Lalu, jika melakukan perilaku berisiko tersebut, kapan sebaiknya melakukan tes HIV/AIDS?
"Virus HIV/AIDS dalam tubuh cenderung naik drastis dalam tiga bulan pertama. Jadi, setelah berhubungan seksual, bisa jadi hasilnya negatif," ujar dokter pribadi yang fokus pada HIV/AIDS dr. Ronald Jonathan, MSc, DTM&H dalam lokakarya jurnalis Rumah Cemara, di Bandung, Rabu 26 September 2018.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Oleh karena itu, ia menyarankan untuk melakukan tes HIV/AIDS lagi tiga bulan kemudian untuk memastikan apakah memang positif atau tidak.
(Baca juga: Pengobatan yang Tepat Cegah HIV Berkembang Menjadi AIDS)
(Beberapa penyakit penyerta HIV/AIDS adalah seperti penyakit herpes, jamur di lidah, seperti gejala campak, radang tenggorok, tuberkulosis ekstra pulmonal, atau dermatitis seboroik. Foto: Ilustrasi. Dok. Rawpixel/Unsplash.com)
Selanjutnya, keadaan tersebut akan stabil selama tiga hingga lima tahun dan kembali naik lagi. Sel CD4, bagian sel darah putih, yang diserang oleh virus HIV/AIDS, akan terus mengalami penurunan dari angka normal 400-1.500 dalam kurun waktu rata-rata 5-10 tahun.
Penurunan tersebut akan cenderung diikuti dengan munculnya penyakit karena kekebalan tubuh yang makin rendah. Beberapa penyakit penyerta tersebut adalah seperti penyakit herpes, jamur di lidah, seperti gejala campak, radang tenggorok, tuberkulosis ekstra pulmonal, atau dermatitis seboroik.
"Tanda-tandanya seperti terkena flu, atau tak ada gejala pasti. Tapi umumnya, 90 persen ada penyakit peserta."
Namun, ada beberapa kasus di mana penderita tidak menunjukkan gejala apapun. Oleh karena itu, sangat disarankan melakukan tes HIV/AIDS, tegasnya.
Saat ini, tes HIV/AIDS diprioritaskan pada pasien dengan kategori tertentu seperti ibu hamil, tuberkulosis, penyakit kelamin, dan keluhan yang berkaitan dengan HIV/AIDS seperti diare jangka panjang (misalnya satu bulan) atau terkena herpes dengan area permukaan kulit cukup luas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News(TIN)
