Jim Collins, seorang peneliti dan penulis Amerika Serikat, menyebut sikap itu ialah cermin dari pemimpin level 5. Pemimpin di level itu, kata dia dalam bukunya Good to Great, mampu mengombinasikan antara pribadi rendah hati dan sikap profesional. Pemimpin level 5 memiliki ambisi tidak untuk dirinya, tetapi untuk organisasi.
Dalam konteks berbangsa, pada pikiran pemimpin level 5 berkecamuk hal-hal besar untuk bangsa. Bukan lagi berpikir untuk diri ataupun kelompoknya. Akan tetapi, benar-benar mempersembahkan ikhtiar kerasnya bagi kemajuan bangsa.
Mereka menyiapkan penggantinya untuk meraih sukses dengan lebih baik pada generasi berikutnya. Mereka menampilkan kesederhanaan yang menonjol dan bersahaja. Mereka didorong dan dipengaruhi dengan kebutuhan untuk mewujudkan hasil yang berkelanjutan. Mereka melakukan apa pun untuk membuat organisasi menjadi besar, bangsa menjadi besar. Pemimpin level 5 menampilkan kompetensi yang memadai. Pemimpin level 5 mencari atribut yang menjadi faktor sukses di luar dari dirinya sendiri.
Bila ada sesuatu yang buruk, mereka akan bertanggung jawab penuh dan tidak membanggakan keberhasilan yang dicapai. Kemudian untuk hasil yang mengecewakan, bukan orang lain yang disalahkan.
Namun, hari-hari ini banyak orang merisaukan kian redupnya kualitas kepemimpinan di level puncak tersebut. Pikiran-pikiran besar seperti menghilang, bersalin rupa menjadi pikiran sempit nan kerdil.
Dalam kancah politik kita hari-hari ini, para elite lebih waswas kehilangan pamor ketimbang kehilangan pikiran besar. Tidak heran bila ada pimpinan kelompok berkali-kali menegaskan ke publik, misalnya, bahwa si X tidak ada apa-apanya bila tidak karena di-back up kelompoknya itu. Pendek kata, kendati dipilih rakyat, si X tetaplah 'petugas kelompok' yang menjalankan misi kelompok itu.
Baca juga:Mahfud Tegaskan Intervensi Istana dalam Penetapan Parpol Hoaks |
Meredupnya pikiran besar dan menyempitnya ruang hati para elite juga kian tampak pada keengganan menjaga keberlanjutan capaian pemimpin sebelumnya. Alih-alih menyempurnakan capaian sebelumnya, yang terjadi justru upaya keras menghapus jejak baik capaian itu. Muncullah de-anu-sisasi dari hasil kerja si anu.
Tidak kalah merisaukan ialah sikap enggan merangkul yang berbeda. Entah berbeda pendapat atau tidak sepadan dalam pilihan. Padahal, berbeda pilihan dan cara dalam memajukan bangsa itu lumrah saja. Maka itu, jadilah mereka yang terpinggir makin dipinggirkan, bukan ditarik ke tengah. Yang di sudut kian disudutkan, padahal mereka anak kandung sah republik ini.
Redupnya pikiran besar dan raibnya kerendahan hati membuat segala ikhtiar untuk memutus siklus pengotak-ngotakan orang berdasarkan perbedaan pilihan dan labeling politik menjadi majal. Ruang keadaban politik dibuat sumpek oleh sikap gemar merawat dendam terus-menerus.
Tepat apa yang pernah dikatakan Bung Hatta, bahwa pemimpin itu mesti meluaskan pandangan dan mempertajam pikiran sebab kedua tindakan itu berguna untuk menerangkan pikiran dan menetapkan hati.