Salah satunya, Masjid Tegalsari di Jalan dr. Wahidin, Laweyan. Masjid tersebut memiliki penanda waktu berusia 80-an tahun.
Saat Metrotvnews.com berkunjung, takmir Masjid Tegalsari, Syakur Adroi menunjukkan jam matahari itu.Jam itu tidak menempel pada dinding.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Syakur justru menunjuk sebuah garis dari goresan paku yang membentuk lingkaran berdiameter 295 centimeter pada lantai masjid. Tampak pula garis potong yang membelah lingkaran menjadi empat bagian. Garis itu memanjang melebihi garis lingkaran hampir ke ujung ruangan.
Selanjutnya Syakur menunjuk bagian atap ruangan masjid. Ada sebuah lubang kecil tempat masuknya sinar matahari ke dalam ruang. “Inilah yang disebut jam istiwak,” ungkap Syakur, Rabu (08/06/2016).
Ketinggian antara lantai masjid dan atap berlubang kecil, sama besar dengan diameter lingkaran pada lantai, yakni 295 centimeter.
Sinar matahari akan masuk melalui celah kecil dan membentuk cahaya berbentuk lingkaran sebesar uang koin. Cahaya itu bergerak sesuai posisi matahari dan tepat berada di tengah garis saat matahari di atas ubun-ubun. Pada saat ini, karena matahari berada di belahan bumi utara, cahaya jatuh di sisi selatan.

Celah di atap Masjid Tegalsari sebagai komponen utama jam istiwak. (Metrotvnews.com/Pythag Kurniati)
“Jika sudah tepat, saya akan langsung mengganti jam jarum di dalam masjid sesuai waktu jam istiwak. Biasanya hanya selisih setengah menit. Penggantian itu saya lakukan secara rutin sesuai dengan jam istiwak,” terang dia. Waktu Dhuhur itu kemudian menjadi patokan bagi waktu salat setelahnya.
Jam istiwak ini, lanjutnya, dibuat oleh seorang ulama ahli Falak dari Solo, Jawa Tengah bernama Kyai As’ari sekitar tahun 1929. “Jam ini ada tak lama setelah masjid Tegalsari berdiri. Dan masih dipakai untuk menunjukkan waktu salat hingga saat ini,” tutur dia.
Bahkan dahulu saat bulan Ramadan, imbuh Syakur, banyak masyarakat di Solo Raya belum berani berbuka sebelum Masjid Tegalsari mengumandangkan adzan. “Jam istiwak ini menjadi patokan waktu berbuka,” katanya.
Bukan hanya dapat menunjukkan waktu salat, rupanya jam istiwak di Masjid Tegalsari ini juga bisa membaca fenomena alam. Sebagai orang yang sering mengamati, Syakur mengungkapkan pada saat musibah tsunami dan Gunung Merapi meletus, cahaya matahari keluar dari garis batas.
“Saya yakin ini pun ada penjelasan ilmiahnya. Yang saya tahu fenomena alam memang bisa diketahui dari jam ini,” lanjutnya.
Beberapa orang pun pernah mengunjungi jam istiwak di Masjid Tegalsari, di antaranya dari observatoriom Bosscha, Lembang, Bandung. “Mereka takjub dan berdecak kagum dengan jam ini. Banyak orang juga berusaha meniru tapi tidak berhasil,” tutup Syakur.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News (SAN)
