Asas hukum itulah yang mengharuskan bangsa ini, terutama para korban, menerima putusan Pengadilan Hak Asasi Manusia di Makassar yang menjatuhkan vonis bebas terhadap Mayor Infanteri (Purn) Isak Sattu pada Kamis, 8 Desember 2022. Isak adalah terdakwa tunggal kasus dugaan pelanggaran HAM berat yang terjadi di Paniai pada 2014.
Ketuk palu hakim yang terkesan kian menjauhi rasa keadilan mesti dianggap sebagai kebenaran. Jauh dari rasa keadilan karena Laporan Akhir Tahun 2015 Komnas HAM menyebutkan, dalam kasus di Enarotali, Paniai, pada 8 Desember 2014, itu terjadi pembunuhan terhadap empat penduduk sipil dan penganiayaan oleh aparat negara terhadap 22 orang. Selain korban dari penduduk sipil, ada pula tiga anggota kepolisian dan tujuh personel TNI.
Nyawa sudah melayang. Isak Sattu sudah dibebaskan. Hal itu berarti tidak ada satu pun pihak yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM berat itu. Maka, ada dua jalan yang bisa ditempuh Kejaksaan Agung; pertama, mencari tersangka baru, dan kedua, mengajukan kasasi jika vonis bebas dianggap salah. Mencari tersangka baru tidaklah susah kalau ada kemauan. Laporan Akhir Tahun 2015 Komnas HAM menyebut penanggung jawab tindak kejahatan Paniai ialah komandan atau atasan yang tidak mencegah, menghentikan, atau menyerahkan pelaku kepada pejabat yang berwenang untuk diproses menurut hukum.
Selain itu, menurut Komnas HAM, ada penanggung jawab individual atau pelaku langsung di lapangan sehingga terjadi tindak kejahatan itu sendiri serta tanggung jawab individu untuk tindakan perbantuan (joint criminal enterprise).
Baca Juga:Tok! Terdakwa Peristiwa Paniai Divonis Bebas |
Sebaiknya publik memberikan kepercayaan penuh kepada Kejaksaan Agung untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM berat di Paniai. Yakinlah, Kejaksaan Agung akan mencari pihak yang paling bertanggung jawab atas kasus Paniai sekaligus mengajukan kasasi.
Meski demikian, pantas-pantas saja Komnas HAM kecewa. Putusan bebas dua hari jelang peringatan hari HAM itu disebut oleh Komnas HAM sebagai Kamis kelabu bagi penegakan hak asasi manusia di Indonesia.
Menurut Komnas HAM, putusan bebas terhadap terdakwa kasus Paniai oleh Pengadilan HAM telah memupus harapan dan kepercayaan publik, dan secara khusus korban terhadap penyelesaian pelanggaran HAM yang berat melalui Pengadilan HAM.
“Pengadilan HAM terkesan menjadi kuburan harapan untuk mendapat keadilan dan pemulihan bagi korban pelanggaran HAM yang berat. Untuk itu, Komnas HAM mendesak Jaksa Agung segera melakukan upaya hukum kasasi dan mengajukan mereka yang menjadi komandan dan memiliki tanggung jawab komando atau pengendalian yang efektif terhadap pasukan dalam peristiwa tersebut serta pelaku-pelaku lapangan dalam peristiwa pelanggaran HAM yang berat di Paniai untuk segera dituntut ke pengadilan,” ungkap Komnas HAM dalam siaran pers pada 10 Desember 2022.
Gayung bersambut. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana, Jumat, 9 Desember 2022, mengatakan bahwa setelah majelis hakim menjatuhkan putusan pada Kamis, jaksa masih memiliki waktu 14 hari untuk mempelajari putusan yang membebaskan terdakwa tersebut. Jaksa akan melihat kembali fakta hukum beserta pertimbangan-pertimbangannya.
Persoalan lain muncul. Hingga saat ini Mahkamah Agung belum memiliki hakim ad hoc HAM untuk tingkat kasasi ataupun peninjauan kembali. Para calon hakim ad hoc itu masih dalam proses seleksi oleh Komisi Yudisial.
Proses seleksi hendaknya dipercepat untuk memenuhi ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Pasal itu mengatur MA memeriksa dan memutus perkara kasasi kasus HAM dalam waktu 90 hari sejak perkara dilimpahkan ke MA.
Pemeriksaan kasasi perkara HAM dilakukan oleh majelis hakim yang terdiri atas dua hakim agung dan tiga hakim ad hoc HAM. Hakim ad hoc tersebut diangkat oleh presiden selaku kepala negara atas usulan DPR. Proses di DPR biasanya memakan waktu tidak sedikit.
Jika 14 hari kalender yang dimiliki Kejaksaan Agung untuk mengajukan kasasi kasus Paniai, batas akhirnya pada 22 Desember. Adapun proses 90 hari kasasi di MA berakhir sekitar akhir Februari 2023, padahal seleksi hakim ad hoc untuk kasasi masih berproses di Komisi Yudisial. Proses normalnya, nama-nama itu diajukan ke DPR pada Maret 2023. Dengan demikian, bakal terjadi darurat penanganan kasasi kasus pelanggaran HAM berat Paniai alias kasasi hanya ada dalam teori.
Kasus Paniai harus diselesaikan secara tuntas karena masih ada 11 kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia yang belum terselesaikan. Kasus yang dimaksud ialah Peristiwa 1965-1966, Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985, Peristiwa Talangsari 1989, Peristiwa Trisakti, Peristiwa Semanggi I dan II, Peristiwa Kerusuhan Mei 1998, Penghilangan Orang secara Paksa 1997-1998, Peristiwa Wasior Wamena, Peristiwa Pembantaian Dukun Santet di Banyuwangi 1998, Peristiwa Simpang KAA 1999, Peristiwa Jambu Keupok 2003, dan Peristiwa Rumah Geudang 1989-1998.
Publik hendaknya tetap mengawal kasus Paniai demi mencegah Pengadilan HAM menjadi kuburan harapan untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan bagi korban pelanggaran HAM yang berat.