Menurut Thomas, hasil riset Islamic Science Research Network (ISRN) yang menggunakan alat pengukur kecerlangan benda langit atau Sky Quality Meter (SQM) menunjukkan posisi matahari lebih tinggi dari minus 20 derajat. Ada beberapa faktor yang terjadinya hal tersebut.
"Misalnya jika SQM menunjukkan langit yang lebih terang. Pengaruh polusi cahaya memperlambat pembelokan kurva cahaya," ujar Thomas seperti dikutip Antara, Jakarta, Minggu, 12 Mei 2019.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Jika SQM menunjukkan kurva menurun kemudian naik lagi, hal itu menunjukkan ada cahaya bulan sabit tua, lalu bulan tertutup awan. Kemudian jika ada awan di ufuk timur, maka akan berdampak pada perlambatan titik belok.
Namun demikian, jelas Thomas, waktu Subuh maupun Isya sesungguhnya termasuk fajar astronomi saat cahaya bintang-bintang mulai meredup karena munculnya hamburan cahaya di ufuk timur. "Per definisi, fajar astronomi terjadi saat matahari berada pada posisi rata-rata minus 18 derajat," ujarnya.
Di wilayah ekuator, lanjut Thomas, atmosfernya lebih tinggi dari daerah lain, sehingga wajar bila fajar yang terjadi di Indonesia ketika posisi matahari berada pada posisi minus 20 derajat. Memang penelitian waktu Subuh atau Isya yang objektif harus menggunakan alat ukur cahaya langit.
Thomas yang juga anggota Tim Hisab Rukyat Kementerian Agama menyebut metode yang biasa digunakan adalah dengan teknik fotometri (pengukuran kuat cahaya) dan bisa dengan analisis fotometri citra ufuk timur atau dengan alat ukur cahaya langit, misalnya SQM. Namun persyaratan teknik fotometri ini, langit harus benar-benar bersih dari awan, polusi udara, dan polusi cahaya karena saat cahaya mulai muncul, intensitas cahaya langit mulai meningkat.
"Waktu Isya didasarkan pada akhir fajar astronomi, saat posisi matahari rata-rata 18 derajat di bawah ufuk. Sedangkan waktu Subuh didasarkan pada awal fajar astronomi di Indonesia, saat posisi matahari 20 derajat di bawah ufuk," ungkap Thomas.
Ia mengatakan, ISRN Uhamka hanya menganalis secara matematis, tidak memperhatikan fisisnya. "Ibadah itu didasarkan pada keyakinan. Cukup satu data untuk memberikan keyakinan dengan data SQM dan Digital Single Lens Reflex (DSLR) bahwa pada minus 20 derajat sudah muncul cahaya fajar," pungkasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News (HUS)