Ilustrasi/Medcom.id
Ilustrasi/Medcom.id (Yudhie Haryono)

Yudhie Haryono

Direktur Eksekutif Nusantara Centre

Menghentikan Debt Trap

Yudhie Haryono • 15 Februari 2021 07:00
PADA akhirnya semua diselesaikan dengan uang. Tetapi, dalam konteks hubungan antarnegara, uang itu bukan hanya alat bayar dan tukar. Ia menjadi alat untuk melakukan apa yang disebut dengan jebakan utang. Hubungan diplomasi yang seharusnya setara dan beradab, bisa berubah menjadi diplomasi jebakan utang. Ini adalah teori untuk menggambarkan negara atau lembaga pemberi pinjaman yang kuat dan berusaha membebani negara peminjam dengan utang yang sangat besar untuk meningkatkan pengaruh (dominasi) terhadapnya.
 
Dengan demikian uang adalah alat tukar, investasi, dominasi, predatori, sekaligus kolonialisasi yang bekerja untuk membuat "boom and bust" (resesi dan depresi) di negara peminjam dari pemberi pinjaman. Berikut data terbarunya: Bank Dunia menyebutkan dalam laporan bertajuk International Debt Statistics (IDS) 2021, Indonesia masuk peringkat ke-6 negara berkembang dengan utang terbanyak di dunia. Sedangkan, Bank Indonesia (BI) mencatat utang luar negeri (ULN) Indonesia per Agustus 2020 mengalami peningkatan menjadi USD413,4 miliar atau sekitar Rp 6.098,27 triliun (kurs 14.751 per dolar AS).
 
Debt trap (jebakan utang) sesungguhnya merupakan manifestasi dari cicit neoliberalisme yang berkembang sejak mazhab Cambridge (1842) eksis. Mazhab ekonomi ini mengembangkan teori penjajahan baru dengan alat uang. Tetapi, berkembang lebih luas pada 1970-an oleh para ekonom dalam usaha melipatgandakan kekayaan negara (dan konglomerasi). Di sini dikenal dengan mazhab monetaris yang mengembangkan posisi Bank Sentral untuk melakukan kebijakan moneter guna mempengaruhi jumlah uang beredar dan ketersediaan kredit dalam perekonomian. Implementasi bank sentral menggunakan beberapa instrumen, termasuk suku bunga kebijakan, operasi pasar terbuka, dan rasio cadangan wajib. Berdasarkan tujuannya, dua jenis kebijakan moneter: kontraksi dan ekspansif.
 
Beberapa buku yang mengulas tema ini antara lain Studies in the Quantity Theory of Money (1956); A Program for Monetary Stability (1960); The Role of Monetary Policy (1968); dan The Optimum Quantity of Money (1969). Sementara itu, beberapa pola hubungan ekonomi perdagangan sebagai alas bagi geopolitik uang bisa dibaca pada buku-buku antara lain The Pure Theory of Foreign Trade (1829); The Principles of Economy (1890); Industry and Trade (1919); dan Money, Credit and Commerce (1923). Kita tahu kolonialisme Britania Raya ditopang oleh manusia dan senjata. Hingga saat tertentu mereka sadar bahwa itu akan membuat kehilangan penduduk dan kebangkrutan jika mengalami kekalahan perang. Tentu saja itu berbahaya bagi keberlangsungan Britania Raya. Inilah kolonialisme purba. Kesadaran akan punahnya Britania Raya itulah yang membuat mereka mengkreasi kolonialisme baru tanpa penguasaan teritorial, tanpa pengiriman pasukan dan tanpa akumulasi perangkat perang. Mereka mulai mencari cara untuk tetap menjadi kolonialis yang berkuasa di daerah koloni (jajahan).
 
Singkatnya, mereka membuat ide negara-negara persemakmuran sebagai persatuan negara bekas jajahan Inggris yang kemudian diikat dengan tiga hal: 1) Penggunaan bahasa; 2) Penggunaan uang; dan 3) Penggunaan cita-cita bersama. Karena itulah bangsa Inggris dikenal sebagai penemu "jalur bahasa" untuk menguasai dunia sekaligus penemu "jalur uang" untuk menguasai jagat raya.
 
