Berita tentang informasi Ramadan 2024 terkini dan terlengkap

Ngabuburit di Masjid Terapung Palu/Ant/MOHAMAD HAMZAH.
Ngabuburit di Masjid Terapung Palu/Ant/MOHAMAD HAMZAH.

Hakikat Puasa Ramadan

30 Juni 2014 15:43
PUASA Ramadan merupakan kewajiban setiap muslim untuk meraih ketakwaan sebagaimana ditegaskan Allah SWT secara gamblang dalam Alquran surat Al-Baqarah:183. Ketakwaan merupakan tingkatan tertinggi, sehingga seseorang layak untuk mendapatkan kemuliaan di sisi Allah SWT.
 
Firman Allah SWT: “Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian di sisi Allah SWT adalah orang yang paling bertaqwa kepada-Nya” (QS. Al-Hujurat: 13). Setiap muslim yang beriman seyogyanya selalu berupaya mengejar derajat mulia tersebut dalam hidup dan kehidupannya.
 
Untuk meraih derajat takwa, puasa merupakan salah satu sarana yang paling efektif karena puasa adalah tameng yang sangat ampuh dalam melatih dan mendorong seorang muslim untuk berakhlak mulia serta melatih dirinya menjadi sosok yang terbiasa menjalankan ketaatan kepada Allah SWT.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Rasulullah SAW bersabda, “Puasa adalah tameng, maka apabila salah seorang dari kalian sedang berpuasa janganlah dia berkata kotor dan janganlah bertengkar dengan mengangkat suara. Jika dia dicela dan disakiti maka katakanlah, ‘Saya sedang berpuasa’.” (HR. Muslim). Oleh karena itu, esensi puasa sebetulnya adalah tunduk-patuh pada perintah dan larangan Allah SWT. Itulah takwa, yang memang menjadi target yang harus diraih dari amalan puasa Ramadan.
 
Hakikat puasa Ramadan sebenarnya bukan sekadar menahan lapar dan dahaga sebagaimana puasa kebanyakan orang. Kata Nabi SAW, “Betapa banyak orang berpuasa namun puasanya hanya sekadar menahan lapar dan dahaga saja” (HR. An-Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad).
 
Seseorang ketika melaksanakan puasa pada hakikatnya dia telah mempuasakan seluruh anggota tubuh dan panca inderanya dari hal-hal yang membatalkan puasa dan pahala puasanya. Ketika seseorang berpuasa hanya menahan lapar dan dahaga tanpa mampu menjaga anggota tubuh dan panca inderanya sehingga sikap dan akhlaknya jauh dari tuntunan agama, seperti berdusta, bergunjing, memfitnah, sumpah palsu, dan sikap-sikap tercela lainnya, sesungguhnya Allah SWT tidak memerlukan puasa yang dia kerjakan walaupun dia tidak makan dan minum.
 
Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah SWT tidak memerlukan (puasanya) meskipun dia tidak makan dan minum” (HR. Bukhari). Sahabat Rasulullah SAW Jabir bin ‘Abdillah ra pernah berkata, “Seandainya kamu berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu turut berpuasa dari dusta dan hal-hal haram serta janganlah kamu menyakiti tetangga.”
 
Dalam suatu riwayat disebutkan, suatu hari Nabi SAW mendengar seorang wanita tengah mencaci-maki hamba sahayanya, padahal ia sedang berpuasa. Nabi SAW segera memanggilnya. Lalu Beliau menyuguhkan makanan seraya berkata, “Makanlah hidangan ini”. Karuan saja wanita itu menjawab, “Ya Rasulullah, aku sedang berpuasa”. Nabi SAW berkata dengan nada heran, “Bagaimana mungkin engkau berpuasa sambil mencaci-maki hamba sahayamu?”
 
Sesungguhnya Allah menjadikan puasa sebagai penghalang (hijab) bagi seseorang dari segala kekejian ucapan maupun perbuatan. "Betapa sedikitnya orang yang berpuasa dan betapa banyaknya orang yang lapar” (HR Bukhari). Imam Abu Hamid Al Ghazali pernah menyatakan kesempurnaan puasa adalah dengan mencegah segenap anggota badan, dari segala hal yang tidak disenangi oleh Allah SWT menjaga mata dari melihat hal-hal yang tidak disenangi oleh Allah SWT, menjaga lisan dari mengucapkan hal-hal yang tidak bermakna, serta menjaga telinga dari mendengarkan hal-hal yang diharamkan Allah SWT.
 
