Proses pembuatan takjil dari hasil alam dilakukan warga desa setempat secara suka rela. Warga saling bergotong royong dalam meracik, memasak hingga menyajikan makanan dalam suasana penuh keakraban. Misi ini sesuai dengan tuntunan agama Islam yakni menjalin persaudaraan sesama muslim.
Menjelang berbuka puasa giliran kaum remaja dan pemuda bertugas membagikan Bubur Lodeh kepada ratusan warga yang telah berkumpul di dalam masjid. Hingga waktu berbuka puasa tiba, Bubur Lodeh tempe dan ayam ini langsung habis menjadi santapan berbuka warga desa kauman. Rasanya yang khas dan suasana hangat kekeluargaan saat berbuka menjadi sensasi sendiri bagi masyarakat desa Kauman saat menyantapnya.
Bagaimana tanggapan anda mengenai artikel ini?
Menurut wakil takmir masjid, Haryadi, tradisi berbuka puasa dengan Bubur Lodeh ini telah ada seiring dibangunnya masjid Sabilurrrosyad tahun 1470 masehi oleh Panembahan Bodho. Panembahan Bodho merupakan murid Sunan Kalijaga yang melaksanakan syiar agama Islam di Pulau Jawa bagian selatan. Panembahan Bodho memilih bubur dan sayur lodeh sebagai upaya mengambil hati masyarakat setempat terkait misi syiar Islamnya. Selain itu Panembahan Bodho juga menyisipkan nilai filosofi yang terkandung dalam bubur nasi lodeh agar mudah dipahami masyarakat.
Ada dua makna filosofi dalam bubur lodeh, yaitu makna dari bahasa arab, bibiran yang berarti kebaikan umat yang dimulai dari Masjid dan dalam bahasa Jawa, babar atau lebih yang bermakna ajaran Islam yang diharapkan bisa diterima warga Kauman.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News (MEL)