambahkan bahwa uji coba fase tiga sudah berlangsung dengan kelompok orang yang lebih besar dan dalam jangka waktu yang lebih lama. Uji coba ini didanai oleh pembuat obat, Merck, dan melibatkan 253 peserta Amerika dan Inggris. 
 
Semua telah menderita batuk yang tidak dapat dijelaskan atau tidak dapat diobati yang telah berlangsung selama rata-rata hampir 15 tahun. Tiga perempat adalah wanita, sebagian besar atau 70 persen tidak pernah merokok, dan pasien rata-rata berusia 60 tahun.
 
Para pasien menerima plasebo dummy atau gefapixant dua kali sehari selama tiga bulan. Mereka yang menerima obat diberikan satu dari tiga dosis: 7,5 miligram (mg), 20 mg, atau 50 mg.
 
Selain itu, setiap orang diminta untuk membuat buku harian batuk dan mereka juga memakai alat yang mencatat batuk mereka selama 24 jam.
 
Sebelum penelitian dimulai, pasien batuk sekitar 24 hingga 29 kali dalam satu jam. Tetapi setelah masa percobaan, kelompok plasebo batuk 18 kali dalam satu jam, dibandingkan dengan 11 batuk per jam di antara pasien dalam kelompok gefapixant 50 mg, perbedaannya 37 persen.
 
Para pasien dalam kelompok gefapixant 7,5 mg dan 20 mg memiliki tingkat batuk sedikit lebih rendah daripada mereka yang berada dalam kelompok plasebo. Tetapi, kata para peneliti, perbedaannya tidak signifikan secara statistik.
 
Efek samping yang paling umum di antara pasien dalam penelitian ini adalah perubahan indera perasa mereka. Dua ahli yang tidak berhubungan dengan penelitian ini mengatakan obat apa pun yang membantu meredakan batuk kronis sudah lama tertunda.
 
"Siapa pun yang menciptakan perawatan untuk mengendalikan batuk kronis akan membantu jutaan pasien menjalani kehidupan yang lebih nyaman," tutur Dr. Theodore Maniatis, direktur medis di Staten Island University Hospital di New York City. 
 
Ia menjelaskan bahwa sekali tersangka batuk biasa, maka asma, refluks asam, dan lainnya, dikesampingkan. Pasien yang tersisa diasumsikan memiliki mekanisme refleks batuk hipersensitif.
 

"Gefapixant bertindak dengan memusuhi aktivitas salah satu reseptor (sekelompok bahan kimia di ujung saraf) dan dengan demikian mengurangi transmisi impuls saraf ke pusat batuk," jelas Maniatis.
 
Dia berharap obat baru terbukti berhasil. Sementara itu, efek plasebo yang kuat dalam penelitian ini, masih ditelusuri untuk memperkuat validitas hasilnya.
 
"Obat yang diselidiki terlalu baru untuk memastikan keefektifan dan efek sampingnya. Tetapi ada beberapa hasil yang menjanjikan sejauh ini," ucap dr. Margarita Oks, ahli paru di Lenox Hill Hospital di New York City. 
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(YDH)


social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif