Berita tentang informasi Ramadan 2024 terkini dan terlengkap

Halaman luar Masjid Pathok Negoro Plosokuning. Medcom.id/Mustaqim
Halaman luar Masjid Pathok Negoro Plosokuning. Medcom.id/Mustaqim

Masjid Pathok Negoro Plosokuning, Tempat Mengaji hingga Bahas Negara

Ahmad Mustaqim • 14 Mei 2019 10:38
Sleman: Sayup-sayup suara anak mengaji terdengar di Masjid Pathok Negoro yang beralamat di Jalan Ploso Kuning Raya Nomor 99 Minomartani, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Senin, 13 Mei 2019. Masjid yang didirikan Raja Kraton Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) I ini tak pernah sepi, sekalipun di luar bulan ramadan.
 
Sore itu, anak-anak mengaji di bawah bimbingan sejumlah anak muda yang dilakukan serambi masjid. Mereka antre satu per satu menunggu giliran mengaji, baik itu untuk kitab iqra', juz amma, hingga Alquran.
 
Selama bulan ramadan, kegiatan di masjid yang berdiri di atas lahan seluas 3 ribu meter persegi itu tak pernah lekang oleh waktu. Kegiatan bisa berupa pengajian untuk anak-anak, orang tua, salat tarawih, tadarus, itikaf, hingga salat malam.

Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?


Untuk berbuka puasa, takjil maupun makanan biasa disediakan masyarakat sekitar. Minuman dan makanan ringan biasa diberikan untuk anak-anak. Terkadang, takmir juga menerima sedekah berupa makanan beserta lauk dari warga untuk jemaah.
 
"Kalau kegiatan ramadan ini bahkan dari sore sampai pagi ada kegiatan. Bahkan pagi ada kegiatan sahur bersama," kata seorang takmir masjid, Kamaludin Purnomo saat ditemui Medcom.id di Masjid Pathok Negoro Plosokuning.
 
Masjid Pathok Negoro Plosokuning, Tempat Mengaji hingga Bahas Negara
Kegiatan mengaji anak-anak di serambi masjid.
 
Masjid bersejarah ini tak hanya ramai di bulan ramadan. Kamaludin mengatakan, masyarakat sekitar seperti sudah menjadikannya seperti pesantren. Jadwal kegiatan keagamaan selalu ada selama sepekan, bahkan siapapun bisa mengikuti.
 
Sejumlah kegiatan hari biasa yang selama ini berjalan, seperti hafalan Alquran saat malam Senin. Lalu tadarus Alquran (malam Selasa), berbagai kajian kitab (malam Rabu), sarasehan yang pesertanya khusus berpakaian Jawa (malam Kamis), tahlilan (malam Jumat), dan kajian kitab kuning (malam Sabtu).
 
"Masjid ini juga biasa dijadikan tempat kegiatan sosial kemasyarakatan, rembug masyarakat, bisa soal keagamaan, hingga soal negara. Kami juga melakukan kegiatan kesenian tradisi salawatan Jawa, tari rodat, tari sufi, hingga Badui," ungkapnya.
 
Masjid Pathok Negoro Plosokuning, Tempat Mengaji hingga Bahas Negara
 
Penampil berbagai kesenian itu merupakan jemaah setempat. Misalnya, tari rodat diadakan saat menyambut datangnya bulan ramadan pada akhir bulan syaban.
 
"Jumlah jemaah di masjid ini banyak. Untuk salat Jumat misalnya, jemaat bisa seribuan sampai di halaman masjid," ujarnya.
 
Benteng dan Kekuatan Mataram Islam
 
Masjid Pathok Negoro Plosokuning menjadi satu dari empat masjid yang dibangun di era Sri Sultan HB I. Tiga masjid lain di bangun di lokasi berbeda sejurus empat mata angin yang mengelilingi Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, yakni di Plosokuning sendiri, lalu Dongkelan, Babadan, dan Mlati.
 
Menurut Kamaludin, Sultan HB I mulai mendirikan empat masjid itu usai perjanjian Giyanti pada medio 1757. Perjanjian itu soal 'perceraian' Kraton Yogyakarta dengan Kasunanan Surakarta.
 
Dari perjanjian itu, Kraton Yogyakarta mendapat wilayah kekuasaan dari barat sungai Opak. Usai keberadaan kraton, empat masjid dibangun sekaligus menjadi benteng.
 
"Dulu orang-orang yang diberikan tugas menjaga masjid sekaligus menjaga wilayah kraton, karena kondisinya habis pecahnya Yogyakarta-Surakata itu genting," katanya.
 
Masjid Pathok Negoro Plosokuning, Tempat Mengaji hingga Bahas Negara
Suasana di dalam masjid.
 
Empat masjid di empat penjuru mata angin itu dibangun menyerupai masjid Gede Yogyakarta yang berada di dekat kraton. Bisa juga disebut miniaturnya. Empat masjid ini memiliki timpang (atap bertingkat) dua, sementara masjid Gede Yogyakarta memiliki timpang tiga. Desainnya pun hampir serupa, terdapat kolam di sekitar serambi, tempat bersuci di kanan-kiri masjid, hingga material bangunan yang sebagian besar masih asli.
 
Bahkan, kolam di masjid ini mengalir langsung dari air Sungai Randoan (sungai di sekitar). Meski dulu airnya sangat jernih, kini air di kolam masjid sudah tampak keruh karena kekurangpedulian manusia dengan lingkungan.
 
Menurut Kalamudin, 80 persen material bangunan di Masjid Pathok Negoro Plosokuning masih asli. Mulai dari tiang, mimbar khatib, penyangga bedug merupakan kayu jati yang sudah sangat lama. Meski terlihat rapuh, namun kayu-kayu itu masih begitu kokoh.
 
"Mungkin atapnya yang sudah tidak asli karena sudah diganti dengan genting. Kalau dulu kan atapnya dari kayu-kayu itu yang sudah sangat lama," ujar lelaki yang rumahnya berjarak sekitar 100 meter dari masjid ini.
 
Masjid Cagar Budaya
 
Masjid bersejarah tersebut saat ini sudah berstatus menjadi cagar budaya. Kamaludin berkata, tanggung jawab perawatan masjid sepenuhnya berada di bawah Pemerintah DIY.
 
Di sekitar Masjid Pathok Negoro Plosokuning ini juga terdapat makam. Salah satu makam ini tempat pemakaman Mustofa sekaligus imam pertama masjid tersebut.
 
"Dia (Mustofa) cucu Kiai Nuriman Mlangi. Nuriman ini adalah kakak Sultan Hamengku Buwono I," katanya.
 
Ia menyebutkan, akan ada abdi dalem Keraton Yogyakarta yang akan ditugaskan merawat masjid tersebut. "Sementara ada dua (abdi dalem). Kabarnya akan ditambah jadi 47 orang," kata dia.

 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

(ALB)
LEAVE A COMMENT
LOADING
social
FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif