Seperti tahun lalu, Metrotvnews.com kembali berkesempatan berbincang dengan Candra Malik, seorang budayawan sufi dan Wakil Ketua Lembaga Seni dan Budaya Muslim Indonesia pada Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lesbumi PBNU).
Gus Can, demikian ia akrab disapa, bicara banyak soal waktu.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Gus Can, apa yang paling membahagiakan dalam bulan puasa tahun ini, Ramadan 1438 H?
Tentu saja, waktu ya. Alhamdulillah, Allah masih memberi kita waktu. Di dalam waktu itulah terkandung usia. Dan, di dalam usia itulah terkandung kekinian kita.
Saat ini, sekarang, adalah suatu bilangan waktu hanya datang sekejap, lebih cepat dari cepat, dan tak kan pernah terulang. Sesaat sebelumnya, ia adalah masa depan. Sesaat sesudahnya, ia adalah masa lalu.
Nah, yang paling membahagiakan dari Ramadan tahun ini adalah Allah masih menganugerahkan waktu bagi kita untuk tidak hanya memasuki bulan suci ini, namun juga berpuasa dan beribadah dengan tulus.
Bukankah sikap bersyukur atas waktu harus setiap waktu itu sendiri, Gus? Tidak perlu menunggu Ramadan tiba
Benar. Dan, mari kita lipat gandakan rasa syukur kita itu di bulan Ramadan.
Nabi Muhammad SAW bahkan secara khusus mengajari kita untuk berdoa di bulan Rajab untuk memohon keberkahan di bulan tersebut, juga di bulan Syakban, dan memohon agar usianya sampai di bulan Ramadan.
Siapa pun, saya yakin, berharap dapat menjumpai bulan di mana Alquran diturunkan, Lailatul qadar yang senilai seribu bulan dihadiahkan, pahala dilipat-gandakan, bahkan puasa kita dikhususkan sebagai persembahan hanya untuk Allah.
.jpg)
Budayawan Sufi, Penulis Buku Makrifat Cinta, Candra Malik/ist
Sesungguhnya, apa rahasia yang ada di dalam waktu?
Allah bahkan bersumpah, 'Demi masa,' atau demi waktu.
Rasulullah Muhammad SAW bersabda, 'Salatlah pada waktunya.' Kemudian, Sayyidina Ali bin Abi Thalib juga mengibaratkan waktu adalah pedang, yang jika tidak kita gunakan maka kita justru akan ditebas oleh pedang itu.
Masyarakat modern juga mengenal idiom 'waktu adalah uang'. Time is money. Time, bukan experience, bukan knowledge, bukan networks, dan lain-lain.
Dalam Q.S Al Ashr: 1-3, Allah bahkan menegaskan, sampai-sampai Dia bersumpah, 'Demi waktu,' bahwa sesungguhnya manusia dalam kerugian. Itu artinya kerugian, sebagaimana keberuntungan, ada di dalam waktu.
Penderitaan dan kebahagiaan ada di dalam waktu. Jika mengharapkan kebahagiaan, maka manfaatkanlah waktumu. Untuk apa? Untuk beriman, beramal saleh, mengingatkan pada kebenaran, dan mengingatkan pada kesabaran.
Nah, apalagi di bulan Ramadan seperti sekarang, Allah menghadiahkan waktu-waktu yang utama. Mari kita gunakan sebaik-baiknya.
Lebih jauh tentang 'sekarang' Gus, mohon dijelaskan.
Baik. Allah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan. Ada siang, ada malam. Ada kiri, ada kanan. Ada gemuk, ada kurus. Ada tinggi, ada rendah. Ada langit, ada bumi. Ada surga, ada neraka. Ada laki-laki, ada perempuan. Ada nanti, ada tadi. Ada besok, ada kemarin.
Nah, tapi ada ciptaan Allah yang tidak punya pasangan. Apa itu?
Sendiri! Ya, sendiri. Hahaha.
Sendiri kan memang tidak ada pasangannya, ya. Tapi saya tidak sedang meledek kaum jomblo.
Lalu, yang tidak ada pasangannya ialah 'sekarang'.
Gunakanlah sendirimu sekarang juga. Jangan tunda-tunda lagi. Dalam bahasa agama, kita menyebutnya: bersegeralah. Bersegera gunakan sendirimu; tidak perlu menunggu teman, tidak usah menunggu datang musim. Sekarang juga, jangan tunda-tunda lagi, untuk berbuat yang terbaik sekali seumur hidup!
Mengapa sekali seumur hidup? Karena, tidak ada jaminan kita akan bertemu dengan 'sekarang' yang nanti. Yang nyata bagi kita adalah 'sekarang' yang sekarang ini. Maka, lakukan yang terbaik. Jika pun kita bertemu dengan 'sekarang' yang nanti, tetaplah sadari itu sebagai sekarangmu yang terakhir.
Oleh karena itulah, tetap berikan yang terbaik. Lakukan yang terbaik. Jika memahami ini, niscaya kita senantiasa berbuat baik, lebih baik, dan yang terbaik, sepanjang usia ketika masih bertemu dengan sekarang.
Termasuk jika kita menyadari bahwa ini adalah Ramadan kita yang terakhir, karena tidak ada di antara kita yang tahu kapan akan diwafatkan, maka niscaya kita akan gunakan waktu sebaik-baiknya untuk mempersembahkan puasa terbaik kita, dan ibadah lainnya, untuk Allah semata. Lillahi ta'ala.
Apakah bisa dikatakan bahwa ia yang sadar akan waktu, sesungguhnya sadar akan kematian?
Ya, tepat sekali! Dan, kesadaran terhadap kematian ini niscaya didasarkan atas kesadaran terhadap kehidupan.
Hidup dengan kesadaran, bernapas dengan kesadaran, bahkan berzikir dalam setiap hela napas, salat dengan kesadaran, beribadah dengan kesadaran, dan seterusnya.
Barangsiapa yang sadar terhadap kehidupannya, maka ia akan terus-menerus belajar mengenal dirinya sendiri. Man arafa nafsahu faqad arafa rabbahu, siapa mengenal diri maka ia mengenal Tuhannya. Dan wawas diri.
Jika sudah mau belajar mengenal diri sendiri, maka seseorang akan belajar memahami siapa sesungguhnya dia, dari mana dia berasal, untuk apa dia hidup di dunia, ke mana dia meneruskan perjalanan setelah wafat, dan seterusnya.
Di dalam kesadaran atas waktu, terkandung kesadaran atas kehidupan dan kematian, dan terkandung kesadaran atas inna lillahi wa inna ilaihi rajiuun, sesungguhnya segala sesuatu berasal dari Allah dan kembali kepada Allah.
Wajar jika kemudian ada adagium di dunia spiritual Islam bahwa sekali mengingat kematian lebih baik daripada ibadah 70 tahun. Apalagi, kalau sepanjang hidup ini kita gunakan untuk beribadah, dan setiap ibadah kita dilandaskan pada kesadaran atas batas waktu hidup, yaitu kematian, maka alangkah dekat kebahagiaan di hadapan kita.
Inilah kebahagiaan yang hakiki bagi orang-orang yang bertakwa. Semoga, pada Ramadan ini, Allah mengaruniakan ketakwaan pada kita. Aamiin ya Rabbal 'aalamiin.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News (SBH)
