Hari AIDS Sedunia pertama kali diperingati pada 1 Desember 1988. Penetapannya digagas oleh dua pejabat Program Global on AIDS di Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), James W. Bunn dan Thomas Netter. Mereka mengusulkan adanya satu hari internasional untuk meningkatkan kesadaran publik mengenai HIV/AIDS yang pada akhir 1980-an sedang meningkat cepat.
Tanggal 1 Desember dipilih karena berada di jeda antara pemilu Amerika Serikat dan libur Natal, sehingga perhatian media global dapat lebih terfokus pada isu kesehatan ini. Sejak 1996, penyelenggaraannya berada di bawah koordinasi UNAIDS.
Sebelum membahas isu global terkini, Sobat Medcom perlu memahami perbedaan mendasar antara HIV dan AIDS. Melansir laman resmi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, khususnya sel darah putih, sehingga melemahkan pertahanan tubuh terhadap infeksi. Sementara itu, Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) adalah tahap infeksi yang paling lanjut yang terjadi jika HIV tidak diobati.
Hingga saat ini, belum ditemukan obat yang dapat menyembuhkan infeksi HIV sepenuhnya. Namun, HIV dapat dikelola dan diobati menggunakan Terapi Antiretroviral (ARV).
Obat ini bekerja menekan jumlah virus di dalam tubuh, mencegah perkembangan menjadi AIDS, dan memungkinkan Orang Dengan HIV (ODHIV) untuk hidup sehat dan produktif. Secara historis, epidemi ini merupakan salah satu tantangan kesehatan terbesar dunia, yang diperkirakan telah merenggut 44,1 juta nyawa sejak awal kemunculannya hingga kini.
Pada tahun ini, Hari AIDS diwarnai dengan tantangan serius. Situasi tahun 2025 dihadapkan pada perubahan lanskap pendanaan kesehatan global yang signifikan. Pengurangan bantuan pembangunan resmi dan pergeseran prioritas anggaran di berbagai negara berisiko memicu gangguan pada sistem kesehatan.
WHO menyoroti gangguan pendanaan ini dapat menghambat akses terhadap layanan pencegahan, tes, dan pengobatan yang selama dua dekade terakhir berhasil menekan angka kematian dan infeksi baru. Tanpa intervensi strategis, dunia berisiko mengalami kemunduran dalam capaian kesehatan yang telah diraih dengan susah payah.
Merespons keterbatasan sumber daya tersebut, WHO merekomendasikan negara-negara untuk menerapkan strategi penetapan prioritas layanan atau priority-setting yang ketat. Tujuannya adalah memastikan layanan kesehatan yang paling krusial tetap berjalan tanpa henti, meskipun anggaran terbatas.
Layanan prioritas utama (Tier 1) yang wajib dipertahankan meliputi:
- Pengobatan ARV rutin untuk semua kelompok usia, serta program pencegahan penularan dari ibu ke anak yang sangat vital untuk memutus rantai epidemi.
- Pencegahan Penularan Ibu ke Anak: Layanan ini sangat kritis untuk mengeliminasi penularan vertikal dari ibu hamil ke janin, demi menyelamatkan generasi mendatang.
- Keamanan Produk Darah: Memastikan setiap transfusi darah di fasilitas kesehatan aman dari kontaminasi HIV dan hepatitis.
- Tes dan Diagnosis: Deteksi dini melalui tes HIV di fasilitas kesehatan maupun berbasis komunitas tetap menjadi pintu gerbang utama penanganan.
Dunia memiliki target 95-95-95 untuk tahun 2025, yang berarti 95 persen orang dengan HIV mengetahui statusnya, 95 persen dari mereka mendapatkan pengobatan ARV, dan 95 persen yang berobat berhasil menekan jumlah virusnya (virally suppressed).
Capaian global saat ini berada di angka 87 persen mengetahui status, 89 persen mendapat pengobatan, dan 94 persen berhasil menekan virus. Angka ini menunjukkan edukasi dan akses layanan harus terus ditingkatkan. Dalam seruan aksinya, WHO mengajak masyarakat sipil untuk terus bersuara melawan stigma dan diskriminasi yang kerap menjadi penghalang akses kesehatan. (Sultan Rafly Dharmawan )
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
Viral! 18 Kampus ternama memberikan beasiswa full sampai lulus untuk S1 dan S2 di Beasiswa OSC. Info lebih lengkap klik : osc.medcom.id