Dalam konteks penguasaan jagat raya inilah, mereka menemukan dan mengembangkan teori debt trap yang nanti dikopi oleh bangsa Tiongkok menjadi diplomasi jebakan utang. Satu dominasi baru hasil replikasi dan pelanjutan dari utang sebagai hilir kolonialisme modern. Jika negara-negara jajahan Inggris, Spanyol, Belanda, Portugis dan Jepang pada awalnya dijajah dengan cara-cara teritorial, kini mereka dijajah dengan cara pelemahan kurs mata uang, utang yang menumpuk, dan investasi (haram). Pelemahan kurs ini tunduk pada teori hubungan mata uang secara bebas (kurs bebas) yang bergerak pada empat hal: privatisasi, liberalisasi pasar modal, iman pada fundamentalisme pasar, dan swastanisasi negara. Inilah roadmap WB, IMF, dan MNC yang sudah lama bekerja.

Uang itu alat tukar, alat investasi, alat dominasi, alat pembuat status, alat perang dan alat koloni para penjajah ke bangsa terjajah.


Mempelajari kolonialisme modern dengan demikian harus dimulai dengan mempelajari sejarah uang, riba, dan teori debt trap (jebakan utang luar negeri). Tanpa mengetahui sejarah uang dan debt trap, maka kita akan mengalami rabun geopolitik dan geostrategis. Itu artinya, uang dan debt trap merupakan jalur-jalur keduanya. Mereka yang mengalami rabun geopolitik dan geostrategis pastilah tidak mengerti teori sovereignty. Sebab, uang dan debt trap dalam konteks ini adalah alat untuk menegakkan kedaulatan atau sebaliknya (koloni).
 
Singkatnya, menegakkan Indonesia Raya adalah mengetahui pembangunan bangsa, untuk membangun negara kebangsaan, untuk menetapkan kedaulatan warga negara, yang alatnya cuma dua yaitu senjata dan uang. Artinya, makin kuat persenjataan sebuah negara, makin kuat kedaulatan, demikian pula sebaliknya. Makin kuat mata uang sebuah negara, makin berdaulat negaranya. Begitu juga sebaliknya.
 
Dus, mata kuliahnya ada di geopolitik dan geostrategis hubungan international dan sejarah perang/damai. Pada kurikulum itu, kita akan paham bahwa uang itu alat tukar, alat investasi, alat dominasi, alat pembuat status, alat perang dan alat koloni para penjajah ke bangsa terjajah. Dari situ kita paham bahwa bangsa/suku/ras/kerajaan/negara, selalu membentuk hubungan-hubungan (diplomatik) di antara mereka. Hubungan-hubungan itu posisinya ditentukan oleh dua hal: kongkret dan abstrak. Yang kongkret itu senjata dan uang. Sedang yang abstrak itu kecerdasan dan kejeniusan pemimpinnya.
 
Dus, makin tinggi kualitas senjata dan uang sebuah negara, makin kuat dan dominan posisinya. Begitu sebaliknya. Makin cerdas dan jenius presiden sebuah negara, makin kuat dan dominan posisinya. Begitupula sebaliknya. Karenanya, jika kita mau kaya, bermartabat dan eksis di dunia maka milikilah yang kongkret berupa senjata dan uang. Lalu milikilah yang abstrak berupa kecerdasan dan kejeniusan pemimpin.
 
Menarik tesis Albert Einstien (1879) buat orang-orang seperti kita yang berjuang menegakkan Indonesia Raya, "kantong kosong tidak boleh menghambat kemajuan kalian. Yang bisa menghambat kalian hanyalah kepala kosong dan hati kosong." Untuk itu ke depan kita perlu modal, model, modul (3M) agar keterjebakan utang negara tak berulang. Ataukah ada cara lain? Aku bertanya gundah gulana.
 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Pilar utang luar negeri Ekonomi Indonesia Diplomasi Ekonomi Diplomasi Indonesia

FOLLOW US

Ikuti media sosial medcom.id dan dapatkan berbagai keuntungan

Dapatkan berita terbaru dari kami Ikuti langkah ini untuk mendapatkan notifikasi

unblock notif