Peter Carey, dalam Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) yang terbit pada 2014 menyebut, 200.000 jiwa orang Jawa, 8.000 tentara Belanda, juga 7.000 serdadu pribumi tewas selama perang berlangsung.
Dalam satu babak, ada yang menarik dalam pertempuran yang juga masyhur disebut Perang Diponegoro ini. Tepatnya ketika Pangeran Diponegoro tiba di perbukitan Menoreh, wilayah pegunungan yang membentang di bagian barat Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta, hingga ke timur Kabupaten Purworejo dan Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Di Menoreh, tak ada lagi hasrat perang dalam benak pangeran yang ulama itu. Penanggalan 21 Februari 1830, memang bertepatan dengan 3 atau 4 hari jelang masuknya Ramadan dalam kalender Hijriah.
Kepada Wakil Angkatan Perang Belanda, Cleerens, Pangeran Diponegoro berkata;
"Saya dalam bulan Ramadan tidak mau mengadakan parapatan agung, karena Ramadan ialah bulan yang sangat suci," sebagaimana ditulis M. Nasruddin Anshoriy Ch dalam Bangsa Inlander: Potret Kolonialisme di Bumi Nusantara (2008).
Parapatan, istilah dalam perundingan pun; enggan. Apalagi perang.
Tapi, Belanda memang licik. Keengganan Pangeran Diponegoro untuk membahas peperangan dimanfaatkan untuk mengatur siasat berupa jebakan. Belanda seolah menyepakati, beberapa pertemuan yang dilakukan lebih kepada akad ramah tamah.
Tak peduli Belanda mau apa, mungkin itu yang ada di benak Pangeran Diponegoro dan sekira 800 prajurit yang turut serta. Mereka, cuma ingin menjadikan Ramadan sebagai bulan tenang, tanpa peperangan.
Di tepi sungai Progo, rombongan Pangeran Diponegoro menghabiskan waktu selama Ramadan untuk beribadah dan berlatih kanuragan.
Sementara itu, penjajah Belanda tak habis akal. Sekali waktu mereka datang mengantarkan upeti. Kadang seekor kuda, atau juga uang. Bahkan, Belanda membebaskan keluarga Diponegoro yang ditawan di Semarang dan Yogyakarta untuk turut bergabung selama sebulan.
"Ada niatan buruk Belanda yang ingin menjebak dan menangkap Pangeran Diponegoro," tulis Nasrudin masih dalam buku yang sama.
Dengan keadaan damai yang seolah didukung penjajah, Belanda berharap, Pangeran Diponegoro dan pasukannya luluh. Lantas tak ada lagi perlawanan.
Hebatnya, tak sejengkal pun tekad Pangeran Diponegoro luntur. Ia tetap menganggap Belanda sebagai musuh. Lebih baik gugur, dibanding takluk dalam rayuan kolonial.
Dan benar saja, dua hari setelah Lebaran tiba. Pertempuran meletus. Kalah kekuatan, Pangeran Diponegoro ditangkap Belanda pada 28 Maret 1830.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News (SBH)