Syaikh DR Yusuf al-Qardhawi dalam kitab Taisir al-Fiqh menjelaskan hakikat puasa meliputi tiga hal:
 
Pertama, menundukkan syahwat (Kasr al-Syahawat). Manusia makhluk yang tidak terpisahkan dari syahwat dan hawa nafsu. Tidak jarang di antara manusia didominasi dan menjadi budak syahwat dan hawa nafsu. Syahwat sering mendorong manusia melakukan tindakan keji dan tercela yang bertentangan akal sehat dan nilai-nilai kebaikan. Rasulullah SAW memperingatkan dalam hadisnya bahwa neraka dikelilingi oleh berbagai syahwat dan kesenangan, sedangkan surga senantiasa diliputi oleh hal-hal yang tidak disukai manusia. Dengan puasa seseorang dilatih untuk mampu meninggalkan dan mengendalikan syahwatnya karena mengharapkan rahmat dan ridlo Allah SWT.
 
Kedua, menyempitkan jalan dan peluang syetan (Tadhyiq Majra al-Syaithan). Syetan adalah musuh terbesar manusia. Setiap saat dia berusaha menyesatkan manusia dan memalingkan manusia dari jalan kebenaran, bahkan menyusup melalui aliran darah manusia. Syetan (baik dari kalangan jin maupun manusia) menggunakan sarana syahwat untuk mengalahkan manusia.
 
Syahwat terbagi menjadi dua macam, yaitu syahwat yang timbul dari perut dan dari kemaluan. Syahwat ini bisa menjadi bertambah kuat karena makanan dan minuman. Selama ladang syahwat tetap subur, maka syetan bisa bebas berkeliaran di tempat gembalaan yang subur itu. Tetapi jika syahwat dipersempit dengan berpuasa maka jalan ke sana juga menjadi sempit bagi syetan. Ada banyak riwayat yang menjelaskan bahwa syetan terbelenggu di dalam bulan Ramadan, sehingga menjadi sempit ruang geraknya menggoda manusia, kemudian potensi jahatnya terbelenggu. Inilah keistimewaan puasa yang memiliki potensi mengalahkan musuh Allah SWT.
 
Ketiga, bersungguh-sungguh di jalan Allah (Jihad al-Nafs fi Dzatillah). Puasa mendidik seseorang untuk memiliki kemauan yang sungguh-sungguh dalam kebaikan, meskipun untuk melaksanakan kebaikan itu terhalang oleh berbagai kendala. Puasa yang baik akan membuat seseorang terus mempertahankan keinginannya yang baik, meskipun peluang untuk menyimpang begitu besar.
 
Ekspresi yang diungkapkan lewat puasa ini mewakili bentuk penguasaan diri, dan usaha dalam mengatasi kesenangan-kesenangan jasadi dan berbagai kenikmatan badani demi kecintaan Allah yang penuh berkat, kedekatan kepada-Nya dan gairah untuk memperoleh keridhaan-Nya. Seseorang yang berpuasa akan bersungguh-sungguh melakukan hal-hal yang terbaik dalam hidupnya. Dia tidak akan menyia-nyiakan sedikitpun nikmat kesempatan dan waktu yang diberikan untuk perkara yang kurang bermanfaat atau melalaikan sebagaimana sabda Nabi SAW, “Di antara tanda-tanda baiknya keislaman seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tidak bermanfaat baginya” (HR. Tirmidzi).
 
Demikianlah hakikat puasa yang terdalam bahwa puasa tidak hanya sekadar ritual menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa agar puasanya sah. Juga tidak hanya sekadar menahan diri dari segala hal yang menghilangkan atau mengurangi pahala puasa agar puasanya bernilai pahala. Akan tetapi juga menahan diri dari sikap berlebihan dalam segala perkara mubah yang sia-sia, tidak berfaedah, atau kurang membawa manfaat, agar pahala yang ia dapatkan maksimal, semaksimal-maksimalnya.
 
Penulis: Kardita Kintabuwana (Dewan Syariah Rumah Zakat)
E-mail: kardita@rumahzakat.org

 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(DOR)
LEAVE A COMMENT
LOADING
social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif